Tamparan Keras

2545 Words
Beberapa jenis sayuran hijau di rumah kacanya tumbuh subur. Bahkan paprika juga bisa tumbuh di tengah-tengah suasana Bekasi yang sangat lah panas. Ia memang berhasil mengatur suhu dan kelembapan di rumah kacanya. Eksperimennya berlangsung mulus sejak tahun lalu setelah bertahun-tahun berkutat. Ia fokus mencatat setiap pertumbuhan tanaman-tanaman yang ada di sini. Tak hanya itu, ia juga melihat apakah daunnya rontok? Atau kah berubah warna menjadi menguning? Ataukan ada yang bolong-bolong? Ia perlu tahu juga agar tak ada hama yang merugikan yang juga ikut tumbuh di sini. Setelah mendata semua tanaman, ia keluar. Hari ini yang mengajar adalah tiga anak asuhan tetapnya. Mereka sudah lulus SMK dan belum melanjutkan perkuliahan. Amri sudah mengatakan kepada mereka kalau ia akan menguliahkan mereka satu per satu. Tapi ia perlu mengumpulkan uangnya terlebih dahulu. Saat ini, ia mendapat tambahan uang dari hasil menjual tanaman di dalam rumah-rumah kacanya. Ia memilih lahan yang lumayan luas dan ia tempati bersama anak-anak asuhannya. Orangtua? Sudah meninggal sejak beberapa tahun silam. Ia hidup sendirian. Beberapa tahun lalu, kakeknya masih ada. Tapi sekarang sudah meninggal. Jadi ia benar-benar sebatang kara. Amri mencuci tangannya usai menyelesaikan pekerjaannya. Ia hendak menyambung laporan magangnya. Kebetulan sudah selesai kemarin. Penelitian sebagai anak Teknik Lingkungan juga sudah ia kerjakan. Ia bereksperimen dengan tanaman-tanaman yang akarnya bersimbiosis dengan bakteri yang bisa menghasilkan nitrogen di udara. Tak hanya itu, ia juga bereksperimen terkait tanaman yang sedang ia kembangkan untuk menjadi penyerap polutan minyak dan juga sampah plastik. Sudah banyak penelitian terkait ini namun yang ia kembangkan lebih dari itu. Ia juga memadukan teknik rekayasa genetika dengan membuat bakteri dapat menghasilkan enzim lebih banyak sehingga dapat mempercepat proses degradasinya. "Kak!" Aryo memanggil. Lelaki itu anak asuhan kedua di rumah ini. Ia mengetuk pintu kamar Amri. Ini sudah Magrib. Seharusnya Amri sudah selesai berkutat dengan laporan. "Kenapa?" "Anak-anak udah pulang. Aku juga mau pamit bentar." Amri mengangguk. Ia masih sibuk di dalam kamar. "Mau nitip sesuatu?" "Enggak. Aku masak sayuran di situ saja." Aryo mengangguk. Cowok itu pamit pergi sementara Amri bergerak untuk solat dulu. Usai solat ia menyiapkan sop sayuran. Benar-benar sayuran semua isinya. Biasanya ada tahu. Tapi stok tahunya habis. Ada juga tempe. Tapi ia tak punya waktu meski sekedar untuk menggoreng. Nanti saja, pikirnya. Kalau anak asuhannya yang lain sudah pulang, ia akan menyuruh mereka untuk menggoreng tempe. Amri jarang berbelanja di pasar. Ia hanya memakan semua yabg ia tanam atau fermentasikan. Ia membuat tempe, tahu bahkan jamur sendiri. Mie juga sama. Mie akan ia buat banyak dalam warna hijau karena efek sayurannya kemudian di simpan di dalam freezer. Ayam? Ada. Ia juga punya peternakan sendiri di halaman belakang. Kalau ingin ikan, biasanya ia akan datang ke Muara Angke. Memang lumayan jauh tapi ikan-ikan di sana jauh lebih segar dibandingkan membeli dari pedagang keliling. Begitu menyalakan televisi, ia terpekur melihat Agha yang baru saja naik ke atas gerobak. Orasinya diliput. Mendengarnya memang sungguh manis. Namun seperti yang dirasakan Humaira, melihat Agha itu membuatnya berpikir. Apakah orang ini benar-benar selurus ucapannya atau hanya sekedar berkedok janji? Karena Amri punya pengalaman buruk tentang hal ini. Dulu ketika ia hendak masuk kuliah, ia sempat dijanjikan oleh teman