Pyarrr.
Mangkuk dan gelas hancur berkeping, Baju Minah basah karena terkena minuman yang ia bawa. Rasanya air mata ingin mengalir karena perbuatan jahat kakak kelasnya itu. Shena dan dua orang temannya tertawa terbahak-bahak. Menurut mereka keadaan Minah lucu, hingga pantas untuk ditertawakan. Dari ratusan siswa yang berada di kantin itu tidak ada satu pun yang berniat untuk menolong Minah. Semua acuh tak acuh seakan tak peduli. Hanya sebentar menoleh kemudian melanjutkan makan siang mereka. Karena ia tahu Shena adalah penguasa di sekolah itu. Jika mereka berani menolong Minah, maka mereka harus siap menanggung konsekuensinya juga.
"Apa-apaan ini?" ucap seorang lelaki tampan dengan nada penuh kemarahan.
"Andra?" ucap Shena gugup.
Lelaki yang bernama Andra itu tak menghiraukan ucapan Shena. Hanya sebentar saja lelaki itu menatap Shena dengan tatapan setajam elang. Lelaki itu marah, ia tahu bahwa yang melakukan semua ini adalah Shena. Ia mengacuhkan Shena dan lebih memilih untuk sibuk membantu Minah berdiri. Kemudian Andra mengajak Minah duduk di sebuah bangku. Shena semakin kesal karena Andra mengabaikannya dan malah memperhatikan Minah.
"Kamu nggak papa?" tanya Andra.
"Iya Kak. Tidak apa-apa. Terima kasih."
"Ini berdarah." Andra memegang siku Minah yang terluka terkena pecahan gelas.
"Aw ...." Minah meringis kesakitan. Ia merasakan nyeri yang teramat di sikunya yang terluka.
"Ah, maaf. Sebaiknya kamu segera ke UKS, obati lukamu ini."
"I-iya terima kasih ya Kak."
"Iya sama-sama."
"Bi Siti. Hitung biaya ganti rugi mangkuk dan gelas ini," perintah Andra pada ibu kantin.
"Iya Mas."
"Tidak perlu Kak. Biar Minah yang ganti ...."
"Sudah, ini biar aku yang urus. Kamu segera ke UKS sana. Minta guru yang berjaga untuk mengobati lukamu."
"Sekali lagi terima kasih ya Kak. Maaf sudah merepotkan. Besok Minah ganti uangnya ya Kak." Minah terharu, ternyata dari sekian banyak siswa yang tidak menyukainya, ada seorang cowok yang baik hati dan mau menolongnya.
"Iya gampang. Oh ya aku Andra. Kamu anak baru ya?" tanya lelaki itu.
"Iya Kak. Saya Minah. Ini hari pertama saya di sekolah ini." Minah mengulurkan tangan ke arah Andra. Anda menyambutnya dengan senyuman.
"Pantas saja aku baru melihatmu hari ini. Ya sudah cepat obati lukamu. Salam kenal ya Minah."
"Iya Kak." Minah segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke Uks untuk mengobati lukanya
Sementara itu sang gadis kaya namun angkuh itu melihat keakraban Minah dan Andra dengan tidak suka. Andra lelaki yang ia cintai, bahkan tak pernah tersenyum padanya. Namun, kini lelaki itu terlihat bahagia bersama Minah. Ia jadi semakin membenci Minah.
***
"Pokoknya mulai besok, kamu harus menunggu di tempat ini. Kamu tidak boleh masuk mobil di gerbang sekolah. Aku tak ingin mereka tahu," ucap Rachel seperti seorang majikan.
"Iya Chel." Minah menjawab dengan sabar. Ia tahu tidak ada gunanya membuat alasan atau meminta keringanan, karena Rachel adalah ratunya. Yang mempunyai kuasa untuk menjungkir balikkan kehidupan Minah. Dan Minah juga tahu sifat Rachel yang egois dan mau menang sendiri.
"Begitu bel berbunyi kamu harus segera berlari ke sini. Aku hanya memberi kamu waktu selama lima menit. Kalau kamu terlambat, aku dan Pak Tono akan meninggalkanmu."
"Iya Chel ...." Minah tersenyum pada Rachel.
"Dan satu lagi, jangan pernah berpikir untuk mengadu pada mama. Kalau itu sampai terjadi, aku akan membuatmu lebih menderita dari ini. Kamu paham?" ancam Rachel.
"Iya, Minah paham."
"Good, jalan Pak!"
Mobil segera melaju membelah jalanan yang cukup padat di jam pulang sekolah. Di sepanjang perjalanan pulang, Minah jadi teringat dengan hutangnya pada lelaki yang bernama Andra itu. Besok ia akan mencari kakak kelasnya itu untuk mengganti uang Andra.
***
"Eh, sayang-sayangku sudah pulang." Rasti ingin memeluk Rachel, namun gadis itu menepis tangan ibunya.
"Rachel capek Ma. Rachel mau istirahat."
"Sayang, makan dulu. Nanti kamu sakit loh."
"Suruh Bi Murni antarkan ke kamar," ucap Rachel tanpa menoleh. Rasti hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia benar-benar harus bersabar untuk menghadapi putri bungsunya.
"Bagaimana hari pertama sekolah kamu, Nak?" tanya Rasti penuh perhatian. Kini perhatian Rasti ia tujukan pada Minah. Karena Rachel menolak perhatiannya. Rachel yang tengah menaiki tangga masih bisa mendengarnya jadi semakin kesal.
"Minah lagi, Minah lagi."
***
"Aduh, mana mau hujan lagi. Aku harus angkat jemuran. Tapi makanan Non Rachel bagaimana ini?" gumam Bi Murni seorang diri. Minah yang baru saja selesai makan siang dapat mendengar ucapan Bi Murni. Ia jadi merasa kasihan pada Bi Murni yang kerepotan.
"Bi, makanannya biar Minah antarkan ke kamar Rachel."
"Apa tidak merepotkan Non?"
"Tidak Bi, Bi Murni angkat saja jemurannya. Biar Minah yang membawa ke kamar Rachel."
"Duh, terima kasih sekali ya Non."
"Iya Bi, kalau butuh bantuan Minah bilang saja."
Minah segera membawa nampan berisi makanan dan minuman ke kamar atas. Kamar Rachel berada. Ia mengetuk pintu pelan-pelan, tak lama Rachel menyahut dari dalam.
"Masuk!"
"Chel, ini aku bawakan makanan kamu." Minah ingin melangkah masuk ke dalam kamar.
"Stop! Berdiri saja di situ. Jangan berani menginjakkan kaki di kamarku!" Rachel terkejut karena yang datang Minah, bukan Bi Murni. Minah menurut dan diam di tempat.
"Mana Bi Murni?"
"Bi Murni sedang mengangkat jemuran."
"Chel, bagaimana dengan makanannya?" Dengan wajah masam Rachel mengambil nampan berisi makanan dari tangan Minah dengan kasar. Seandainya saja mamanya tidak ada di rumah, ia akan membuat drama yang menyenangkan untuk menyiksa Minah. Sayang, ia lebih takut kalau uang sakunya akan dipotong.
"Sudah pergi sana!" usir Rachel.
Brakk
Rachel membanting pintu di hadapan Minah. Untung saja ia tak terantuk pintu. Minah sangat terkejut atas sikap kasar Rachel, hingga jantungnya serasa mau copot.
"Sabar Minah, suatu saat Rachel pasti akan menerimamu." Minah mengelus dadanya yang berdebar karena kaget.
Minah berjalan tanpa konsentrasi. Sikap Rachel membuat Minah kepikiran. Baru saja Minah turun dari lantai atas dan ingin kembali ke dapur untuk minum, tiba-tiba ia menabrak sesuatu.
Duak
"Aduh ...." Minah terpental ketika menabrak sesuatu yang sangat keras. Hingga keningnya terasa sangat sakit. Dan ketika Minah mendongak, di hadapannya berdiri sosok tinggi dengan sorot mata yang dingin. Tak ada sedikit pun senyum terlukis di wajahnya, yang ada hanya kilatan amarah yang memuncak.
"Kamu nggak punya mata? Suka sekali ya menabrak orang?" Suara lelaki tampan itu terdengar begitu tajam. Lelaki itu menyindir Minah perihal apa yang terjadi dini hari itu.
"Ah, maaf Mas Radit."
"Emang aku kakakmu. Kamu panggil Mas. Lagi pula kita tak seakrab itu. Menjauhlah!" Radit menabrak pundak Minah dan menuju ke kamarnya. Mengabaikan tubuh kecil yang kesakitan sewaktu ia tabrak.
"Hah, semoga aku kuat menghadapi semua ini. Kamu harus bisa Minah."