7. Second Sakral

2630 Words
"Kakak terlihat cantik, pasti aku juga tampan." seorang lelaki kecil menggunakan rompi ala bocah dengan dasi pita berwarna merah tersenyum kagum melihat kecantikan kakaknya. "Kata Ayah, aku mirip Mama." Zulla tak henti-hentinya menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis kecil itu memakai gaun berwarna putih, sepatu balet berwarna silver. Rambutnya ditata sedemikian apik oleh penata rias yang disewa untuk merias keluarga Fabiano. Sedangkan Yudha memakai rompi berwarna hitam, kemeja putih, dasi berbentuk pita berwarna merah, celana jeans dan sepatu pantofel ala anak kecil. Mereka terlihat sangat bahagia di hari itu. Apalagi Yudha, dia selalu berseru bahwa dia akan memiliki seorang ibu. "Apa Mama sangat cantik?" tanya Yudha tiba-tiba. Raut wajahnya berubah mendung ketika membahas soal Mama. Meski saat bayi dia merasakan pelukan Airin, tapi tetap saja dia lupa. Bayangkan saja, bagaimana seorang bayi bisa mengingat hangatnya pelukan seorang ibu? Mustahil bukan? Kecuali itu bayi ajaib. "Jangan bersedih, kata Oma kan sebentar lagi kita punya Bunda." Zulla, gadis kecil itu memeluk adiknya penuh sayang. Meski masih kecil, tapi Zulla sudah seperti orang dewasa. Sangat paham dan mengerti apa yang dirasakan adiknya. "Hey anak-anak, apa kalian sudah siap?" Rafli datang dari arah pintu bersama wanita yang mengenakan kebaya berwarna merah muda. "Kita sudah siap, Om." jawab Zulla antusias. "Hey... Jagoan Om kenapa sedih?" Rafli melihat ada perbubahan di raut wajah Yudha. Kedua mata keponakannya itu memerah seperti orang akan menangis. "Aku rindu Mama, Om." jawab Yudha terus terang. "Syut... Mama sudah tenang di sisi Tuhan, jagoan. Lagi pula sebentar lagi kalian kan punya Bunda baru. Jadi kamu nggak akan kesepian lagi." Rafli menggendong jagoan kecilnya. Lelaki itu memang sangat menyayangi kedua keponakannya. Rafli merasakan Yudha mengangguk beberapa kali di bahunya. "Ya sudah, ayo kita berangkat." ajak Karin menggamit jemari kecil milik Zulla. Mereka berjalan meninggalkan kamar kedua bocah tersebut. Semua keluarga sudah menunggu di bawah. Pernikahan dilangsungkan di kediaman Alexa. Seperti adat yang sudah mendarah daging, mayoritas prosesi akad nikah diadakan di mempelai wanita. Alexa memandang tubuhnya di depan cermin kamarnya. Dia akui, wajahnya tampak begitu cantik hari ini dengan bantuan polesan make up. Tubuhnya terlihat sangat langsing. Sanggulnya pun tersangga sempurna bagai mahkota di kepalanya. Berbagai macam hiasan dari bunga dan manik-manik pengantin yang ditempelkan di rambutnya membuat wanita itu semakin terlihat eksotis. "Ini beneran gue bakal nikah sama kakaknya Rafli? Berarti sebentar lagi gue udah gak single lagi dong? Kok rasanya tetap sama sih? Hambar? Gak ada rasa bahagia sedikit pun?" Alexa menundukkan kepalanya menatap jarik yang dia pakai. Motifnya sungguh ayu, motif sama seperti yang dipakai oleh Marsel nanti. Dirinya tidak bisa melarikan diri, terlalu besar risiko yang akan dia tanggung jika dirinya mundur dari pernikahan ini. Harkat dan martabat keluarganya, harga diri mamanya, kesehatan Erika, persahabatannya dengan Rafli, perasaan kedua buah hati dari Marsel, masa depan kedua adiknya, dan harga dirinya sendiri. Alexa tak mungkin memikirkan egonya sendiri. Setidaknya jika dia menikah, hanya dia yang tersiksa. "Al, ayo turun. Pengantin laki-laki sudah datang." Sofya datang, menghampiri putri pertamanya ditemani oleh Qia. "Ayo Kak, aku bantu." Qia pun nampak bahagia bisa melihat kakaknya menikah. "Kamu sudah siap kan sayang?" Sofya membelai lembut wajah Alexa. "Siap Mama." sekuat tenaga, Alexa berusaha tersenyum di depan Sofya. "Kalau begitu, ayo kita turun. Biar acara akad nikahnya cepat dilaksanakan. Semua tamu undangan sudah menunggu." Sofya menggamit jemari Alexa sebelah kanan. Sedangkan Qia memegangi jemari Alexa sebelah kiri. Mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga. Banyak tamu undangan yang menatap takjub karena kecantikan yang dimiliki Alexa. Sepatu kets yang Alexa kenakan seolah tak membuat kecantikannya memudar. Sofya membantu Alexa duduk di sebelah Marsel kemudian memberikan sebuah selendang di atas kepala kedua mempelai. "Apa kalian sudah siap?" tanya penghulu yang akan menikahkan mereka. "Siap." jawab keduanya bersamaan. "Kalau begitu, jabat tangan saya." Marsel menjulurkan tangan kanannya menerima jabatan dari sang penghulu. Tidak terlalu grogi untuk lelaki berkulit putih itu. Terlebih ini hanyalah pernikahan tanpa dasar cinta, tidak ada rasa deg-degan di dalam dadanya. Alexa mendengarkan suara Marsel menggema di seluruh penjuru rumahnya. Sangat lantang dengan satu tarikan nafas dan tanpa terbata-bata. Hatinya bergetar hebat, tak menyangka bahwa Marsel mampu menyelesaikan bagiannya dan menunggu para saksi berkata sah. Air mata Alexa mengalir bagai aliran anak sungai ketika semua saksi saling bersahutan merapalkan kalimat sah. Suasana haru menyelimuti kediaman Sofya. Tamu undangan pun juga ikut berbahagia. "Selamat, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri dalam agama maupun negara. Kalau begitu, pasangkan cincin pernikahan kalian itu ke jari manis istrimu Nak Marsel." Marsel mengikuti apa perintah dari sang penghulu. Mereka saling bertukar cincin satu sama lain. Begitu juga Alexa yang terlihat gemetar ketika menyematkan cincin pernikahan mereka di jari manis Marsel. Usai memasangkan jari manis, dengan sangat terpaksa Alexa mencium punggung tangan Marsel. Lelaki itu juga mencium kening Alexa secara kilat. Acara sungkeman pun berlanjut usai proses penandatanganan surat pernikahan. Alexa masih meneteskan air mata, apalagi di saat dirinya memohon maaf juga meminta restu kepada Sofya. Tangisnya pecah, tidak ada yang tahu apa arti tangisan dari Alexa sendiri. Hanya Alexa dan Tuhan yang tahu. Mereka fikir Alexa menangis bahagia karena bisa menjadi istri dari dokter tampan, muda dan kaya raya seperti Marsel. Tapi sebenarnya, Alexa menangis sedih. Dirinya meratapi nasibnya yang kini dia jalani. "Menjadi istri yang sholehah ya, Al. Jangan pernah kamu bantah suamimu. Seorang pemimpin tidak akan pernah menjerumuskan seseorang yang dia pimpin ke jalan salah. Kamu mengerti, Al?" Sofya menatap lembut ke arah kedua mata Alexa. "Iya Ma, aku akan terus ingat apa kata-kata Mama." gadis itu menubruk tubuh Sofya, air mata mereka mengalir satu sama lain. Hanya saja, arti dari tangisan itu sendiri yang berbeda. *** Marsel terus menatap lurus ke arah kedua buah hatinya yang bermain bersama Rafli dan Karin. Semua tamu undangan tadi sudah selesai memberikan ucapan selamat. Hanya tersisa beberapa tamu undangan yang baru datang atau tidak mengikuti acara akad nikah dan juga resepsi. Hari sudah sore, sudah berkali-kali pula pasangan pengantin baru itu berganti kostum. "Jangan terlalu bahagia dalam pernikahan ini, karena semua ini hanya status belaka. Demi Mama dan demi kedua anak-anak saya. Kamu paham?" bisik Marsel tepat di dekat telinga Alexa. "Gak usah diperjelas, aku juga udah ngerti. Mengerti dengan sangat malahan." sahut Alexa tak kalah sengitnya. "Baguslah kalau kamu mengerti." Marsel kembali memperhatikan kedua buah hatinya yang masih asik bermain sambil memakan banyak sekali makanan bersama Rafli dan Karin di meja jajaran khusus keluarga. Zulla dan Yudha saling tertawa bahagia. Prioritas Marsel sekarang hanya kebahagiaan Zulla, Yudha dan Erika. Masa bodoh dengan kebahagiaannya sendiri, Marsel rasa dirinya sudah mati rasa untuk merasakan sebuah kebahagiaan permanen. Tawa serta kebahagiaannya ikut terkubur bersama jasad Airin ketika istri pertamanya itu dikebumikan. Tapi entah untuk hari ke depan, takdir siapa yang tahu? Manusia hanya pelaku, Tuhan tetaplah sutradara. Pandangan Marsel kini berpindah arah. Dia dapat melihat seorang gadis memakai dress berwarna hitam sedang memandangnya penuh tatapan memuja. "Aish... Kamu apa-apaan sih?" Alexa risih sendiri karena Marsel tiba-tiba memeluknya tanpa permisi. Bahkan jarak antara keduanya pun hampir tidak ada sekat. Mereka sangat dekat, benar-benar seperti pengantin bahagia. "Diamlah!" desis Marsel tepat di dekat telinga Alexa. Marsel merasa puas ketika melihat gadis itu akhirnya membuang muka dan meninggalkan area pernikahan. Hal itu membuat Marsel merasa menang. Alexa mengetahui apa yang Marsel perhatikan sedari tadi. Senyumnya kini tersungging secara sinis menatap Marsel. "Dia pacar kamu, Mas?" bisik Alexa, takut-takut ada yang mendengar. Masa habis akad nikah langsung ngomongin pacar dari mempelai pria, kan tidak lucu. "Bukan." Marsel menggeleng sambil melepaskan tangannya dari pundak Alexa. "Cantik banget ya cewek yang tadi." goda Alexa, tujuannya ingin membuat Marsel kesal. "Iya cantik sekali, bahkan lebih cantik dari kamu. Kalau dibandingin ya, dia itu bagai buah apel sedangkan kamu bagai buah nanas." tawa sinis terpampang jelas di wajah Marsel. "Kalau cantikan dia kenapa yang kamu nikahin malah aku, Mas? Kenapa milih nanas dari pada apel?" Skak! Marsel terdiam tak dapat menjawab. Lelaki itu bungkam seribu bahasa. Mau menjawab pun Marsel bingung harus menjawab apa. Alexa menahan tawanya sendiri, melihat Marsel tak mampu berkata-kata itu membuat Alexa memiliki kepuasan tersendiri. *** Acara hanya cukup sampai pukul delapan malam. Semua itu dikarenakan undangan yang tidak terlalu banyak. Dari pihak Marsel dan Alexa sendiri tidak mau mengundang terlalu banyak orang, hanya membuat mereka ribet saja katanya. Terutama Marsel, dirinya hanya menganggap pernikahan ini hanya sebuah status biasa. "Yudha gak boleh bandel ya, ayo pulang sama Oma dan Om Rafli." Erika masih berusaha membujuk cucu keduanya supaya mau pulang bersamanya. "Tapi aku mau di sini sama Ayah, Oma." Yudha masih merengek tidak ingin pulang. "Yudha gak kasihan sama Kak Zulla nanti tidur sendirian di kamar?" Kedua mata Yudha memandang kakaknya yang berada dalam gendongan Rafli. Gadis kecil itu sudah tertidur pulas di pelukan ungkle-nya. Ada rasa kasihan kepada Zulla, tapi Yudha juga ingin bersama dengan Marsel. Kelopak matanya berkedip berulang kali, terlihat jelas puppy eyes-nya. "Adek pulang ya, kasihan Kakaknya nanti tidur sendirian." Marsel mengusap kepala Yudha kemudian mengecupnya berulang kali. "Apa mau tidur di sini sama Nenek? Mau?" Sofya berusaha mendekatkan diri kepada kedua cucu tirinya. Bukan sekedar formalitas tapi Sofya benar-benar menerima keluarga kecil Marsel secara tulus dan ikhlas. "Gak mau." gelengan kecil beserta jawaban dari Yudha membuat Erika semakin mengembangkan senyumnya. "Ya sudah, kita pulang sekarang. Ok jagoan?" "Tapi Ayah janji, jangan lama-lama di rumahnya Bunda." sungguh terlihat menggemaskan wajah Yudha kali ini. "Ayah janji, tidak akan lama. Sekarang adek pulang ya sama Oma dan Om. Istirahat, tidur yang nyenyak dan mimpi indah." Marsel mengecup kening Yudha dan Zulla secara bergantian. Alexa melihat sisi lain pada diri Marsel saat bersama atau cara lelaki itu memperlakukan kedua buah hatinya. Sangat berbeda jauh dengan caranya memperlakukan orang lain, bahkan dengan Erika pun tidak semanis itu. "Good night Ayah." Yudha mengecup kedua pipi Marsel secara bergantian. "Night too baby, love you so much." "Kalau begitu, kalian istirahat ya. Mama pulang dulu, mari Bu. Dadaa..." pamit Erika kepada semua penghuni rumah Sofya. "Gue balik Al, lo tenang aja sama Mas Marsel. Dia gak bakal gigit lo kok hahaha..." goda Rafli, lelaki itu nampak kesulitan juga keberatan harus menggendong Zulla yang memang sudah bukan bayi lagi. "Apaan sih lo, thank ya udah mau bantuin acaranya." "Your welcome, Al. Lo sahabat yang sekarang sudah merangkup sebagai kakak ipar gue." "Halah..." "Tante, saya pulang dulu. Kalau kakak saya bandel, jangan kasih dia makan Tan. Biarin aja dia kela..." "Balik tinggal balik gak usah banyak pidato lo di sini." sambar Marsel. "Sirik aja lo." Rafli langsung pergi setelah berpamitan dengan semua orang. "Ya sudah, kalian cepetan istirahat. Ini sudah malam, kalian pasti lelah." Sofya mengusap-usap bahu Alexa kemudian meninggalkannya ke kamar, begitu pula dengan kedua adik Alexa. "Iya Ma." Alexa melangkah begitu saja tanpa mengajak Marsel. Rasa lelahnya sudah tak tertahankan, dirinya ingin segera berendam di dalam air hangat. Melepaskan semua pernak-pernik yang ada di tubuhnya. *** Alexa hanya diam, dirinya tidak berani mendekat ke arah ranjang. Marsel sendiri di sana masih asik memainkan ponselnya. Sepertinya lelaki itu sedang memeriksa file-file yang dikirim oleh sekretarisnya-Brenda tadi siang ke ponselnya. "Gue harus tidur di mana kalau kayak gini?" ujar Alexa dalam hati sambil menggigit kuku-kuku jemarinya berulang kali. Tubuhnya berkoar-koar ingin segera diistirahatkan tapi rasa ego dan gengsinya terlalu tinggi. "Kamu tidak lelah?" suara Marsel tiba-tiba memecahkan lamunan Alexa. "Em... Capek." rasa gugup kian menyerbu tak terbendung. "Apa kamu mau tidur dengan gaya duduk?" Alexa memutar bola matanya, merasa malas dengan pertanyaan Marsel yang unfaedah. "Kalau kamu capek, ya tidur aja. Ini kan kasur kamu." "Kamu sendiri kenapa gak tidur?" Alexa memberanikan diri mendekat ke arah ranjang dan duduk di sisi sebelah kiri. "Saya masih ada pekerjaan sedikit." Marsel benar-benar tidak melihat ke arah Alexa, pandangan lelaki itu masih fokus ke arah ponsel. "Dasar cowok, malem pengantin masih aja pekerjaan yang dipikirin." gumam Alexa sangat-sangat pelan. Bahkan hampir tidak terdengar. Gadis itu langsung membaringkan tubuhnya sambil menutupinya menggunakan selimut. "Kamu bicara apa tadi? Saya kurang jelas." "Nggak, itu cicak gak punya buntut." jawab Alexa asal, tapi terdengar jelas dari nada bicaranya Alexa merasa kesal." Memangnya kamu mau ada apa di malam pengantin kita?" Nafas Alexa seolah tercekat ketika tiba-tiba Marsel memeluknya dari belakang. Bahkan lelaki itu bertanya begitu lirih tepat di dekat telinga Alexa, membuat gadis cantik ini merinding. "Apaan? Ya gak ada apa-apalah." Alexa tak mampu menutupi rasa gugupnya. Alexa kembali dibikin shock ketika tiba-tiba Marsel mengecup manis bibirnya. Tatapan mata mereka bertemu, jika Marsel dengan tatapan datar. Berbeda dengan Alexa yang seperti orang bingung. *** Kedua pasang mata itu menatap langit-langit kamarnya. Meski remang-remang, tak membuat pandangannya seolah kabur atau terhalang. Kedua tangannya mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh naked-nya. Punggungnya bersandar pada ranjang, kedua lututnya terlipat sampai d-a-d-a. Alexa masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Perasaannya campur aduk antara bahagia dan kecewa. "Lo gak boleh nangis Al, lo harus seneng. Pokoknya lo harus ikhlas, Marsel suami lo bukan orang lain."  ucap Alexa dalam hati. Alexa kecewa karena lelaki yang pertama menjamah tubuhnya bukan lelaki yang dia cintai juga mencintainya. Tapi Alexa juga bahagia karena janjinya kepada dirinya sendiri dapat terjaga. Memberikan sesuatu paling berharga kepada lelaki yang berstatus suaminya. "Kenapa kamu diam? Kamu menyesal memberikannya kepada saya? Bukannya kamu yang menginginkan hal ini terjadi? Bukannya kamu yang protes kenapa di malam pengantin, saya masih saja memikirkan pekerjaan ketimbang memanjakan kamu? Apa sekarang kamu sudah puas bisa merasakan bersatu dengan saya?" Marsel baru saja keluar dari kamar mandi. Alexa menatap Marsel yang berdiri di depan cermin. Lelaki itu hanya mengenakan boxer dan bertelanjang d-a-d-a. "Aku tidak menyesal, kamu suamiku dan berhak atas ini." Alexa sudah sangat lelah jika harus berdebat tengah malam. Dirinya memilih kembali meringkuk di bawah selimut tebalnya. Marsel pun kembali membaringkan tubuhnya di samping Alexa. Wajahnya terlihat basah sehabis cuci muka. "Tidurlah, kamu pasti sangat lelah. Apalagi usai melayaniku." goda Marsel khas dengan senyuman menjijikannya. "Aish, diamlah. Jangan dibicarakan lagi." untung saja lampu kamar dalam keadaan remang-remang. Kalau tidak, Alexa sudah sangat malu jika sampai Marsel melihat wajahnya yang merah padam menahan malu jika mengingat persatuan mereka tadi. Apalagi jika mengingat bahwa tadi dirinya mendesah juga merintih menikmati permainan yang disuguhkan oleh Marsel. "Besok sebelum pulang ke rumah saya, kita mampir dulu ke rumah sakit." "Aku malas nunggu orang yang asik sama pasiennya." "Kamu yang akan jadi pasiennya." Alexa membuka selimut yang tadi menutupi kepalanya, matanya menatap bingung ke arah Marsel. "Maksud kamu? Aku sehat, gak sakit apa pun." nampak jelas rasa bingung di raut wajah Alexa. "Kamu harus disuntik cairan pencegah kehamilan setiap bulannya, dan besok untuk yang pertama." jawab Marsel enteng. Alexa diam di posisinya. Otaknya masih tidak bisa diajak berpikir jernih. Dirinya bingung akan kata-kata Marsel. "Saya gak mau punya anak dari kamu. Ingat, kamu hanya saya anggap sebagai pelayan ranjang saya dan pengasuh kedua buah hati saya bersama Airin. Lagi pula saya tak mau punya anak dari kamu. Keturunan saya hanya dilahirkan dari rahim Airin." ungkap Marsel tanpa beban. Alexa merasa hatinya tercabik-cabik. Jika tadi dirinya tidak merasa menyesal sedikit pun sudah memberikan barang berharganya kepada Marsel, kini terbalik. Rasa menyesal itu datang begitu besar usai mendengar perkataan Marsel. Setetes air mata mengalir dari kelopak mata Alexa. "Kalau kamu gak mau punya anak dari aku, kenapa tadi kamu keluarin di dalam?" Alexa menahan sekuat tenaga supaya tidak terlihat lemah di depan Marsel. "Gak enak dong sayang kalau dikeluarin di luar, kamu tidak akan hamil." "Kalau begitu jangan sentuh aku lagi." "Jangan membantah, aku akan meminta jatah setiap malam." "Aku gak mau!" "Kalau begitu, kamu harus berani terima resiko jika nanti kamu hamil." "Apa resikonya?" "Gugurkan janinnya." "Jangan gila, Mas. Kalau nanti aku hamil, itupun darah daging kamu." emosi Alexa sudah tersulut. "Saya juga tidak mau jadi pembunuh darah daging saya sendiri. Maka dari itu, besok kamu harus disuntik." "Dasar egois." Alexa menyembunyikan tubuh mungilnya di dalam selimut. Wanita itu memilih tidur. Marsel juga ikut memejamkan kedua matanya. Tulangnya serasa remuk, ini lebih melelahkan ketimbang harus melakukan operasi lima kali dalam sehari. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD