Some One

2400 Words
"Ahh!!" teriak kaget Deeva saat merasakan sesuatu yang dingin mengenai tengkuknya yang terbuka. “YA!” pekiknya kesal saat melihat seorang pria menatapnya dengan senyuman lebar yang menurut sebagain orang begitu manis, namun membuatnya eneg ingin memuntahkan sarapan yang dia makan pagi tadi. Tangannya bergerak ingin memukul pria itu namun diurungkan saat melihat apa yang pria itu bawa di tangannya. “Hem...” pria itu menggoyangkan ice green tea latte kesukaannya. “Sini in.” Deeva merebut minuman itu dari tangan Reyhan lalu kembali duduk di kursinya. “Husft...” desahnya keras setelah menyesap minuman kesukaannya itu, membiarkan cairan hijau itumenyegarkan tenggorokannya yang kering. Ia bagaian hidup kembali dan akhirnya membiarkan Reyhan yang dengan senaknya duduk di sampingnya seraya mamangku buku-buku kedokteran tebal yang dia letakan di kursi sampingnya. “Kenapa lagi?” tanya geli melihat wajah Deeva yang menekuk. Deeva hanya diam memperhatikan wajah Reyhan. Ia mendesah harus mengakui bahwa sahabat sehidup sematinya ini memang cukup tampan, salah ... sangat tampan malah. Dengan rambut potingan pendek yang sedikit berantakan, kulit putih, mata yang sedikit sipit serta bentuk wajah yang agak sedikit mirip dengan orang Korea membuat banyak cewek jatuh cintah kepadanya. Dia menghela napas kesal mengingat banyaknya cewek yang menjadi korban playboy cap kadal yang ada di depannya ini. Tak terhitung berapa kali, dia harus menjadi tameng di saat para korban mulai bertindak beringas. Beberapa kali, dia akhirnya harus di-bully beberapa cewek sok kecantikan yang terpikat oleh Reyhan. Beberapa di antaranya bahkan hampir membuatnya trauma. Dia kembali menatap ke arah Reyhan lalu merengut sedih memandang buku-buku tebal kedokterannya yang kini masih di atas pangkuan sahabatnya itu. Reyhan mengikuti arah pandangan Deeva lalu tersenyum kecil menyadari penyebab wajah sahabatnya itu ditekuk, “Dosen itu lagi? Tanyanya yang kini dijawab anggukan lemah Deeva. "Masa dia ngasih nilai D ke paper yang gue kerjakan, lo taukan gimana susahnya ngerjain itu. Lo taukan gimana gue harus baca ensiklopedia kesehatan, kamus kedokteran bahkan buku-buku yang ada di tangan lo sekarang, terus tadi dia juga mempermalukan gue d ihadapan semua teman sekelas gue." Reyhan tersenyum geli melihat Deeva yang terus berbicara di depannya, ia tidak dapat mendengarkan kembali omelan-omelan sahabatnya itu kepada dosen nya. Reyhan merenyitkan kening nya, ia menggeleng pelan melihat tingkah sahabatnya itu lalu mengambil potongan kue Green tea yang ada di depannya lalu menyuapkannya ke mulut Deeva. "Gu...e ben wmmm er" "Habisin dulu makan nya, baru ngomong," tegur Reyhan memotong ucapan Deeva yang berbicara dengan mulut penuh membuat Deeva mendengus. "Gue bener-bener kesel sama tu dosen, Rasanya gue pengen..." ucap Deeva sembari mencengkram kedua belah tangannya. "Ah... Sebel," ucapnya seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali memakan sisa kue Green tea nya dengan cepat sehingga tanpa sadar krim kue itu mengenai ujung bibirnya. "Kamu jorok banget sih.” Tanpa ragu dia membersihkan krim yang ada di pinggir bibir Deeva kemudian menjilat jempolnya tadi. Deeva terkekeh kemudian memainkan hidung membuat Reyhan menatapnya tak percaya sebelum akhirnya ikut tertawa melihat sikap aneh sahabatnya itu. "Eh,eh punya Gue!" pekik Deeva saat Reyhan meminum es Green tea latte miliknya. "Minta pelit amat sih loe." dengus nya kesal. Deeva menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya kembali memakan kue yang sudah ia pesanm membiarkan Reyhan meminum minumannya, bagi mereka berdua saling menyuap dan saling membagi itu hal yang biasa. "Thank you," ucapnya tersenyum seraya membuat berantakan rambut Deeva. "Han, Rambut gue rusak!" teriak Deeva kesal sembari memukul tangan Reyhan sehingga membuatnya kesakitan. "Kasar banget sih lo!" Reyhan mengusap tangannya yang kesakitan. Ia berdecak kesal menatap Deeva yang dengan santai meminum kembali minumannya, "Gaya rambut lo nggak banget sih Dee.. Terus itu apa lagi rambut di naikin keatas kayak bule jamu langganan mama yang sering datang ke rumah," ledeknya, "Eh..eh.. eh jangan sembarangan ya. Ini lagi trend tau. Lo sih kudet makanya nggak ngerti sama perkembangan jaman, orang di rumah aja, lo masih sering main mario bros yang dibikinnya entah tahun berapam" desak Deeva kesal. Ia terlalu sesnsitive jika Reyhan mengatai rambut yang ia bangga-banggakan. "Sorry, lo bilang gue apa?" Nggak ngerti fashion," ucapnya terlihat begitu kesal mendengar ucapan Deeva. "Lo nggak lihat gue?" ucapnya lagi menunjuk dirinya sendiri. Deeva mendengus geli, Ia memang mengakui bahwa Reyhan mempunyai selera fashion yang cukup bagus, tapi tetap saja ia tak akan mengatakannya setelah Reyhan dengan berani mengolok-ngolok dirinya. "Gue itu fashionable nggak kayak elo yang kudet. Dari zaman kerajaan kutai sampai ganti ke presiden jokowi, masyarakat di Indonesia juga udah makai gaya gambut cepol yang lo kenakan itu." "Ini namanya Bun, bukan cepol" decak Deeva kesal menatap Reyhan yang memutar matanya mengolok ucapannya. "Bodo ah." Deeva menggambil paksa buku-bukunya yang ada di pangkuan Reyhan lalu berjalan keluar dari cafe yang ada di dekat kampus mereka ini. "Bayar dulu," teriak Reyhan tersenyum melihat Deeva kembali merajuk. "Bodo, bayarin!" ucapnya kesal. Deeva membalikan kepalanya lalu menjulurkan lidahnya kemudian kembali berjalan. Reyhan hanya menggeleng kecil melihat kelakuan sahabatnya itu, dengan cepat ia mengambil uang ratusan ribu dari dompetnya, menaruhnya di meja lalu bergegas mengejar Deeva yang sudah berjalan meninggalkan cafe. Reyhan mengikuti langkah Deeva, melihatnya yang berjalan sambil sesekali menghentakan kaki. Kebiasaannya jika sedang kesal. Dia terkekeh. Entah mengapa, dia begitu menyukai raut wajah kesal yang Deeva perlihatkan. Dari tempatnya berdiri sekarang, dia meandangi tubuh Deeva yang terlihat sempurna dari belakang. Deeva bukan hanya cantik, tapi juga menarik. Wajahnya yang sedikit bule seolah begitu pas dengan iris mata aslinya yang berwarna abu-abu yang semenjak SMA sering dia tutupi dengan soft lense warna cokelat tua yang cenderung hitam. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu mungil membuanya yakin, banyak pria ingin memeluknya.  