When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Heartsa berjalan cepat, mendahului Gava sambil melepaskan genggaman tangan suaminya. “Nyebelin!” gumamnya, nada kesal bercampur rasa bersalah. Sebenarnya, hatinya tidak tenang. Melihat Gava penuh lebam seperti itu, dia tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Pikirannya penuh kekhawatiran, terutama saat membayangkan apa yang akan dikatakan ibu dan ayah Gava melihat kondisi anak mereka yang baru dua hari menjadi suami. Gava tersenyum, lalu menyusul Heartsa dan memeluknya dari belakang sebelum dia sempat menempelkan kartu akses untuk masuk ke kamar. Dengan nada menggoda, dia berkata, “Siapa yang sakit, siapa yang marah?” Heartsa merasa terkejut, namun di dalam hatinya, pelukan itu memberi rasa hangat yang menenangkan. Dia menoleh sedikit, melihat senyum Gava meskipun wajahnya p