Bab 37

1111 Words
Blam Dimas yang tidak sabar menunggu para wanita berbincang keluar dari mobil dan menyusul istrinya. Tanpa payung pria itu menembus hujan, menghampiri istrinya yang kini masih berdiri di emperan toko. "Kenapa masih di sini?Ayo kita pulang," ajak Dimas. "Lihatlah anak nakal ini Pa. Dia menolak pulang dengan kita. Setelah bilang punya banyak hutang budi pada kita. Dia ingin pergi begitu saja." Rasti sudah tidak dapat menahan diri lagi. Wanita cantik itu ikut menangis. "Tan, jangan menangis. Maafkan Minah." Minah luluh ketika melihat air mata Rasti. Hatinya serasa diremas ketika melihat wanita yang ia anggap sebagai ibunya sendiri sedang menangis. "Dengarkan kami Minah. Kamu boleh pergi tapi tidak untuk saat ini. Kamu tidak kasihan pada Tante Rasti? Lagi pula mau ke mana malam-malam begini? Kamu punya tempat tujuan?" Minah menunduk dan menggeleng lemah. "Jangan perpanjang masalah. Ayo kita pulang!" Rasti dan Dimas menggandeng lengan Minah dan membawanya ke mobil. Minah kalah, ia hanya bisa menurut. Entah bagaimana ia harus menghadapi kebencian Radit dirinya pun tak tahu. "Tan, Minah basah semua. Nanti Minah mengotori mobil Tante." Minah membuat alasan yang tidak masuk akal. "Jangan banyak alasan, Minah. Mobil nanti bisa dicuci. Kamu jangan pernah membantah atau coba-coba kabur lagi," ancam Rasti geram. Minah tak dapat berkata-kata lagi. "Cepat masuk, Nak. Atau kami nanti juga ikut basah." Dengan lemah, Minah segera masuk dan duduk di kursi belakang. Rasti dan Dimas juga ikut masuk ke dalam mobil dan mobil segera melaju meninggalkan tempat itu. "Ayo masuk!" Rasti merangkul Minah yang berjalan ragu ketika memasuki rumah. "Ta-tapi Tan." "Kamu durhaka kalau melawan Tante. Karena sekarang orang tua kamu adalah Tante dan Om. Jadi kamu tidak boleh melawan." Mau tak mau Minah hanya menurut ketika Rasti dengan segala ketegasannya mengajaknya memasuki rumah yang sangat ingin ia tinggalkan. Minah menggigit bibirnya, teringat kembali sikap Raditya yang menyakitkan. "Mama, Papa, Mi ...." "Dit, ambilkan handuk cepat." Ucapan Rasti membuat Raditya mengurungkan kata-katanya. Tak butuh waktu lama, Raditya kembali dengan sebuah handuk. Raditya menyerahkan handuk dengan kebisuan. "Nak, kamu cepat mandi. Jangan sampai kamu sakit." "Iya Tan." Minah menuju kamar mandi dekat dapur dan membersihkan diri. "Bagaimana bisa Mama dan Papa pulang cepat?" tanya Raditya setelah Minah masuk kamar mandi. "Kamu ini bagaimana Dit. Bukannya menanyakan kondisi Minah malah menanyakan kami. Kamu ke mana saja hingga Minah pergi saja kamu tak tahu?" tanya Rasti penuh kekesalan. "Raditya di kamar belajar Ma. Lagi pula ini waktu untuk istirahat. Masa Raditya harus mengawasi gadis udik itu selama dua puluh empat jam," bohong Raditya. "Ya sudahlah lupakan saja. Masuk ke kamar sana dan istirahat. Oh iya, Rachel mana?" tanya Rasti. "Rachel mungkin kecapekan Ma. Sudah tidur kelihatannya." "Benar juga. Sudah jam segini. Kamu istirahat sana. Mama mau buatkan makanan hangat untuk Minah." Rasti beranjak dari duduknya dan menuju dapur. Raditya segera pergi ke kamarnya dengan penuh rasa bersalah. Hatinya terasa di iris ketika melihat wajah pucat Minah tadi. Semua ini gara-gara dirinya. Raditya tahu itu. "Astaga, apa yang sudah aku lakukan? Hanya karena cemburu aku tega pada Minah. Tunggu, apa? Cemburu? Siapa Minah hingga aku cemburu?" Raditya mengingkari perasaannya sendiri. Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan membenamkan wajahnya. "Benarkah aku menyukai udik? Tapi, aku kan suka Shena. Minah sangat tidak sebanding dengan Shena. Tapi ... perasaan tidak suka apa ini? Kenapa aku benci melihat kedekatan Minah dan Andra. Bahkan saat di atap hari itu pun hatiku serasa mendidih," gumam Raditya setelah berbaring nyaman di kasurnya. Tatapannya kosong memandang langit-langit di kamarnya. "Arghhh Radit. Kamu sudah gila." *** "Makan sedikit saja Nak," bujuk Rasti pada Minah. "Tan, Minah sudah makan cukup banyak." Minah mengulas senyumnya. Ada rasa tenang dan teduh mendapatkan perhatian dari Rasti. "Sedikit lagi. Setidaknya habiskan separuh bagian." "Tapi Minah sudah kenyang Tan. Perut Minah sudah membuncit." "Kamu ini pandai membuat alasan. Ya sudah nanti kamu minum air jahe ini ya. Biar badan kamu hangat. Atau mau Tante suapkan lagi?" "Tidak perlu Tan. Tante pasti juga capek. Minah sudah tidak apa-apa. Tante silakan istirahat." "Ya sudah kamu juga istirahat ya sayang. Kalau perlu apa-apa panggil Bibi ya?" "Iya Tan. Tante jangan khawatir." "Siapa yang sudah membuat Tante khawatir seperti ini? Gadis nakal ini yang hampir saja membuat jantung Tante seakan terlepas. Sekali lagi kamu melakukan perbuatan bodoh seperti tadi, maka Tante tidak akan pernah mengampunimu." "Iya Tan. Minah minta maaf. Minah berjanji tidak akan pergi lagi." "Bagus, ya sudah. Tante pergi. Kamu juga harus cepat tidur." "Iya Tan. Terima kasih ya Tan." "Iya sayang. Sama-sama." Setelah kepergian Rasti, Minah menangis lagi. Entah mengapa semua perkataan Raditya begitu membekas di hatinya. Dan kini ia membuat janji yang berlawanan kepada dua orang, yaitu pada Rasti dan Rachel. Jika ia menepati janji pada Rachel untuk pergi dari rumah itu, maka secara otomatis ia harus mengingkari janjinya pada Rasti. Begitu juga sebaliknya. Kepala Minah semakin berdenyut memikirkan janjinya. Hingga akhirnya gadis itu tertidur karena kelelahan. Ceklek. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamar Minah. Setelah masuk, sosok tinggi dan jangkung itu menutup pintu dengan hati-hati. Perlahan ia mendekati ranjang Minah. Lelaki itu berjongkok. Memperhatikan Minah yang sudah terlelap dalam mimpinya. Disingkirkannya anak rambut yang menutup mata Minah. Ia selipkan di belakang telinga dengan penuh kelembutan. Lelaki itu tersenyum getir, betapa kejam perlakuannya pada Minah. Raditya mngibaskan tangannya di hadapan wajah Minah memastikan gadis itu benar-benar sudah tidur. Namun dengkuran halus Minah sudah cukup menyadarkan Raditya jika Minah benar-benar terlelap. Lama Raditya memperhatikan kecantikan Minah. Tanpa sadar, Raditya mendekatkan wajahnya. Mengamati setiap inci wajah gadis desa itu. Raditya kini menyadari gadis desa itu memang cantik dan manis. Kecantikannya alami tanpa polesan make up. Raditya terhanyut dalam khayalannya sendiri hingga tanpa sadar Raditya membenamkan bibirnya pada bibir Minah yang lembut dan kenyal. Untung saja Minah tak terbangun. Gadis itu hanya sedikit menggeliat. Dan Raditya mematung dalam posisi masih berjongkok. Meski apa yang ia lakukan hanya sekejap saja mampu membuat jantung Raditya berdebar kencang. Wajah lelaki itu memerah sempurna dalam kegelapan. Di saat Raditya menyadari tindakannya, seketika lelaki itu segera berdiri dan meninggalkan kamar Minah dengan perasaan yang tidak karuan. "Apa yang sudah aku lakukan?" Raditya menyandarkan tubuhnya di pintu kamarnya yang sudah tertutup sempurna. Dengan jemarinya, Raditya menyentuh bibirnya yang masih mengingat jelas rasa dari kecupannya. "Raditya, kamu benar-benar sudah gila. Tengah malam menyelinap ke kamar gadis dan melakukan perbuatan m***m pada orang yang terlelap," batin Raditya galau. "Argh, lebih baik aku tidur. Siapa tahu setelah bangun nanti otakku sudah tidak error lagi." Raditya naik ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Ia berusaha memejamkan mata agar bisa terlelap. Sungguh, semua di luar kendalinya. Mulai besok, ia harus lebih menjaga jarak dari gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD