Suasana makan pagi saat ini terasa sangat kaku. Raditya hanya menikmati makanannya dalam diam, seperti biasanya. Namun, sedikit berbeda. Karena lelaki itu terlihat gelisah dan kurang nyaman. Rachel masih dalam rasa keterkejutannya. Kakaknya tadi malam bilang kalau Minah sudah diusir dari rumah, tapi entah kenapa gadis itu tiba-tiba sudah kembali ke rumah itu. Minah sendiri hanya bisa menunduk menikmati sarapan paginya, ada rasa malu, takut pada Raditya dan canggung pastinya. Sedangkan Rasti dan Dimas seperti biasanya, sangat perhatian pada Minah dan kedua anaknya.
"Minah, bagaimana keadaan kamu? Sudah membaik?" tanya Rasti.
"Mi-Minah baik-baik saja kok Tan. Tante jangan khawatir. Anu Tan, Minah lupa kasih tahu. Sebenarnya kemarin Rachel sempat tidak enak badan." Minah menjawab dengan gelisah, takut jika Rachel akan salah paham lagi padanya.
"Hah? Tapi Raditya tidak bilang apa-apa tadi malam."
"Radit tak mau membuat Mama cemas. Tapi Rachel sudah baik-baik saja kok. Tadi malam sudah aku kasih obat. Ya kan Chel?"
"Iya Ma, Rachel baik-baik saja sekarang."
"Syukurlah, Mama lega. Ayo habiskan sarapan kalian. Setelah ini, kalian boleh pergi ke mana pun. Mau keluar dengan teman juga boleh. Asal ... ingat waktu. Jangan pulang malam-malam."
"Iya Ma." Raditya dan Rachel menjawab dengan sangat senang. Jarang-jarang Rasti memberi kebebasan seperti ini.
"Kamu juga Minah. Kamu boleh kok kalau mau keluar dengan Andra."
"Ah, iya Tan." Minah memalingkan wajah ketika tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan Raditya. Entah mengapa Minah merasa jika Raditya menatap tajam ke arahnya. Mungkin lelaki itu benci karena ia kembali lagi, begitu pikir Minah.
"Andra lagi, Andra lagi," batin Raditya kesal. Raditya meremas sendok yang ia pegang kuat-kuat. Rasanya kebahagiaannya tadi lenyap ketika ia mendengar Minah akan pergi dengan Andra. Dengan kesal Raditya menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Uhuk, uhuk." Raditya terbatuk-batuk karena tersedak. Minah menoleh dan ingin mengulurkan gelasnya pada Raditya. Namun niatnya terhenti ketika Rasti lebih dulu memberi perhatian.
"Hati-hati Nak." Rasti segera mengambilkan air putih untuk putranya.
"Ah, sial. Kenapa aku jadi sensitif begini?" batin Raditya kesal.
***
"Tan, saya pinjam Minah sebentar ya? Mama bilang, beliau kangen sama Minah. Nanti saya akan antar Minah pulang tepat waktu." Andra yang menjemput Minah kini tengah berpamitan pada Rasti. Sedangkan gadis itu kini sudah berpakaian rapi dan berdiri di samping Andra.
"Iya Ndra. Asal jangan malam-malam pulangnya. Dan kamu jaga Minah ya?" pesan Rasti dengan lemah lembut.
"Iya Tan, InsyaAllah," ucap Andra menepiskan senyumannya.
"Hati-hati di jalan ya Nak, titip salam untuk Tante Arti." Rasti mengelus rambut Minah dengan lembut.
"Iya Tan. Maaf ya Tan, Minah jadi tidak bisa bantu-bantu di rumah."
"Iya sayang, tidak masalah. Kan ada Bi Murni."
"Eh, anak Mama sudah rapi. Mau ke mana?" ucap Rasti saat melihat Raditya keluar rumah dengan pakaian yang rapi dan keren.
"Mau jalan sama Shena." Raditya berlalu tanpa menyapa Andra yang ada di hadapannya. Ia hanya menatap Minah sekilas yang menunduk ketakutan.
"Lho, ini ada Nak Andra. Kenapa kamu tidak menyapa?"
"Maaf Ma. Raditya buru-buru. Shena sudah menunggu Radit," jawab Raditya melambaikan tangannya tanpa menoleh. Rasti hanya bisa menggelengkan kepala melihat ulah putranya.
"Hah, maafkan Radit ya Nak."
"Iya Tan. Andra kan sudah mengenal Radit lama. Jadi ya tidak masalah. Andra maklum pada Raditya yang terkadang sikapnya begitu."
"Ah, terima kasih ya Ndra. Kamu sudah mau mengerti."
"Iya Tan. Ya sudah, kami pamit Ya Tan."
"Iya, hati-hati ya." Rasti melepas kepergian Minah dan Andra yang semakin menjauh dan masuk ke rumah. Rasti memutuskan untuk ke kamar Rachel. Melihat kondisi putrinya.
"Chel, boleh Mama masuk?"
"Iya Ma. Masuk saja. Tidak dikunci."
"Kamu baik-baik saja?" tanya Rasti penuh perhatian.
"Iya Ma. Rachel nggak papa kok. Itu si u eh, si Minah saja yang berlebihan."
"Tapi karena Minah juga, Mama jadi tahu apa yang putri Mama rasakan. Kalau kamu sedih, nggak enak badan atau ada yang kamu rasa tidak nyaman katakan saja. Karena Mama tidak selalu bisa mengartikan diamnya Rachel, maunya Rachel. Mulai saat ini katakan apa yang kamu suka, kamu inginkan," ucap Rasti dengan mata yang berkaca-kaca. Rasti menyadari jika mungkin Rachel memang membutuhkan kasih sayang yang lebih darinya.
"Iya Ma. Ah tiba-tiba kok jadi mellow begini sih? Sudah ah Ma. Rachel mau main game, Mama masakkan camilan apa kek untuk anak Mama ini."
"Iya, iya. Huh dasar gadis bawel." Rasti meninggalkan Rachel dengan penuh kelegaan. Dan Rachel merasa bahagia karena Mamanya mulai memperhatikan dirinya lagi.
"Yah, setidaknya terima kasih Minah. Sekarang Mama lebih perhatian padaku. Eh tapi ... sedikit saja. Tidak banyak." Rachel memainkan ponselnya dengan tersenyum sendiri.
***
Suasana mall pada siang itu cukup ramai. Maklum itu hari minggu. Jadi banyak yang berkunjung untuk sekedar menikmati weekend yang menyenangkan bersama keluarga atau orang terkasih.
Dan di sini Shena masih setia bergelayut di lengan Raditya. Gadis itu terlihat sangat puas, karena Raditya begitu memanjakannya. Membelikan apa pun yang ia mau seperti biasanya. Sedangkan pemuda itu, entah apa yang ia rasakan. Sudah satu jam lamanya ia menemani Shena berbelanja. Kedua tangannya cukup lelah untuk menenteng barang belanjaan Shena. Wajah Raditya terlihat masam. Namun, bukan karena Shena ia kesal. Pikiran Raditya kacau ketika mengingat kembali Andra yang menjemput Minah. Ia sendiri bingung kenapa ia jadi sensitif begini jika menyangkut gadis itu.
Semula Shena yang sibuk dengan kesenangannya sendiri tidak menyadari kekesalan kekasihnya. Baru setelah selesai belanja, Shena tahu Raditya sedang kesal. Karena beberapa kali ia memanggil lelaki itu, Raditya mengabaikan dirinya.
"Dit." Raditya yang hanyut dalam lamunannya tak mendengarkan perkataan Shena.
"Dit!" panggil Shena dengan nada meninggi.
"Ah, iya maaf. Kenapa, kenapa sayang?"
"Sayang, kenapa sih dari tadi mukanya ditekuk begitu? Dari tadi diajak ngomong juga nggak konsen. Kamu nggak ikhlas ya nemenin aku belanja?" tanya Shena kesal karena Raditya terlihat bete.
"Oh, eng-enggak kok. Hanya perasaan kamu saja kok, Shen."
"Aku tidak buta, Dit. Kalau kamu tak suka katakan saja."
"Bukan begitu sayang. Ah, maafkan aku. Aku hanya sedikit kelelahan. Semalam begadang nonton bola."
"Kamu pikir aku akan percaya? Kalau tidak suka menemani aku belanja katakan saja! Bikin kesal." Shena merampas barang belanjaan dari tangan Raditya dan mempercepat langkahnya. Raditya yang tersadar segera mengejar kekasih hatinya.
"Bukan begitu. Ada sedikit masalah di rumah tadi malam. Jadi aku masih kepikiran."
"Benarkah?" Raditya mengangguk yakin.
"Okay, kali ini aku maafkan."
"Nah, gitu dong Shen. Maaf ya, aku tidak akan mengabaikanmu lagi. Ayo sekarang mau ke mana lagi?"
"Aku mau perawatan. Kamu mau kan menunggu?"
"Iya, tentu saja. Apa sih yang enggak buat kamu." Raditya merangkul Shena dan menuju salon langganan kekasihnya itu.
'Apa yang dilakukan Minah dan Andra ya? Mereka pergi kencan ke mana? Astaga, kenapa aku terus kepikiran tentang Si Udik ya? Kamu gila Radit. Mungkin aku perlu merefresh otakku agar tidak selalu dipenuhi oleh Si Udik.'