Termasuk dirinya. Reyhan menggelengkan kepalanya membuang pikiran itu lalu berlari mengejar Deeva yang berjalan semakin menjauh. Dengan cepat, dia merangkul pundak Deeva. “Hari ini makan malam di rumah?” “Males. Bete!” sungutnya kesal mencoba melepaskan rangkulan Reyhan yang ada di pundaknya yang hanya dibalas senyuman geli Reyhan. Sahabatnya itu bukannya menjauh malah semakin merapatkan rakulannya membuat Deeva meronta ingin dilepaskan. Dia hanya bisa mendesah membiarkan Reyhan merangkulnya. “Beneran Bete?” tanyanya menatap Deeva tak percaya. “Tadi mama nelpon, katanya hari ini Mama masak iga bakar,” gumam Reyhan tersenyum kecil membuat Deeva menghentikan langkah, mengangkat kepala, menatap Reyhand engan meneguk air liur membayangkan makanan yang Reyhan ucapkan tadi.    ***** "Katanya bete, terus nggak mau makan di sini,"  ledek Reyhan geli saat melihat Deeva sudah duduk di hadapannya dengan memegang sendok dan garpu di kedua tangan.. "Siapa? Kak Deeva?" tanya Danira -adik Reyhan memandang Deeva dengan tatapan tak percaya. "Kak Deeva mah, nggak bakalan ngelewatan iga bakar, sebete apapun dia sama abang atau mama." "Siapa yang bete sama mama?" tanya Riska membawa satu piring besar penuh iga bakar membuat Deeva menelan air liurnya. "Deeva bete sama tante.” Deeva merengutkan bibir ranumnya menatap mama sahabatnya ini yang baru saja duduk di samping suaminya. "Kenapa?" tanya Riska bingung. Tangannya mengambil piring suaminya, lalu menuangkan nasi di atasnya sebelum memandang mantan pasiennya yang sejak empat belas tahun yang lalu menjadi tetangga rumahnya dan tumbuh bersama anak sulungnya. "Tante, kenapa ngasih nilai D di paper Deeva?" protes Deeva kepada Riska yang notabene dosen di kampusnya yang telah memberikan nilai D pada paper yang sudah susah-susah dikerjakannya. Tatapan lembut Riska berubah menjadi tatapan tajam saat mendengar Deeva membawa-bawa masalah kampus. "Jangan pikir, aku nggak tau kalau kamu copy-paste semua jawaban dari internet," ucap Riska tajam membuat Deeva terdiam, sedangkan Reyhan dan Danira menahan tawanya . "Tapi, tante nggak perlu juga marah-marahin Deeva, terus nunjuk-nunjuk kayak gitu di depan kelas. Deeva kan malu, Tante," rengek Deeva membuat semua yang ada di ruang makan tertawa keras. "Iya, iya tante salah sudah keterlaluan sama kamu," ucap Riska saat melihat Deeva mulai merengek. "Ini, tante kasih iga bakar paling besar buat kamu."  Riska meletakkan iga bakar ke piring Deeva membuat mukanya yang sedari tadi menekuk menjadi penuh binar. "Mama curang. Danira juga mau." "Rey juga."  Reyhan dan Danira kompak menyodorkan piring mereka. Deeva tertawa melihat Riska yang kelimpungan dengan tingkah kedua anaknya membuatnya terlihat begitu berbeda.Jika di rumah dan rumah sakit Riska akan menjadi orang yang lemah lembut dan ramah, berbeda saat ia berada di lingkungan kampus. Ia akan menjadi dosen killer berdarah dingin yang tak akan segan-segan memberikan nilai E kepada mahasiswanya yang melakukan kesalahan. "Wah, tante kayaknya perlu ke psikolog, deh," ucap Deeva membuat Riska memandang ke arahnya. "Kayaknya tante menderita D.I.D deh, soalnya tante yang sekarang sama dosen killer yang tadi ngasih nilai D ke Deeva kayak dua kepribadian berbeda," celetuk Deeva sontak membuat semua orang kembali tertawa. "Sembarangan." Riska menyentil kening Deeva sehingga membuatnya mengaduh kesakitan. "Sebaiknya, kamu makan makanan kamu. Siapa tau ini terakhir kalinya kamu makan di sini," ancam Riska membuat Deeva takut-takut mulai memakan makanannya. "Kayaknya tante nyesel jadi dosen kalau dapat mahasiswa seperti kamu," ucap Riska mulai mendesah. "Aku kira dengan jadi dosen, nanti bisa ngajarin anak aku sendiri, eh ternyata. Yang satu berminat jadi tukang bangunan, yang satu malah jadi preman." gumam Riska lemah membuat Deeva terkiki geli, sedangkan kedua anaknya merenggut kesal. "Jangan mulai deh, Ma," tegur Reyhan menghentikan gumaman Riska. Ia mulai sensitive jika mamanya sudah mulai mengusik jurusan kuliah yang ia ambil berbeda dengan profesi kedua orang tuanya yang notabene seorang Dokter dan Pengacara. Suasana yang awalnya ceria berubah menjadi dingin melihat ketegangan antara ibu dan anak ini. "Tenang aja tante. Entar, kalau dia nggak jadi tukang bangunan terkenal, tinggal usir dari rumah aja, Tante. Aku bersedia kok, ngosongin lemari pakaian dan membuang semua koleksi belt-nya," celetuk Deeva mencoba mencairkan suasana. Riska menatap Deeva yang menatapnya penuh dengan semangat mengangguk setuju lalu bertos ria dengan sahabat anaknya itu. "Jangan berani nyentuh koleksiku." Dengus Reyhan kesal membuat suasana menjadi cair. Tawa kembali terdengar di ruang makan ini. Kehadiran Deeva seolah membuat semua orang menjadi bersuka cita.Yusuf tersenyum melihat interaksi istri dan kedua anaknya yang sedang asyik berbicara dengan Deeva. Ia sudah menganggap Deeva sebagai anaknya sendiri. Deeva yang supel dan mudah bergaul membuat semua orang mudah jatuh hati kepadanya. Keberadaannya layaknya sebuah vitamin yang memberi semangat kepada orang-orang di sekitarnya. "Mommy sama Daddy kamu kemana, Va?" tanya Yusuf. Deeva menghentikan tawanya lalu menatap Yusuf dengan merengutkan wajahnya. "Mommy sama Daddy lagi honeymoon trip untuk kesekuian kalinya, Om. Aku bahkan ragu mereka ingat punya anak cantik yang mereka telantarkan," Ucapnya narsis membuat gelak tawa Yusuf kembali terdengar "Idih, pede," celetuk Reyhan membuat Deeva mendelikan matanya menatap Reyhan yang menjulurkan lidahnya. "Terus adik kamu?" Tanya Riska menanyakan adiknya yang seumuran dengan Danira. "Revan?" tanya Deeva memastikan ucapan Riska. “Yah, adik kamu siapa lagi,” kekeh Riska menggelengkan kepalanya. Deeva "Jangan tanyain dia kalau Daddy sama Mommy pergi, palingan dia ngejogrok di tempatnya Om Alan ngacengin Mbul sama Mbem yang belum tentu mau sama dia," ucapnya kesal. "Kadang-kadang Deeva malah jadi pengen punya adik perempuan biar bisa diajak hang out bareng." gumam Deeva yang di jawab anggukan Danira. "Sama. Kadang-kadang aku juga pengen punya kakak perempuan yang bisa diajak curhat bareng, daripada abang cowok yang bisanya cuma ngecengin perempuan, terus membuat mereka menangis termehek-mehek," celetuk Danira membuat Deeva tertawa lalu bertos ria dengan adik sahabatnya itu. Reyhan menatap kesal kedua orang berjenis perempuan di dekatnya ini, lalu mencubit gemas adiknya sehingga membuat Danira berteriak kesakitan.   *** "Ayo!" Ajak Reyhan setelah melihat Deeva selesai mencuci piring bekas mereka makan tadi. Deeva menganggap rumah Reyhan seperti rumah kedua baginya. Ia bebas melakukan apapun di rumah Reyhan tanpa permisi, begitu pula dengan Reyhan. "Tempat biasa?" tanya Deeva yang dijawab anggukan Reyhan. Deeva membersihkan tangannya dengan cepat lalu berjalan mendekati Reyhan. "Ayo!" teriak Deeva merangkul tangan Reyhan yang tersenyum melihat tingkah Deeva yang kembali kekanak-kanakan. “Mau kemana?” tanya Danira yang sedang asyik menonton televisi menatap kakaknya dan Deeva yang sering berangkulan. “Mau tau aja anak kecil,” celetuk Reyhan membuat Danira merengut kesal. “Abang sama kakak mau ke tempat itu, ya? Nira ikut dong,” “NGGAK!!” peki Deeva dan Reyhan bersamaan. “Nggak ada yang boleh masukin tempat itu selain kita berdua!” teriak Reyhan membuat Danira merengut kesal. Deeva tersenyum memasuki markas mereka yang baru. Tempat berupa paviliun kecil yang terletak di antara halaman rumahnya dan rumah Reyhan.Tempat berbentuk bulat dengan atap berbentuk kerucut yang mempunyai 2 buah pintu khusus untuk tempat masuk mereka berdua.Bangunan ini sengaja dibuat oleh kedua ayah mereka setelah insiden mereka menghilang saat bermain di danau kecil itu dulu. Deeva berjalan mendekati sofa kecil yang hanya cukup untuk mereka berdua lalu duduk di atasnya. Ia menengadahkan kepalanya menatap bintang yang berkerlap-kerlip di balik atap transparan markas mereka ini.Ia mengalihkan pandangan memperhatikan dekorasi tempat ini yang penuh dengan kenangan mereka berdua. Mata Deeva menatap kepada sepasang gitar berwarna coklat dan pink yang bersandar di salah satu sudut dinding. Ia tersenyum membayangkan saat-saat mereka belajar memetik gitar itu bersama. "Dee.." panggil Reyhan dengan nada serius. "Ehm," gumam Deeva menatap Reyhan yang duduk termenung di sampingnya. "Kenapa kamu pengen jadi dokter?" "Karena aku ingin menyembuhkan banyak orang, terutama anak-anak yang terkena kanker seperti aku dulu," ucap Deeva berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya mengingat betapa menyakitkan penyakit yang dulu ia derita. Ia ingat betapa sakitnya ia dulu menahan efek dari kemoterapi yang dulu ia hadapi. Reyhan memandang Deeva yang kembali mengingat masa lalunya yang menyakitkan, ia menggenggam tangan Deeva seolah mengatakan bahwa kejadian itu telah berlalu. Deeva tersenyum saat merasakan Reyhan mengenggam tangannya erat. "Kamu kenapa pengen jadi Arsitek?" tanya Deeva balik. "Karena aku ingin membuat orang senang." "Eh," "Kamu ingat saat pertama kali kita melihat tempat ini?" tanyaReyhan membuat Deeva mengingat betapa senangnya mereka saat melihat tempat ini. "Entah mengapa aku merasa bangunan yang indah akan membuat orang kagum dan nyaman. Entah saat mereka masuk ke dalamnya atau hanya dengan memandang bentuknya dan aku ingin membuat bangunan yang dapat membuat orang bahagia," ucap Reyhan dengan mata berbinar. Deeva menyandarkan kepalanya di pundak Reyhan dengan tangan mereka yang masih saling bertaut. Entah mengapa berada di dekat Reyhanmembuat hatinya begitu nyaman. Kepalanya sedikit ia dongakan ke atas kembali memandang langit malam. Reyhan terdiam melihat jemari Deeva yang menaut jemarinya. Keintiman mereka, skinship yang sering mereka lakukan selama ini, entah mengapa tak pernah membuatnya risih. Deeva satu-satunya perempuan yang membuatnya merasa nyaman dengan sentuhan tangan dan kedekatan mereka, tak seperti semua mantan pacarnya yang membuatnya tak nyaman, bahkan hanya sekedar bergandengan tangan. Reyhan ikut menyandarkan kepalanya di puncak kepala Deeva, lalu ikut memandangi apa yang Deeva pandangi. "Menurutmu, saat masing-masing di antara kita memiliki pasangan, bisakah kita terus seperti ini?" gumam Deeva pelan membuat Reyhan mengangkat kepalanya lalu memandang ke arah Deeva dengan tatapan yang tak dapat dimengerti.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD