Heartsa masih terus mengoceh sambil menatap kosong ke arah dinding kamar. "Apa aku kurang sempurna? Apa tipemu itu bukan aku? Mungkin kau cari yang kulitnya cokelat eksotis, body depan belakang kayak jam pasir, bibir tebal, d**a bulat sempurna..." suaranya serak dan penuh kebingungan, jelas dipengaruhi alkohol dan patah hati.
Gava, yang tadi sempat tegang melihat Heartsa dalam keadaan mabuk dan patah hati, kini tak bisa menahan tawa. Suasana yang sebelumnya berat berubah jadi sedikit lebih ringan. " "Nggak perlu jadi jam pasir, jadi jam gadang juga banyak yang ngunjungi, coklat emm putih juga menarik, nggak perlu bibir tebal... Yang tadi juga rasanya..." Gava menghentikan kalimatnya tiba-tiba, wajahnya berubah saat ingatan serangan ciuman Heartsa tadi kembali muncul di pikirannya.
Dia berdeham pelan, mencoba mengalihkan pikiran, tapi rasa canggung mulai merayap. Gava merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, meski tahu bahwa ciuman itu bukan karena Heartsa menginginkannya, melainkan akibat pengaruh alkohol dan kekecewaannya terhadap Nick.
Di satu sisi, Gava mulai merasakan belas kasihan mendalam terhadap Heartsa. Jika benar Nick berselingkuh, maka dia benar-benar berengsek. Menyia-nyiakan Heartsa, yang mencintainya dengan begitu tulus, adalah kesalahan besar.
Beberapa jam kemudian.
Pagi yang cerah menyelinap masuk melalui celah-celah tirai, menyinari kamar yang kini berantakan. Gava tertidur lelap di ranjangnya, sementara di sofa, Heartsa tergeletak dengan satu tangannya yang terikat ke kaki kursi menggunakan sebuah pakaian, hasil dari kekacauan semalam. Botol minuman dan sisa-sisa malam terlihat di sana-sini, menambah kesan berantakan di ruangan itu.
Cklak
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan lembut. Bunda Gava, dengan senyum khasnya, masuk untuk membangunkan putranya agar sarapan. Namun, senyumnya langsung memudar saat melihat pemandangan yang sangat tak terduga. Matanya membelalak, terpaku melihat kondisi kamar yang kacau, dan yang lebih mengejutkan—Heartsa tergeletak di sana.
“GAVA! APA YANG TERJADI DI SINI?” suara Ririn melengking, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gava terbangun dengan setengah sadar, melihat ibunya berdiri dengan tatapan terkejut, sementara otaknya berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Gava langsung terbangun, matanya melebar ketika mendengar pekikan ibunya. “Apa yang terjadi, Gava! Kamu lakuin apa sama Heartsa!” Suara Ririn terdengar penuh kemarahan dan kekecewaan, matanya bergerak liar dari Gava ke Heartsa yang terikat di kaki meja, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak kusut seperti seseorang yang baru saja mengalami sesuatu yang tak pantas.
“Bund! Bunda salah paham!” Gava panik, dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya. Dia mengangkat kedua tangannya, seolah mencoba menenangkan situasi. “Ini bukan seperti yang Bunda pikirkan! Aku nggak ngapa-ngapain, sumpah!”
Ririn masih terlihat shock, mulutnya terbuka, seolah-olah ingin berkata lebih banyak, tapi tak satu kata pun keluar.
Semua di matanya tampak buruk—kondisi Heartsa yang terlihat tak berdaya, keadaan kamar yang berantakan, dan posisi Heartsa yang terikat. Seolah semua bukti mengarah pada satu kesimpulan yang membuat darah Ririn mendidih.
“Sial!” Gava mengumpat dalam hati. Dia tahu betul situasi ini terlihat sangat salah, dan pandangan ibunya sudah terlanjur penuh kecurigaan.
Sial, kenapa hanya laki-laki yang menjadi tersangka padahal anak laki-lakinya yang di lecehkan.
"Bund, duduk dulu, Bund! Aku bisa jelasin," Gava mencoba meredakan ketegangan, suara nafsunya mulai menguat.
"Tidak, Gava! Bunda nggak mau dengar. Kamu kelewatan batas! Ini sudah terlalu jauh. Bunda harus beritahu ayah kamu," Ririn menjawab tegas, wajahnya berkerut penuh emosi, seolah-olah tidak bisa menerima apa yang dia lihat.
"Mau apa? Mau bilang ayah buat nikahin aku sama dia?" Gava berseloroh, berusaha mencairkan suasana. "Yes, itu ide bagus!" Tapi nada suaranya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia bercanda, melainkan mengungkapkan kebingungan yang mendalam.
"Bagus kamu bilang, dasar anak nggak sopan!" Ririn membalas, kemarahan dan kekhawatiran bercampur aduk dalam kata-katanya.
"Bund—bukan gitu, Bund!" Gava cepat-cepat menjelaskan, menyesali bahwa leluconnya justru membuat situasi semakin buruk. "Maksudnya ini bukan seperti yang bunda lihat. Dia seperti itu karena dirinya sendiri. Bunda, please jangan beritahu Om Artha dan Tante Nadi. Kasihan Heartsa!"
Ririn mendesah, menatap putranya dengan tatapan penuh skeptis. "Dirinya sendiri, apa maksudnya? Kamu harus tanggung jawab atas apa yang terjadi. Ini bukan hanya tentang kamu dan dia. Ini tentang reputasi keluarga kita!"
“Reputasi apa? Justru aku sedang menjaga reputasi dia. Bocah itu!” Tunjuk Gava pada gadis yang tertidur itu. “Dia patah hati, pokoknya ceritanya panjang. Bunda percayalah putra mu tidak seberengsek itu. Please bun, ini rahasia kita dia bertengkar dengan Nick tadi malam di Beach club malah di biarin sendiri. Jangan bilang papa mamanya Bund biar dia selesaikan sendiri.”
“Di biarkan sendiri? Loh, katanya sudah rencana mau tunangan. Ada apa, Gava?” Ririn membalas, bingung dengan situasi yang semakin membingungkan.
“Anakmu tidak tahu, Nyonya Ririn. Anakmu hanya membantunya saja. Udah, Bund, ayo keluar! Aku bereskan dia.”
“Tapi...” Ririn berusaha untuk tetap berada di pintu, tidak bisa melepaskan kekhawatiran tentang putranya.
“Tapi? Tapi sebaiknya bunda keluar, bye Bunda. Sampai jumpa di restoran!” Gava menekankan, tidak memberi ruang bagi Ririn untuk berdebat lebih lanjut.
Melihat keteguhan dalam suara putranya, Ririn akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, Jaga dia baik-baik jangan ambil kesempatan.”
Gava tertawa geli, “Ambil Kesempatan? Wah menarik. Bye!”Gava sedikit lega saat ibunya akhirnya keluar dari kamar. Setelah pintu tertutup, ia menghela napas dalam-dalam dan menatap Heartsa yang masih terlelap di sofa. “Apa yang harus kulakukan denganmu, nona patah hati?” gumamnya pelan, melangkah mendekati Heartsa.
Mendengar suara pintu tiba-tiba saja Heartsa terbangun, terkejut melihat Gava di depannya yang berdiri hanya mengenakan celana pendek, tanpa pakaian atas.
“APA INI? APA YANG TERJADI?” serunya berteriak karena panik menepikan rasa Kepala yang pening. Dia lalu melihat ke arah tangannya yang terikat dengan pakaian di kaki kursi, dan jantungnya berdegup kencang.
Heartsa merasa kepanikannya semakin meningkat. Pikiran-pikirannya melompat-lompat, membayangkan berbagai skenario mengerikan. Dia teringat adegan-adegan dari film dewasa yang pernah dilihatnya, di mana seorang perempuan diikat dan mengalami pelecehan sadis. Dalam sekejap, wajahnya pucat dan air matanya menggenang di pelupuk mata.
“Jangan bilang kalau kamu...” pikirnya, menggigit bibir bawahnya sambil menatap Gava dengan tatapan ketakutan. “Kak Gava?”
Gava menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir gambaran buruk yang melintas dalam pikiran Heartsa. “Dor! Pecahkan balon halusinasi anda, nona patah hati. Apakah anda sedang membayangkan adegan Red... Oh, Red...entah apa itu? Di kamar merah seorang perempuan diikat?” katanya dengan nada menggoda.
Gava tersenyum lebar, berusaha mencairkan ketegangan. “Bruak! Sayangnya, korbannya yang ada di hadapanmu, bukan yang terikat di meja itu.”
Heartsa berteriak tidak percaya, “Omong kosong!” Dia bangkit dan segera melepaskan ikatan tangannya.
Tetapi matanya tiba-tiba tertuju pada bekas warna lipstick miliknya yang tertinggal di bibir Gava. Detik berikutnya, ingatan tentang malam itu menghantamnya. Dia rasa semalam dia bertemu Nick lalu berciuman, saat itu dia meluahkan semua kekesalannya pada Nick.
“Tidak mungkin!” desisnya, suaranya bergetar saat dia berusaha menerima kenyataan bahwasanya dia tidak melakukan itu pada Nick melainkan pada Gava.
Dia Panik, dia bergegas memungut barang-barangnya dari lantai, berusaha untuk menghindari tatapan Gava yang penuh kebingungan dan mungkin juga sedikit rasa bersalah.
"Ingat sesuatu?" tanya Gava.
“Enggak! Kakak cari kesempatan! Kakak memanfaatkan aku! Kakak kan yang sengaja, kakak yang sangat ingin itu terjadi!” teriaknya, menunjuk Gava dengan marah.
“What?!” Gava terkejut, bingung dengan tuduhan yang tiba-tiba itu. “Aku tidak pernah sememalukan itu melakukan pada wanita mabuk! Kamu sendiri yang—”
“Aku tidak peduli!” Heartsa memotong, wajahnya merah padam. “Kakak tidak bisa dipercaya! Gak bisa!” Dia mengabaikan Gava yang berusaha menjelaskan, pikirannya hanya berputar tentang betapa bodohnya dia telah mencium pria ini, yang dia anggap sebagai Nick. “Aku ngga terima! Aku akan lapokan—“
“Akan laporkan? Papa mama? Kantor polisi?” Gava menyahut dengan nada menggoda, senyum nakal tersungging di wajahnya. “Good idea, pak polisi! Om dan tante anak kalian yang menodai saya! Ini sangat merugikan saya,” ujarnya sambil tertawa geli.
“Kau, kau benar-benar menyebalkan! Heartsa menggeram, merasa jengkel dengan sikap Gava yang terlalu santai. Namun, saat itu juga dia menyadari bahwa ucapannya sedikit berlebihan. “Pokoknya, kak Gava yang cari kesempatan! Curi kesempatan!” Heartsa melayangkan salam jari tengahnya sebelum pergi dari sana dan membanting pintu dengan keras. “F*CK!”
Bruakkk!!
Gava hanya bisa tertawa geli melihat tingkahnya. Dia tahu bahwa di balik semua kemarahan itu, Heartsa sebenarnya sadar dan mendapatkan ingatan apa yang terjadi semalam Gava mengacak rambutnya, merasa geli dengan semua hal yang terjadi sepanjang malam sampai saat ini.
Setelah Heartsa pergi, Gava melangkah menuju kamar mandi, menatap cermin di wastafel. Dia melihat bekas lipstik Heartsa yang menempel di bibirnya, dan sebuah senyuman tak terduga muncul di wajahnya. “Souvenir dalam bentuk cap bibir— Heartsa solo party,” gumamnya sambil mengangkat alis.
Dia tidak bisa menahan ingatannya tentang malam itu—bagaimana perlakuan Heartsa yang mabuk sampai membuat bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman panas yang tidak terduga membuatnya merasa ingin itu tidak pernah berakhir.