baik dari almarhum ayahnya yang saat itu mengikuti pemilihan kepala daerah untuk menjadi bupati kalau ia dan teman-teman di kampung yang sempat mengharumkan kabupaten mereka dalam kompetisi teknologi lingkungan di Malaysia, akan diberikan beasiswa penuh untuk kuliah. Ia dan kedua temannya tentu saja sangat senang dengan iming-iming itu. Mereka sangat bersemangat mempromosikan si calon bupati itu sekaligus proyek mereka yang katanya akan didanai dan diterapkan di desa mereka. Ayahnya yang memang memiliki pengaruh bagi orang-orang di kampung, turut mempromosikannya mati-matian. Apalagi titel teman baik itu sangat melekat sehingga para penduduk kampung hingga hampir setengah dari kabupaten terpengaruh untuk memilihnya. Nama ayah Amri memang dikenal masyarakat luas di daerah mereka. Karena kepeduliannya terhadap masyarakat. Ia mendedikasikan dirinya untuk mengabdikan diri pada masyarakat. Meski kehidupan keluarganya sangat pas-pasan. Yeah, sebagai akibat dari dedikasinya itu. Setelah pemilihan, teman baiknya memang terpilih. Ia menang telak melawan lawannya. Namun janji hanya lah janji. Tiap ditagih janji-janji itu, apa jawabannya? "Santai lah Abdul. Saya ini bahkan baru duduk di kursi pemerintahan. Belum panas kursinya." Tapi hingga satu tahun bahkan Amri sudah lulus SMA waktu itu, tak pernah ada beasiswa apalagi menjadikan kampung mereka untuk menjadi kampung dengan teknologi lingkungan yang maju dan keren seperti beberapa daerah yang ada di luar negeri. Jauh dari itu. Bupati itu semakin lama juga semakin susah ditemui. Ada saja alasannya. Sibuk lah, ini-itu lah. Orang-orang kampung mulai komplain karena janji yang tak kunjung ditepati. Pembesaran lapangan bola bahkan renovasi masjid yang dijanjikan juga tak ada. Benar-benar tak ada yang terealisasi. Di sisi lain, lapangan kerja mulai dibatasi hanya untuk orang terdekatnya saja. Korupsi, kpkusi dan nepotisme merajarela. Sudah banyak masyarakat yang demo tapi diancam ekonominya. Yaah kalau urusannya perut, siapa yang berani berkutik? Alhasil tak pernah ada yang buka suara bahkan sekarang sudah masuk ke dalam periode kedua pemerintahannya. Kenapa bisa terpilih begitu saja? Karena suara rakyat bahkan dihargai lima puluh ribu saja per orang untuk masa pemerintahan lima tahun. Miris? Kenyataannya memang demikian. Dan lagi, Amri juga tahu. Suara rakyat di daerahnya tak akan pernah bisa menang. Karena semua pejabat sudah berkongkalikong untuk memenangkannya sebagai kepala daerah lagi. Tahu kenapa mereka melakukan itu? Jawabannya sangat mudah. Proyek. Ya, mereka.pasti kebagian proyek kalau memilih sang petahanan. Bahkan banyak kepala dinas yang terang-terangan mendukungnya. Mereka juga mempengaruhi para bawahannya yang bekerja di bawah pemerintahan dengan mengatakan..... "Bapak dan Ibu sekalian, kalian pikir, siapa yang menggaji kalian?" Pertanyaan yang sekaligus menjadi titik telak baginya. Padahal bodoh bagi yang paham konteksnya. Sejak kapan para pegawai pemerintah digaji oleh pemerintah? Apakah mereka lupa kalau uang yang mereka gunakan itu berasal dari rakyat? Dari pajak? Pajak yang kian tahun makin meninggi dan mencekik rakyat kecil. Tapi pajak untuk rakyat dengan ekonomi menengah ke atas justru perlahan dihapuskan. Menyedihkan bukan? Ya begitu lah kenyataan yang tak bisa disangkal. "Apa suara mereka akan didengar, Kak?" tanya Aryo yang sudah kembali. Ia penasaran dengan demo yang beberapa tahunt terakhir ini sering terjadi. "Mustahil. Untuk apa mereka capek protes-protes begitu kalau yang punya telinganya tidak digunakan untuk mendengar? Bahkan hati mereka saja sudah tak bisa meraba kebenaran. Lebih baik jalani hidup diri sendiri saja," tutur Amri dengan nada sarkasme. Kentara kalau ia emang sangat membenci para pejabat yang tidak amanah dalam menjaga kepercayaan rakyat dan juga pengkhianat. "Iya sih. Giliran mereka berhasil melakukan sesuatu, diklaim itu hanya kerja keras mereka. Mereka lupa kalau masyarakat juga terlibat. Giliran mau nambah hutang, disebutnya hutang rakyat. Giliran mau bagiin bantuan sosial, disebutnya atas nama pejabat. Padahal jelas, sumber uangnya itu dari rakyat dan atas nama rakyat." "Maka itu, Yo! Jangan pernah percaya mereka! Pejabat itu cuma inget rakyatnya waktu pemilu aja. Setelah menjabat lima tahun, lupa!" Aryo tertawa. "Bener, Kak. Udah gak ada nuraninya lagi." "Cuma bisa doa, Yo," ia menunjuk ke atas. "Biar Allah yang cabut nyawa pejabat-pejabat zalim kayak gitu. Semoga auto masuk neraka tanpa hisab!" "AMIN!" Aryo menyemangati. Keduanya tertawa. @@@ "Ras! Lo ikut mobil sana!" Saras menghentikan langkahnya. "Lo gimana?" "Gampang!" Saras menggelengkan kepala. Hanafi memang begitu. Ia belum akan menyelamatkan diri kalau semuanya belum selamat. Saras jadi khawatir padanya. Tapi mau dipaksa pun akan percuma. Hanafi tak akan mendengarnya. Hanya akan mendengar ucapan Humaira. Tapi sayang, sahabatnya entah di mana. Ia juga was-was. Begitu masuk ke dalam mobil, ia malah meringis sebal karena berhadapan dengan Bani. Cowok itu juga kaget karena ia suruh masuk ternyata Saras. Dari sekian banyak cewek, kenapa harus musuh bebuyutannya yang satu ini sih? Heran. Makin benci kok makin sering dipertemukan? "Apa lo? Sana bantuin yang lain juga!" Bani mendengus. Ia akhirnya fokus menarik teman-teman yang sedang berlari untuk ikut masuk ke dalam mobil. Berhubung bisa duduk, Saras mengeluarkan ponsel, mencoba menelepon Humaira. Namun hasilnya nihil. Kali ini nomornya tak aktif. Iya lah! Wong ponselnya Humaira baru saja diserahkan kepada pihak kepolisian. Cewek itu mendengus, tak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih mengkhawatirkan nasibnya di sini, ia justru memikirkan nasib teman-teman yang lain. Saras bagaimana? Masnya juga. Bani? Andros? Hanafi? Meski ai tahu kalau cowok-cowok itu pasti bisa menyelamatkan diri. Ia hanya bisa menghela nafas. Ikut duduk sembari menunduk dan diperlakukan bagai tahanan. Padahal mereka tak punya salah loh. Apa yang salah dari mereka yang hanya mencoba menyuarakan nurani rakyat? Kok malah ditahan begini? Kebebasan bersuara malah dibungkam dengan k**i. Dan diperlakukan sangat tidak manusiawi. Humaira merekam suasana ini. Ia ingat bagaimana pihak polisi memukul teman-teman lelaki di sini. Bahkan yang perempuan juga tak segan ditampar okeh mereka. Entah di mana rasa kemanusiaannya. Bahkan Humaira sempat berang saat berada di atas mobil tadi. Ia sempat berteriak.... "Demi Allah, Pak. Jangan salah kan orang lain kalau suatu saat nanti, anak, istri, cucu, cicit hingga turunan Bapak kalau diperlakukan k**i seperti ini. Saya bukan berbicara karma, Pak. Saya berbicara hukum Allah yang Maha Adil!" Humaira sampai menunjuk-nunjuk mukanya yang malah semakin bengis melihat Humaira semarah itu menatapnya. Hal yang justru membuat mata-mata polisi sudah menjadikannya sebagai target utama. Entah akan diapakan. Tapi mereka sudah menyiapkan aksi balas dendam yang lebih k**i. Ini hanya persoalan waktu dan giliran. Tahu kan balas dendam apa yang paling k**i terhadap perempuan? Hal yang paling ditakuti perempuan. Tak perlu disebutkan. Karena siapapun pasti tahu itu apa. Meski Humaira tak gentar sedikit pun. Cewek itu masih menatap nyalang siapa pun yang berani memperlakukannya secara tidak manusiawi. Karena Humaira percaya, di alam barzah kelak, yang berbicara bukan lagi mulut. Tapi kaki, tangan dan anggota tubuhnya yang lain. Mereka lah yang menceritakan apa yang masing-masing tubuh manusia lakukan. Bahkan Humaira sudah membayangkan apa yang akan dikatakan oleh anggota tubuh para kepolisian yang tidak punya nurani dan tidak takut Tuhan itu. "Hanaaaf!" Andros melihat Hanafi. Cowok itu masih mengarahkan teman-temannya untuk bersembunyi ke tempat yang tepat. Sekitaran Senayan memang sudah mulai sepi. Tiba-tiba saja aparat kepolisian mendadak mundur. Entah apa penyebabnya. Hanafi pun tak tahu. Andros terlihat terengah-engah menghampirinya lalu menepuk bahunya. Ia tahu kalau ia sampai menanyakan pertanyaan ini, itu artinya ia kalah langkah lagi dari Hanafi. "Lo lihat Maira?" Cowok itu langsung mengangguk. "Ya. Mas Rangga udah nyusul keberadaannya." "Dia di mana?" Hanafi membalik badan lantas berkacak pinggang. Ia menatap Andros dengan wajah seriusnya. "Bisa-bisanya seorang calon ketua BEM nanyain keberadaan perempuan yang spesial dihatinya bukannya mikirin nasib orang banyak yang akan ia pimpin? Sadar, Dros. Jangan campuri urusan pribadi dengan urusan--" "Gue hanya nanyain keberadaan Maira," kilahnya. Ia sangat khawatir bahkan sulit memikirkan apapun lagi. Pikirannya terfokus pada Humaira. "Dia sudah aman. Setidaknya ada Mas Rangga." Cara berpikir Hanafi sesimpel itu. Cowok itu kemudian kembali berlari menjauh dari Senayan, meneriaki teman-teman yang bersembunyi di dekat sana untuk berlair ke arah post-post penyelamatan. Andros menghembus nafas. Ia tahu kalau ia akan terpukul telak tiap berhadapan dengan Hanafi. Ia tak bisa menyangkal kalau ia memang terlalu sering kalah dari banyak hal dari Hanafi. Setelah memastikan wilayah sekitarnya kosong, Hanafi menelepon komando lapangan dan menanyakan persentase yang sudah selamat. "Kita masih nyari bareng tim IT di sini. Lo nyusul aja ke 020. Kebanyakan dari kita kumpul di sini buat mantau dan lagi koordinasi sama lembaga bantuan hukum untuk bebasin teman-teman kita." Hanafi menghela nafas lega. Ia menutup telepon kemudian mencoba menghubungi Rangga. Namun tentu saja tak akan diangkat. Akhirnya berlari sembari membuka gambar yang dikirim Doni. Ia melacak sendiri keberadaan mobil yang membawa Humaira itu dengan aplikasi yang ia punya. Kemudian bergegas menyetop kendaraan apa saja yang bisa membawanya ke sana. Andros yang diam-diam mengikutinya, bergegas melakukan hal yang sama. Setidaknya, meski ia tak bisa terdepan, ia harus tahu cara lebih cerdiknya. @@@ Pamit pada Farrel, Agha pergi ke kepolisian dengan beberapa rekan BEM antar kampus. Mereka bersepakat untuk mendatangi rutan-rutan setelah membuat janji dengan beberapa ahli hukum. Agha diantar paling terakhir karena jarak gedung tadi dnehan rutannya yang sedikit jauh. Ia kan sempat beberapa kali pindah gedung agar bisa berkumpul dengan teman-temannya. Mereka membuat rapat singkat lalu segera berangkat menuju tempat masing-masing. Saling berbagi tugas. Begitu Agha turun, ia melihat Rangga baru sjaa berjalan melewati gerbang. Agha mempercepat langkahnya. Ferril entah di mana. Agha tak menemukannya. Tadi Agha sempat melihat profil keluarga Humaira. Perempuan itu masih memiliki kedua orangtua dan satu kakak laki-laki. Wajah Rangga yang sangat ia kenal tentu saja cukup mengagetkannya. Karena wajah Rangga jelas berbeda dengan Humaira. Lelaki kelahiran Yogyakarta itu yaa terlihat persis orang Jogja kebanyakan. Manis dan berkulit kecokelatan. Tinggi pula. Kalau Humaira? Bukan yang tinggi-tinggi amat. Agha mengira tingginya hanya sekitar 158 sentimeter. Lalu wajahnya malah Sunda sekali bukan? Jauh dari kesan Jawa. Tapi Agha tak sempat melihat gambar kedua orangtua Humaira tadi. Siapa tahu keduanya memang berbeda kemiripan karena orangtua juga demikian. Yaa sama sepertinya, Adrian, Adel dan Adeeva. Mereka setidaknya masih memiliki kemiripan. Meski wajah Agha itu campuran kedua orangtuanya. Namun banyak pula yang mengatakan kalau ia lebih mirip dengan Umminya. Kalau Aidan, Ali, dan Adshilla sudah jelas sangat mirip dengan Abinya. "Saya tahu adik saya ada di sini!" Suara Rangga terdengar dingin. Cowok itu tak mengangkat telepon Ferril sama sekali. Ia sudah kalut setelah melihat rekaman CCTV kalau adiknya dibawa ke rutan ini. Sampai detik ini pun, ia bisa memastikan kalau adiknya ada di sini. Anehnya, pihak kepolisian tidak membenarkan informasi itu. "Sejak kapan Mas, rutan kami jadikan tempat untuk menahan mahasiswa yang demo?" Tangan Agha terkepal mendengarnya. Ia jelas melihat dengan matanya sendiri. Mana mungkin Agha salah melihat? Dan lagi, andai ia mereka kejadian tadi mungkin mereka akan malu. Di sini, Agha justru merasa bingung. Maksudnya, kebenarannya terlampau jelas tapi kenapa mereka menutup-nutupi? Agha melihat sekitar. Ia baur menyadari kalau Rangga tidak sendirian. Cowok itu datang dengan tim media. Cerdas juga, pikirnya. Agha bahkan tak berpikir sampai ke sana. Sementara para mahasiswa sedang disiplinkan ke dalam sebuah ruangan yang agak jauh dari tempat di mana Rangga ingin mengamuk. Ia sedang cemas dengan adiknya tapi malah dipermainkan seperti ini. s****n bukan? Apakah ini yang namanya pengayom masyarakat? Humaira yang mulai curiga dengan perpindahan dadakan ini semakin mengencangkan indera pendengarannya. Ia bisa mendengar suara samar-samar awak media yang juga turun menanyakan keberadaan para aktivis. "Lantas, kalau begitu mereka ditahan di mana, Pak? Karena kami mendapatkan informasi yang tentunya valid tidak abal-abal." Sang polisi tertawa. "Jangan hoaks. Kalau hoaks, kalian bisa dijerat hukuman." Kata-katanya mungkin terdengar santai tapi sejujurnya itu adalah sebuah ancaman. Sang wartawan mendadak terdiam. Namun yabg lain menyahut bahkan menunjukan sebuah rekaman CCTV publik yang bisa diakses melalui ponsel. Dengan jelas ia memutar rekaman itu di depan mereka. Biar tak bisa menyangkal lagi. Agha tersenyum kecil. Suka dengan gaya para jurnalis ini. Ya kalau jurnalis nya masih netral dan tidak berhaluan pemerintah, mereka bisa menunjuk sebuah kebenaran dengan kemampuan mereka. Sebaliknya, kalau mereka hanya menuruti nafsu dan uang dari pemerintah untuk menutupi pemberitaan yang buruk, maka tamat lah sebuah negara. Meski yaaa sepandai-pandainya bangkai disembunyikan, bau busuknya pasti akan tercium juga. Suasana di halaman depan rutan mendadak gaduh akibat pemutaran rekaman CCTV. Para jurnalis mulai mengeluh dan pihak kepolisian terpojok. Humaira yang menyadari situasinya, dengan sengaja menginjak kaki salah satu polisi yang berjalan di sampingnya. Kemudian ia ikut berteriak seakan latah. Teriakannya tentu saja membuat gaduh dan Rangga semakin yakin kalau adiknya memang berada di dalam sana. Namun kejadian lain yang tak terperdiksi justru menerpa. Karena kereflekan seorang petugas di dekatnya yang langsung menamparnya dengan kuat. Hingga membuat Humaira terkapar seketika. Maksud hati mau meredam suara. Tapi malah seperti melayangkan sebuah nyawa. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD