Turunan Arab

2515 Words
Sepi. Ini bahkan sudah akan Magrib tapi belum ada tanda-tanda kemunculan Agha. Ia bahkan tak tahu apa yang terjadi. Ia sudah gelisah. Apa harus menunda lagi? Padahal ia ingin sekali berbicara dengan lelaki itu. Ingin jujur akan perasaannya dan juga mengetahui bagaimana perasaan Agha sesungguhnya. Meski ia tahu kalau Agha masih sama. Ia menghela nafas. Masih mencoba menelepon Agha dan mengiriminya pesan. Padahal ia jelas melihat kapan Agha terakhir kali aktif. Cowok itu pasti membuka ponselnya. Tapi kenapa tak meladeninya? Ia jelas kecewa. Karena merasa tak diprioritaskan. Sementara Agha masih sangat sibuk. Cowok itu keluar-masuk rutan dan kantor polisi demi membebaskan teman-temannya. Sampai saat ini, sudah hampir setengah yang diduga hilang, yang telah ditemukan dan dibebaskan dari pihak kepolisian. Ia masih berjuang keras bersama beberapa ahli hukum yang membantunya. Tak lupa berkoordinasi dengan ketua BEM dan perangkat BEM lainnya. "Sebelas orang dibawa ke arah Jakarta Timur." Salah satu tim IT melapor. Itu adalah tim yang terakhir kali ditangkap. Kening Agha mengerut memikirkannya. Untuk apa dibawa sejauh itu? "Pak, bisa kirim profil mahasiswa yang ditangkap?" "Baik, Pak!" Tak lama berbagai dokumen masuk. Agha agak-agak kaget juga mendapatinya. Ada Hanafi dan Andros di sana. Seingatnya keduanya tadi berhasil selamat bahkan menyelamatkan orang banyak. Agha segera menghubungi ketua BEM-nya agar informasi itu tersebar cepat. Ia juga meminta tim Farrel untuk segera mengejar pergerakan yang aneh dari mobil itu. Sementara ia, masih berada di Polres Jakarta Barat untuk membebaskan teman-temannya yang ada di sini. Beberapa dari mereka masih menemui kesulitan untuk bertemu para pendemo yang ditangkap. Sama seperti kasi Humaira tadi. Polisi berdalih kalau mereka tidak menahan pendemo di sana. Mereka tak tahu kalau teknologi semakin canggih. Mereka bahkan sudah bisa tahu bagaimana pergerakan polisi dan mengumpulkan tren data tentang itu. Rangga juga masih sibuk. Selain mengumpulkan bukti terkait kasus adiknya yang akan ia angkat ke ranah publik, ia juga sedang berjuang membebaskan rekan-rekannya yang turut ditangkap. Bukan hanya mahasiswa, para aktivis hingga beberapa jurnalis juga turut ditangkap. Mereka tak punya target spesifik kali ini. Rangga hanya menganalisis, mereka tetap memiliki target utama. Yang lain yang ikut tertangkap mungkin hanya korban salah sasaran. Ferril sudah bergabung dengan Ardan dan juga Adit. Ketiga orang itu mengendarai mobil yang berbeda untuk menyergap mobil hitam yang membawa paksa 11 orang penumpang di dalamnya ke arah Jakarta Timur. Belum lagi beberapa mobil anak buah Regan dan Fadli yang juga turut berpencar dari segala arah untuk mengejar dan memperkirakan ke arah mana kepergiannya. Kesebelas orang yang berada di dalamnya ditempeleng berkali-kali dan disuruh menunduk. Mereka tak berdaya di dalam mobil. Hanafi hanya bisa mengepalkan tangannya. Ia mana tahu kalau mobil yang hendak ia tumpangi tadi adalah mobil pihak kepolisian yang sedang menangkap orang-orang yang menjadi target mereka. Bukan hanya ia yang masuk perangkap. Pergerakan bodoh Andros juga sama. Cowok itu sampai memaki dirinya sendiri. Ia terlalu gegabah untuk meniru pergerakan pesaingnya. Tak mengecek pula apakah ia akan turut selamat atau malah terjebak seperti ini. Lucu memang. Ia malah ikut terperangkap sehingga total orang yang ditangkap menjadi 11 orang. Ren, nyokap lo nanyain lo udah pulang apa belum. Gue gak enak bohong. Itu pesan dari Retno. Berhubung lobi memang sudah sangat sepi, akhirnya Shiren memutuskan untuk beranjak. Ia berjalan gamang menuju kosnya. Ia jarang pulang ke kos. Lebih sering pulang ke rumah. Alasannya? Tidak ada alasan penting darinya melainkan ibunya yang selalu saja khawatir. Perempuan itu yang kerap menyuruhnya pulang saja ke rumah. Sehingga kosnya jarang terpakai. Tiba di kos, Retno baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sudah melihat wajah kusutnya dan sudah tahu apa yang terjadi. Pasti tidak bertemu Agha. Agha pasti sibuk dan tidak mementingkan urusan dengan Shiren. Agha memang seperti itu. Retno sudah maklum, Shiren justru sulit menerima itu. Karena ia merasa yaa kalau memang memiliki perasaan, harusnya ia juga diperhatikan. "Lo nangis?" Retno bertanya dengan tatapan tak percaya lalu terkekeh. Tangis Shiren malah semakin kencang. Ia kesal sekali pada Agha. Lalu dengan sesenggukan cewek itu berkisah kalau Agha membuka ponsel. Mungkin meladeni yang lain tapi sama sekali tak menggubris pesan darinya. "Agha kan emang begitu," tutur Retno usai solat Magrib. "Lo kayak yang baru kenal Agha aja. Barangkali Agha lagi sibuk banget ngurusin demo. Jadi gak sempat ngurusin elo dulu. Gue yakin, nanti kalo dia ngeliat elo, dia bakal nyari lo, Ren." "Tapi gue keseeeeel! Kalo pun sibuk, dia seenggaknya ngabarin. Bilang maaf kek atau apa gitu biar gue gak kayak gini. Gak mikir negatif." Retno menepuk-nepuk bahunya. Ia menghela nafas. "Gue kan udah pernah bilang ke elo kalo gue pernah nanya perasaan Agha. Perasaannya udah jelas ke elo, Ren. Cuma dia juga bilang kalo prioritasnya sekarang emang bukan elo. Dia mau fokus sama urusan kampus dulu. Gitu...." "Tapi sampai kapan, Nooo?" Retno menatapnya sedih. Ia tahu kalau Shiren sangat gundah. "Gue takut gak bisa nahannya lagi." "Emangnya nyokap lo udah maksa gitu?" Ia menghela nafas. Kesal tapi yang salah bukan Retno juga. Tak etis kalau ia berbicara ketus pada Retno. "Minggu depan, mereka bakalan datang ke rumah." "Terus lo mau nerima gitu aja?" Shiren menggeleng. Ia tentu menolak. Tapi tak berdaya. Keluarganya memang begitu. Ini sudah bagai tradisi. Menikah muda diusia 21 tahun. "Harus banget ya secepat itu? Lo bahkan belum koas. Terus harus banget sama turunan Arab gitu? Agha gak bisa?" Shiren mendesah. Kalau bisa, ia mana mungkin mau memaksa? "Karena garis keturunan di ambil dari garis keturunan ayah, jadi para perempuan keturunan arab ba'alawy (syarifah) diwajibkan untuk menikah dengan sesama keturunan arab." "Dan loo....?" Shiren mengangguk. "Itu semua tidak lain dan tidak bukan untuk menjaga kemurnian nasab. Kalo cowok dari keturunan ba'alawy gak masalah. Karena nasab di ambil dari garis keturunan ayah, tidak ada masalah mereka mau menikah dengan etnis manapun. Namun, untuk menjaga para syarifah ini maka para sayyid (laki-laki) biasanya di sarankan untuk menikah dengan para syarifah." "Elu dong?" Shiren mengangguk lagi. Ia juga sebal karena jodoh diatur semacam ini. Allah saja tak begini amat kok. "Kalau yang non-ba'alawy, mereka gak ada masalah untuk menikah dengan etnis manapun sebenarnya. Mungkin alasannya sama untuk menjaga nasab/keturunan ataupun budaya. Tapi mereka tidak ada tuntutan wajib menjaga nasab seperti syarifah pada keturunan ba'alawy kayak gue. Makanya, kakak-kakak gue juga begitu. Nikah sama keturunan yang sama tapi dari turunan yang jauh. Yang penting kita tahu jelas nasabnya, minimal lima generasi. Terus ya gitu lah." Ia malas menjelaskannya lagi karena terlalu ribet. "Terus Agha gimana?" Shiren menghela nafas. Ia juga bingung. Ini jelas sulit memperjuangkannya. "Di keluarga elo udah ada yang nikah dengan selain--" Shiren menggeleng. "Kakak pernah kabur begitu. Tapi yaa kalo menikah, mau mempelai ceweknya ada atau enggak, tetep sah kan nikahnya?" Kening Retno mengerut. Baginya tak masuk akal aja. "Terus gak punya hak gitu buat nolak?" Shiren menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya. "Yang kejadian di keluarga gue, yang cewek ya pasrah. Kebanyakan juga jadi sayang sama suaminya." "Eloooo?" Shiren tak berani menjawabnya. Ia bahkan terlalu takut untuk membayangkannya. @@@ Suasana sempat hening sesaat usai kejadian tamparan itu. Tapi saat Humaira tumbang begitu saja, para mahasiswa yang ada di sana langsung naik pitam. Tanpa bisa dicegah, mereka mengamuk pada beberapa polisi. Pertama, pada polisi yang sudah menampar keras. Kedua, pada polisi yang mencoba melindungi pelakunya. Kondisi yang mendadak genting itu tentu saja memantik rasa penasaran. Karena semua petugas berlari ke arah dalam, Rangga, rekan-rekan jurnalis dan juga Agha ikut berlarian masuk tanpa bisa dicegah. Beberapa polisi wanita terlihat membawa tubuh Humaira. Tapi sudah keburu ditahan Rangga. Ia tak tahu apa yang terjadi tapi pasti ada hubungannya dengan suara yang tadi ia dengar. Ia mengambil alih tubuh adiknya dengan kasar lalu kekaur begitu saja di antara para jurnalis yang sibuk meliput. Agha hanya melihat. Ia membiarkan Rangga yang mengurus Humaira karena Agha perlu mengurus teman-temannya yang baku hantam dengan petugas di sini. Agha terpaksa menghubungi Farrel. Melaporkan kejadian ini. Ia tak tahu harus berbuat apa. "Akan gue kasih perhitungan. Tanpa ampun," bisik Rangga. Ia marah besar melihat adiknya pingsan dan cap lima jari yang terlihat jelas di pipi putihnya. Mobil membawa Rangga menuju rumah sakit terdekat. Ia jelas khawatir. Seumur hidup, ia bahkan tak pernah memukul Humaira. Lalu tiba-tiba mereka memperlakukannya sedemikian kasar? "Ada apa, Mas?" Suara Zakiya terdengar. Cewek itu sejujurnya sudah dalam perjalanan pulang. Rangga juga menyuruhnya pulang saja. Situasi sedang sangat darurat apalagi dengan apa yang Zakiya alami tadi. Gadis itu pasti masih syok berat. Meski kini ia sendiri yang meneleponnya untuk meminta tolong. "Maaf, Kiya. Tapi Mas boleh meminta tolong?" Zakiya mengiyakan lalu Rangga mengabarkan kalau ia sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Ia meminta tolong Zakiya mengurus Humaira sementara ia akan bergerak mengajukan perkara ini menjadi perkara hukum. Persoalan apakah kasus ini akan tembus atau tidak, ia sedang mengusahakannya. Ia akan melaporkan kejadian ini dengan memberikan statemen pada media massa. Ia juga menghubungi kepala-kepala redaksi yang ia dengar. Ia mengumpulkan semua bukti mulai dari pencarian Humaira. Tak lupa, menghubungi para jurnalis yang berada di tempat kejadian perkara. Ia perlu saksi pendengaran dari mereka. Tiba di rumah sakit, ia langsung melarikan Humaira ke Unit Gawat Darurat (UGD). Sejujurnya Rangga agak-agak khawatir. Karena beberapa bulan lalu ketika OSPEK di sebuah kampus, ada sebuah kasus yang masuk ke dalam redaksinya. Gara-gara sejauh tamparan keras, seorang mahasiswa baru hampir tuli kala itu. Berawal dari keluhan telinga berdengung pasca kejadian tamparan keras itu. Mau melapor pada pihak kepolisian sangat sulit. Akhirnya, ia menempuh jalakur media. Membuat viral kasus itu hingga semuanya disidak. Bahkan senior yang menamparnya sudah dikeluarkan dari pihak kampus. Itu hukum yang mungkin terbilang kurang adil juga. Karena orang yang ditamparnya hampir kehilangan pendengaran. Sentara ia hanya kehilangan masa kuliah saja. Masa kuliah yang tertunda masih bisa dikejar. Tapi telinga? Kalau mendadak kehilangan pendengaran, apakah bisa diganti? Kalaupun bisa diganti, penggantinya tidak akan sesempurna ciptaan-Nya bukan? "Bang putar balik," titah Zakiya. Ia terpaksa meminta untuk putar balik demi membantu Rangga. Lelaki itu pasti pusing kepala. Mana ia tahu betapa Rangga sangat menyayangi Humaira. Satu orang pun yang berani menyentuhkan secara tidak sopan, Rangga tak segan mempermalukannya. Hukuman sosial memang cukup ampuh untuk beberapa kasus. Meski ada juga yang bebal mentalnya. Sementara itu, keadaan di rutan sudah mulai mendingin. Para mahasiswa sudah ditertibkan. Kali ini disaksikan bersama dengan anggota jurnalis yang menahan senyum. Tahu kalau petugas-petugas di depan mereka kesal tapi juga malu karena kebohongannya terbongkar. Ditambah lagi, beberapa mahasiswa berhasil kabur selama bentrokan terjadi. Agha tampak sedang berbicara dengan salah satu petinggi polisi yang ada di sana. Cowok itu terang-terangan meminta kebebasan teman-temannya dengan ditemani seorang ahli hukum yang tadi dibawa Rangga. Agha menahan senyumnya mendengar lelaki yang merupakan ahli hukum ini berbicara. "Pak, saya itu datang ke sini untuk melakukan pendampingan mewakili semua mahasiswa yang ditangkap hari ini. Yaaa Bapak tahu lah kalau pendampingan itu pas demo-demo yang kemarin, susah sekali aksesnya. Tidak hanya pendampingan, tapi bantuan hukum juga ya. Karena ada beberapa mahasiswa yang diancam dengan pidana di atas lima tahun, seharusnya bantuan hukumnya diberikan oleh kepolisian. Pelaku koruptor masa tahanan nya malah kurang dari itu. Kan lucu, Pak?" Ia tak terlihat takut sama sekali. Yaa selama berada di jalur yang benar, untuk apa takut? "Bahkan waktu demo kemarin-kemarin itu, Pak, puluhan mahasiswa itu ditahan di Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Barat, tapi kita gak pernah tidak tahu pasti jumlah dan identitas mereka masing-masing. Tahu kenapa, Pak? Ya karena kejadian tadi itu loh, Pak. Disembunyiin!" Sang polisi bergeming. Diam-diam Agha merekamnya dengan video yang terarah menuju sepatu si petinggi polisi. "Bahkan ada yang ditahan lebih dari sehari, Pak. Bilangnya udah dipulangin ke orangtua. Tapi orangtuanya malah minta tolong sama kami biar bisa dibebaskan. Inget, Pak, inget. Kejadian yang kayak tadi itu gak cuma sekali. Kami sudah hapal banget ritmenya. Polanya sama aja. Saya sih cuma mau ngingetin, Pak. Inget Tuhan, Pak. Karena semua yang hidup di dunia ini pasti akan mati, Paak!" @@@ "Yang lain bagaimana?" "Masih kita cek terus, Mas." Ia mengangguk-angguk. Lalu menerima telepon dari salah satu pengacara hingga akhirnya perempuan yang ditunggu muncul. Siapa? Tentu saja Zakiya. Gadis itu tersenyum tipis meski kepalanya diperban. Rangga menurunkan ponselnya dari telinga begitu selesai menelepon lalu menghampiri Zakiya sekaligus berterima kasih pada Andra karena turut datang. "Maira ada di dalam, titip ya, Kiya." Gadis itu mengangguk. Sementara Rangga berjalan ke arah lain lalu bertemu dengan rombongan jakun alias teman-teman kampusnya Maira. "Mau ikut ketemu dokter aja?" Rangga mengajak Agha dan beberapa teman pun bergerak ke ruangan sang dokter. Ikut mendengar penjelasannya. "Sampai saat ini kita belum memastikan apakah ada trauma atau tidak. Tapi dari hasil MRI tadi, tidak ada kerusakan pada telinganya. Setidaknya itu kabar baik yang bisa saya sampaikan. Sisanya, kita harus menunggu Humaira sadar dulu. Untuk tahu apakah pendengarannya terganggu atau tidak. Atau adakah keganjilan lain yang dirasakan." Rangga mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih dan bersamaan dengan itu, sang dokter mendapat kabar kalau Humaira sudah sadar. Mereka segera bergerak menuju ruang rawat. Agha juga ikut. Tapi ia dan teman-temannya memilih untuk menunggu di luar ruangan. Sementara itu, Saras baru saja muncul. Ia sudah merengek pada Bani agar bisa segera ke sini tapi harus menunggu keadaan aman dulu. Begitu mendapat kabar kalau kebanyakan teman mereka sudah dibebaskan, baru mereka berani keluar. Humaira diperiksa oleh dokter. Agha berdeham saat tak sengaja bersitatap dengan Andra. Cowok itu langsung menyapanya. "Lama gak ikutan kumpul, Gha." "Iya, Bang. Sibuk sama urusan kampus." Andra mengangguk-angguk. Andra juga sangat sibuk beberapa minggu terakhir. Meski tadi sempat bermain golf bersama Ardan. Ardan sudah jauh melesat. Mereka mulai mengepung mobil kepolisian. Tiba-tiba menjadi jurnalis dadakan. Polisi yang mengendarai mobil tentu saja bingung. Ia tak bisa melajukan mobilnya karena tiba-tiba dikepung dari segala arah. Para aktivis yang ditahan di dalam sana mlah kebingungan. Meski ini jelas menjadi kesempatan bagi mereka untuk bisa kabur. "Ini nih mobil yang saya lihat tadi teman-teman!" Salah satu tim pengintai turun. Yang lain berkerumun dengan kamera. Anggota polisi yang ada hanya tiga orang tentu saja bingung. Si supir menurunkan kaca mobil. Sementara dua orang lain bergerak turun usai mengancam para aktivis agar tidak bersuara. Jurnalis gadungan itu sudah memotret seluruh penampakan mobil. Hal yang membuat pihak polisi berseragam preman itu kalang kabut menghadang. "Waaah! Ada mahasiswa!" teriak salah satu orang. Padahal jelas, tak bisa dilihat dari luar karena kaca terlalu gelap. Mendengar itu, Hanafi langsung bersuara meminta tolong yang diikuti oleh Andros dan yang lainnya. Ardan langsung menerobos membuka pintu. Ketiga polisi itu hanya bisa ternganga menyaksikan para aktivis sudah berhasil keluar. Beberapa aktivis menunjuk-nunjuk ketiga polisi itu. Mereka berjanji akan mengangkat kasus ini sebagai salah satu kasus k*******n dari pihak kepolisian. Mereka sudah banyak kasus semacam ini tapi mau melapor pada siapa? Hahaha. Bukan kah pihak di mana mereka harus melapornya justru pada pihak kepolisian? Tapi ketika kepolisian yang justru menjadi pelakunya, ini menjadi tanda tanya. Sekalipun melapor ke Komnas HAM. Ya siapa pun tahu akan percuma. Tidak akan ada hukuman setimpal untuk mereka. "Thanks, Gha," ucap Rangga. Ia berterima kasih atas bantuan hukum yang juga datang dari Agha. Ia tersenyum tipis. "Sama-sama, Bang. Dan lagi, ini emang seharusnya." Rangga mengangguk. "Gak masuk?" tawarnya. Karena teman-temannya yang lain sudah masuk untuk melihat keadaan Humaira. "Enggak, Bang. Gue pamit aja. Banyak hal lain lagi yang harus diurus." Rangga mengangguk. Sekali lagi, ia mengucapkan terima kasih lalu membiarkan cowok itu pamit pergi. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD