"Rachel sayang ... Mama pulang." Rasti merentangkan tangan dan memeluk anak gadisnya.
"Apaan sih Ma. Rachel bukan bayi." Rachel meronta dalam dekapan mamanya.
"Kamu nggak rindu sama Mama?" tanya Rasti yang baru saja kembali dari desa.
"Enggak," jawab Rachel ketus.
"Em, ya sudah sana ke kamar dan ganti baju. Ada oleh-oleh di lemari es. Setelah itu cepat makan. Mama sudah memasakkan makanan enak untuk kamu dan Mi ... lho mana Minah, Chel?" Rasti mencari-cari keberadaan Minah. Rachel memutar bola matanya malas karena lagi-lagi mamanya memperhatikan Minah.
"Dia bilang mau pulang bareng Kak Radit. Entah ada urusan mungkin." Rachel menjawab dengan malas.
"Yang benar Chel? Kamu nggak meninggalkannya lagi seperti kemarin, kan?"selidik Rasti.
"Kalau Mama tidak percaya dan khawatir banget telepon saja Kak Radit. Sudah Rachel mau ke kamar." Gadis itu menuju kamarnya malas dengan mamanya yang selalu membahas Minah.
"Hm, Minah kamu kan baru saja sakit. Ke mana kamu Nak?" gumam Rasti khawatir.
***
"Ayo makan! Dengan dilihat saja tidak akan membuat perutmu itu kenyang," perintah Raditya pada Minah yang tidak segera melahap makanan yang sudah terhidang. Raditya sendiri langsung memakan makanannya.
Minah memandang makanan yang terlihat menggiurkan di hadapannya. Ia sangat lapar, perutnya meronta minta diisi. Dan bau ayam goreng yang begitu gurih menggodanya untuk segera melahapnya. Namun selera makannya menghilang, ketika ia mengingat bahwa sebagai gantinya ia harus mencuci piring di restoran itu.
"Minah! Kamu tidak mendengarkan perkataanku ya? Kalau kamu tidak makan aku akan buang kamu ke jalanan setelah ini."
"Iya, iya aku makan. Bisa tidak, jangan mengancam aku terus." Kali ini Minah berani bersuara.
"Biarlah. Kamu kan pesuruhku. Biarlah aku mengancammu sesuka hatiku." Minah memilih melahap makanannya yang lezat daripada berdebat dengan Raditya. Rasa lapar membuat Minah bersemangat untuk segera menghabiskan makanan yang Raditya pesankan. Peduli apa jika ia harus mencuci piring sebagai gantinya.
"Alhamdulillah, kenyang banget," ucap Minah setelah makanannya habis. Ia mengelus perutnya yang kini terasa penuh.
"Tadi aja pura-pura nolak. Sekarang bersih tak tersisa. Ya sudah tunggu di sini. Aku bayar makanan ke kasir. Lama kalau harus menunggu mbak-mbak tadi datang." Raditya berdiri dan menuju ke kasir membayar makanannya dan juga Minah.
"Yuk pulang!" ajak Raditya.
"Hah? Nggak jadi cuci piring, Dit?" tanya Minah dengan segala kepolosannya.
"Nggak, nanti cuci piringnya di rumah saja. Bantu Bi Murni." Minah jadi kesal, ternyata Raditya mengerjainya saja. Namun dalam hati ia tersenyum. Ternyata lelaki songong itu punya hati yang baik. Minah berharap agar kedepannya Raditya dan Rachel dapat berdamai dengannya.
"Terima kasih, Raditya."
***
"Kenapa jam segini baru pulang? Dari mana saja kamu, Nak?" tanya Rasti.
"I-iya Tan. Maaf ya Tan. Minah tadi keliling-keliling sekolah mengenal lingkungan sekolah dulu. Ada tugas dari guru, karena Minah anak baru Tan. Untung ada Radit Tan. Jadi Minah bisa pulang bareng," bohong Minah. Raditya memasang wajah datar. Pura-pura tak bersalah.
"Oh begitu. Lain kali kalau ada apa-apa kasih kabar ya Nak. Biar Tante nggak khawatir."
"Iya Tan. Maaf untuk kejadian hari ini."
"Makasih ya Dit!" ucap Rasti tersenyum bangga pada anak lelakinya.
"Hem," jawab Raditya dingin seperti biasanya.
"Ya sudah kalian mandi terus makan."
"Maaf Tan. Tadi Kami sudah makan. Raditya sudah mentraktir Minah makan di restoran tadi."
"Oh begitu, baguslah. Kalau begitu mandi terus belajar. Dan istirahat."
***
Minah sedang belajar untuk persiapan ulangan harian esok hari ketika ponsel miliknya berdering dengan kuat. Satu panggilan masuk dari nomor baru. Minah mengernyit, setahunya hanya ada empat orang yang tahu nomornya. Radit dan keluarganya saja.
"Iya halo."
"Minah, ini aku Andra. Kamu lagi apa? Sudah tidur?" tanya Andra dengan lembut dari seberang sana. Hati Minah bersorak kegirangan karena Andra menghubunginya.
"Belum tidur Kak. Ini baru belajar. Ada ulangan matematika besok," jawab Minah bahagia. Hatinya berbunga karena Andra meneleponnya.
"Oh, baguslah. Kamu baik-baik saja kan tadi pulang sama Radit?" tanya Andra khawatir.
"Iya Kak. Jangan risau. Minah baik-baik saja. Eh maaf Kak. Bagaimana Kakak bisa tahu nomor telepon Minah?"
"Oh itu, tadi Kakak minta sama Raditya."
"Oh begitu rupanya."
"Save nomorku ya Minah. Oh iya jangan lupa janji kita besok."
"Janji apa Kak?" Dahi Minah mengkerut karena mengingat janji apa yang ia buat dengan Andra. Namun lama ia berpikir, Minah tak dapat mengingatnya.
"Ya ampun, Kamu lupa? Janji kita untuk makan siang bersama. Kamu masak yang enak ya? Hehe."
"Iya Kak. InsyaAllah."
"Ya sudah, yang semangat belajarnya. Kita sambung obrolan kita besok. Selamat malam Minah."
"Selamat malam Kak." Minah menutup telepon dengan wajah yang berseri-seri. Ia bahagia karena semakin dekat dengan Andra.
Malam itu mimpi Minah begitu indah. Sangat indah hingga gadis itu begitu bahagia. Hubungannya dengan Raditya lumayan membaik. Walaupun masih terasa berat untuk menghadapi tingkah kekanakan Rachel. Dan kini ada Andra yang selalu memberikan suntikan semangat saat dia bersedih dan hampir putus asa. Minah bersyukur, semoga lambat laun Raditya dan Rachel menerima keberadaannya di rumah itu.
***
Semua murid di kelas Rachel keluar dari ruangan dengan wajah kusut. Ulangan matematika yang baru saja selesai membuat hampir semua murid pusing dan emosi. Pasalnya bab itu adalah bab yang paling sulit untuk dipahami. Dua kali guru mengulang bab itu, mereka masih belum sepenuhnya memahami. Sebagian besar sudah tahu hasilnya bahwa nilai mereka akan jelek. Karena mereka benar-benar kesulitan dalam mengerjakan ulangan tadi.
Rachel dan gengnya segera menuju kantin untuk mendinginkan otaknya. Ia sangat kesal karena hanya bisa menjawab tak lebih dari lima soal dari total sepuluh pertanyaan. Dan itu pun ia tak tahu jawabannya benar atau salah.
"Sial, susah banget kan semua soal tadi," keluh Rachel.
"Sabar Chel. Bukan cuma kamu kok yang kesusahan. Hampir semua murid di kelas kita bilang susah. Jadi kemungkinan kita tak akan berada di urutan paling bawah."
"Semoga saja. Eh, guys. Minggu nanti kita jalan-jalan yuk."
"Yuk. Kemana Chel?"
"Biasa, ke mall. Shopping biar nggak pening. Aku butuh angin segar untuk mengembalikan moodku yang memburuk belakangan ini."
"Okay aku setuju. Lagi pula sudah lama kita nggak keluar."
"Okay, good." Rachel senang, teman-temannya setuju.
"Tapi apa mamamu akan memberi izin, Chel? Aku masih ingat jelas kejadian beberapa minggu yang lalu," ucap Vita Membuat Rachel kesal jika mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Ketika ia dimarahi mamanya karena ia membeli tas seharga empat belas juta rupiah.
"Apa peduliku. Mama mengizinkan atau tidak kita akan tetap pergi."
"Wah, inilah kehebatan Rachel."
"Iya dong. Pokoknya minggu ini kita harus bersenang-senang. Dengan atau tanpa izin mamaku."