8 Menyelidiki

1970 Words
Heartsa melangkah cepat kembali ke kamarnya, tanpa alas kaki. Dia masih sedikit oleng, sisa-sisa mabuk dari malam sebelumnya membuat langkahnya kurang stabil. Di dalam hati, dia masih begiru marah pada dirinya sendiri. “Bagaimana bisa sampai mencium Gava?” pikirnya, mengingat kembali momen-momen kebingungan yang dialaminya semalam. Bagaimana dia bisa membiarkan dirinya terlarut dalam perasaan yang seharusnya tidak seperti itu. Sesampainya di depan kamar, Heartsa terkejut melihat Nick tiba-tiba muncul entah dari mana. Wajahnya terlihat cemas dan marah. “Kamu dari mana saja, babe? Semalam kamu tidak kembali ke kamar!” tanya Nick dengan nada yang mencampur antara khawatir dan marah. Heartsa merasa jantungnya berdegup kencang, ingin bersembunyi dari tatapan Nick yang tajam. “Kenapa kamu peduli?” jawabnya tegas. “Aku hanya butuh waktu sendiri.” Nick menatapnya intens. “Butuh waktu sendiri? Seriously, Heartsa? Di tengah malam?” Dia berusaha untuk tetap tenang, meski emosi di dalam dirinya berkecamuk. “Masalahnya apa? Kamu yang membuat aku sendirian padahal lagi ada sama kamu di sini, Sekarang kenapa kamu malah sok-sokan cari aku?” “Babe ayolah aku hanya bekerja, kenapa menjadi rumit seperti ini? Aku khawatir. You could have at least texted me, you know?” Heartsa merasa marah dengan sikap Nick. “Terserah! Jangan sok peduli sama aku, urusi saja pekerjaan kamu!” “Don’t say that! What if something happened to you? I just don’t want to lose you, okay?” Heartsa merasa hatinya bergetar. Dalam sekejap, semua emosi yang dia simpan tentang Nick dan hubungan mereka meluap. “Omong kosong, Nick!” Nick terlihat bingung, tetapi dia tetap berdiri di sana dengan ekspresi sedih. “Babe, tolong jangan seperti ini. Kita datang untuk berlibur.” “Berlibur? Hello, ini hanya liburanku sendiri. Tidak dengan anda, tuan sibuk. Aku tidak melihat apa yang kamu lakukan di sana semalam, tiba-tiba saja menghilang setelah bertemu beberapa orang disana. Wow, kemana itu?” Heartsa menjawab dengan nada sarkastik. “Apa maksud ucapan kamu? Kamu nuduh aku?” Nick tampak marah, suaranya meninggi. “Itu tidak adil, Heartsa! Aku sibuk bekerja untuk masa depan kita!” “Bekerja? Atau bermain-main dengan ehem yang lain?” Heartsa melemparkan tuduhan, emosi dan kekecewaan mengalir deras dari kata-katanya. “Seriously? Is that what you really think of me?” Nick menggelengkan kepala, merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kamu nuduh aku sama wanita lain, kamu berpikir sangat buruk!” “Sangat buruk?” Heartsa menatap Nick dengan penuh kekesalan. “Oh ya?” “Ya tuduhan kamu tidak beralasan. Kamu tahu betapa sibuknya aku, entah kenapa mendadak kamu masih berpikir yang buruk tentangku!” “Cukup, Nick!” Heartsa berteriak, jengkel. “Aku tidak mau berdebat panjang seperti ini. Aku lelah!” Dengan itu, Heartsa mengalihkan pandangannya dan melangkah pergi, memutuskan untuk tidak terjebak dalam argumen yang tak ada habisnya. Dia membanting pintu kamar, berharap bisa menenangkan pikirannya yang kacau. Nick berdiri di luar, kecewa dan bingung, merasa hubungan mereka semakin menjauh. “Babe, tunggu!” teriaknya, tapi suaranya tidak dihiraukan. *** Di tempat lain, Gava sedang menikmati secangkir kopi dengan iPad miliknya di sebuah teras restoran sambil menikmati suasana pagi yang indah. Dia mencari tahu tentang Nick, entah itu masa lalunya, pekerjaan,lingkungan, kerabat dan masalalunya. Apakah ada kemungkinan benar selingkuh. Jika tidak, artinya Nick dan Heartsa akan baik-baik saja; mereka tidak akan berakhir. “Ck, sial,” gumam Gava pelan, sambil menyesap kopinya. Namun, pikirannya terus melayang pada wajah Heartsa, senyumnya yang ceria, dan kecerobohannya semalam. Dia teringat betapa mudahnya mereka berbicara dan tertawa, seolah tidak ada beban di dunia ini sebelum Heartsa akhirnya mabuk. Kini, perasaannya campur aduk, seperti gelombang yang tak henti menerjang pantai. Gava menyandarkan punggungnya ke kursi, mengerutkan dahi. Bagaimana bisa dia menginginkan seorang wanita lebih dari biasanya? “Apakah aku sudah gila?” batinnya berontak. Dia tidak bisa mengabaikan ketertarikan yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa bersemangat sekaligus takut. Dia berusaha menepiskan perasaan itu, berpikir bahwa Heartsa adalah milik orang lain. “Hay Gav, kau bukan tipe orang yang berjuang untuk cinta orang lain, kenapa sekarang seperti ini,” tegasnya pada diri sendiri. Tetapi suara hatinya terus mendesak, “Tapi bagaimana kalau dia memang ditakdirkan untukku dan merebutnya dari orang lain itu adalah takdir kami?” Gava tertawa sendiri. Wow calon pebinor kah ini? Satu tegukan kopi lagi dan dia menatap ke kejauhan, berpikir tentang kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka. Tidak lama kemudian Gava berjalan kembali ke kamarnya, bersiap-siap untuk pergi bersama keluarganya ke sebuah tempat wisata. Tapi tiba-tiba, terdengar suara memanggilnya. “Kak Gava buka pintunya! Kak Gava! Sandal aku! Masih di dalam!” Gava berhenti dan menatap punggung gadis itu, melihat Heartsa berdiri di luar pintu, mengetuk dengan sekuat-kuatnya membuat Gava tersenyum, merasa geli melihat situasi ini. Keadaan apa lagi ini? Dengan santai, Gava mendekat, pura-pura tidak mengerti, “Ada apa?” tanyanya sambil memasang ekspresi polos. “Ada yang penting? Atau... mau numpang party sendiri lagi?” Heartsa berbalik cepat, wajahnya merah karena kesal dan sisa malu dari kejadian tadi malam. “Apa? Tolong jangan jadi pria jahat! Aku Cuma mau sandalku” Gava tertawa kecil, bersandar di pintu dengan santai. “Sandal?” Heartsa menghela napas panjang, mencoba menahan diri. “Please, aku nggak punya waktu untuk bercanda. Aku Cuma mau sandalku.” “Alright, alright,” Gava akhirnya menyerah, masuk ke dalam dan mengambil sandal Heartsa. Ia mengangkat sandal itu di depannya sambil tersenyum lebar. “Here it is. Cuma ini yang kamu cari?” Heartsa menatapnya tajam, “Ya, Cuma itu!” jawabnya singkat, segera meraih sandalnya dengan gerakan cepat. Gava tertawa lagi, menggelengkan kepala, “Okay, Have a good day, Miss Solo Party.” Heartsa berhenti sejenak saat mendengar ejekan Gava, “Miss Solo Party.” Matanya langsung menatap tajam, penuh emosi yang membuncah. “Apa maksudnya!” bentaknya, tak terima dengan godaan itu. Namun, tanpa dia sadari, Gava tersenyum tipis sambil menatapnya dengan intens. Dia selalu menarik apapun ekspresinya. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling dari Heartsa, meski hubungan mereka sebenarnya tidak ada. “Nggak, nggak ada maksud apa-apa,” jawab Gava, masih dengan nada bercanda. “Jadi udah damai?” Heartsa mendengus kesal, tidak mau terjebak dalam permainan kata-kata Gava. Dalam pikirannya, dia sudah tidak ingin berurusan dengan priapp ini lebih lama. Dia hanya ingin segera pergi dari villa ini—menjauh dari Nick, yang masih terus berusaha menjelaskan dan mencari pembenaran atas sikapnya yang sekarang juga entah kemana dia bersama ibunya. Heartsa mengalihkan pandangannya, “Aku nggak punya waktu jawab pertanyaan. Aku mau pergi.” “Dia menghilang lagi? Tebak Gava dengan nada setengah mengejek, membuat Heartsa menatapnya tajam. Dalam hati dia bergumam, "Kok tau? Gava menyeringai, merasa sedikit puas karena dugaannya benar. “Terserah, apapun itu ayola lupakan! Jangan sedih lagi, kita bisa bersenang-senang.” Tanpa memberi Heartsa kesempatan untuk menolak, Gava mendekat dengan cepat, dan sebelum Heartsa bisa bereaksi dia menarik tangannya dengan paksa. “Hey! Kak Gava, apa-apaan sih!” protes Heartsa, tapi Gava tidak peduli dan menariknya lebih keras, seolah mengajak melupakan semua masalah yang membebani pikiran Heartsa, setidaknya untuk sementara. Gava menarik paksa Heartsa berjalan sampai masuk ke dalam mobil, memaksanya duduk di kursi penumpang. “Kak Gavaaaaa!Kak Gava lepas nggak!!” teriak Heartsa dengan nada marah “Kita lihat Nick, pakai topimu nanti saat sudah tiba,” kata Gava sambil melirik sekilas ke arah Heartsa yang semakin bingung sambil memberikan sebuah topi. “Nick? Di mana?” tanya Heartsa terkejut. “Di sebuah tempat.” Gava telah menggali banyak informasi tentang Nick—pekerjaan, tempat tinggal, keluarga, bahkan hubungan masa lalunya. Satu hal yang menarik perhatiannya adalah wanita bernama Maria, seorang bule yang pernah menjalin hubungan dengan Nick. Gava menemukan beberapa foto lama hingga baru Nick yang masih tersisa di media sosial, memperlihatkan mereka bersama. Salah satu foto menunjukkan Nick memegang pinggang Maria dengan akrab, seolah-olah mereka masih memiliki hubungan yang dekat. Apa yang dia lihat itu memicu spekulasi dalam benak Gava. “Apakah Heartsa tahu soal ini?” pikirnya, sambil memandang layar dengan tatapan penuh perhitungan. Atau hanya di lemparkan alasan bodoh tentang itu hanya teman? Gava tetap diam sepanjang perjalanan, tak menggubris pertanyaan-pertanyaan cerewet dari Heartsa. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah restoran Italia yang jaraknya tak jauh dari villa tempat mereka menginap. Saat mobil berhenti, Gava menoleh ke arah Heartsa yang tampak kebingungan. “Tahu resto ini?” tanya Gava sambil mengangguk ke arah bangunan yang indah dengan nuansa Italia klasik. Heartsa melihat papan nama restoran itu dengan mata melebar. “Vivere Amore? Restoran ini?” gumamnya. “Ya,” Gava melanjutkan dengan nada tenang tapi penuh arti, “Ya bagian dari Nick apakah mengetahui yang lain?” Heartsa dengan nada penuh kebingungan dan sedikit marah, "Apa maksud kakak? Kakak mau menuduh Nick apa? Aku memang sedang marah, tapi kakak nggak harus memperburuk situasi seperti ini!" Gava menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, “Oke, kita kembali ke villa saja.” Heartsa terkejut dan sedikit panik, “Eh, jangan! kok balik? Kita baru saja sampai!” Gava merajuk, menggembungkan bibirnya, “Balik! Sepertinya lebih baik kita pergi saja.” Mata besarnya memohon, berusaha menyunggingkan senyum yang seharusnya menawan, “Kak Gava, please! Ayo, aku bercanda! Jangan gitu ih!” Gava dengan ekspresi datar, tetap tidak mengubah posisinya, “Terserah, ayo kembali ke villa.” Heartsa menatap Gava dengan tatapan memelas, wajahnya masih dipenuhi sedikit kesal. “Please, kak Gava kok jadi marah sih! Ayo lanjutin aku traktir deh nanti, ya?” Dia berusaha melunakkan hati Gava. Namun, sialnya, isi kepala Gava malah mengarah ke hal lain. Dia memandang bibir mungil Heartsa yang menatapnya, teringat betapa dekatnya mereka malam itu, dan rasa ingin menyerang kembali muncul dalam dirinya. “Traktir?” Gava bertanya dengan nada santai, tetapi matanya berbinar penuh godaan. Heartsa merasakan tatapan Gava yang intens. Dalam sekejap, dia merasa salah tingkah. Tanpa berpikir panjang, dia melayangkan tangannya ke bibir Gava, sebuah aksi refleks yang ingin melindungi diri. Plak! . "Jangan cari kesempatan…” katanya dengan suara tegas, tangannya reflek memukul bibir Gava “Hey! Apa ini? Kesempatan apa?” Gava menyeringai lebar menikmati bagaimana reaksi Heartsa membuatnya merasa berkuasa. Heartsa merasa wajahnya memanas. “Kakak! Yang lakukan itu! Kakak memanfaatkan aku.” Mengulangi perdebatan mereka pagi tadi dimana dia tetap tidak mau merasa dia-lah yang merupakan pelaku penciuman itu. Sampai kemudian Gava menyerah, Gava membawaHeartsa melangkah masuk ke restoran Italia, suasana yang hangat dan aroma pasta segar menyambut mereka. Mereka memilih tempat paling ujung, jauh dari keramaian, seakan ingin menghindari pertemuan dengan siapapun. “Jadi, kenapa kakak bilang Nick ada di sini?” Heartsa bertanya sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Ekspresinya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Kakak tahu dia pergi? Pagi tadi dia telepon aku, lalu kirim pesan katanya mamanya minta diantar ke sebuah tempat. Aku nggak balas pesan dia. Nih, dia masih terus kirim pesan sebanyak-banyaknya merasa bersalah ninggalin aku sebentar untuk mamanya. Mau lihat?” Dia mengeluarkan ponselnya, menunjukkan deretan pesan yang tak terbalas. Gava mengerutkan kening, berusaha tetap tenang. “Jadi untuk apa kesini kalau merasa Nick tidak di sini?” tanyanya, nada suaranya santai, tetapi ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Heartsa menjawab dengan tegas, “Ya, siapa tahu aja dia berbohong. Kakak jawab, kenapa tahu Nick di sini?” Gava menatap Heartsa, merasakan dorongan untuk menjawab tetapi merasa berst. Sebab, alasannya datang ke sini adalah sesuatu yang sangat pribadi. Dia melihat unggahan Maria, kekasih Nick, yang menunjukkan kedekatan Maria dan Nick yang tampaknya tak terputus. Dalam postingan itu, Maria membahas menu makanan Italia favorit seorang special dengan inisial "N" yang sedang disiapkan olehnya satu jam lalu. “Kak Gava?” Heartsa memanggil, melihat Gava terdiam. “Kakak tahu sesuatu?” Gava mengalihkan pandangan, menatap ke arah jendela. “Tidak, hanya tebak-tebakan saja. Mungkin Nick benar pergi bersama mamanya dan aku yang salah.” “Bohong! Kakak pasti mengetahui sesuatu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD