Chapter 2

1165 Words
2 “Kaaak Salam keeek Iyaa assalamualaikum Wa alaikum salam Sudah sampe mana Gas? Sudah sampe di hatimu kata Bagus Kak Gak tanya tuh bocah edan Eh iya Kakak dua minggu lagi ya ulang tahun Iyaaa awas kalo sampe lupa Ih nggak lah, kakak semata wayang, tar aku kasih kado keren Kak Beneran Gas? Iyalah masa aku bohong, ini si Bagus juga mau ngasi kado spesial katanya Kak Gak nanya dia, udah ah, ini kamu lagi nyetir? Nggak Kak, si Bagus yang nyetir Yaudah kakak lagi baca buku ini mau lanjut mumpung ada waktu sebelum ke kantor Ya deh ini ada salam dari Bagus, salam hangat, sehangat p****t penggorengan katanya Salam juga ke dia, sejuta topan badai buat dia "Ih bocah bikin kesel, ya Allah tolonglah hambamu ini dari godaaan bocah yang terkutuk." Ayunda meletakkan ponselnya dengan kasar, teringat kembali percakapan terakhir dengan bocah tak jelas itu. Saat ia kesal dan meninggalkan Bagus sendiri di taman samping, tiba-tiba Bagus berani-beraninya memegang lengannya dan menahannya agar tak terus melangkah. Tatapan mata Bagus mengingatkan Ayunda pada laki-laki yang telah meninggalkannya dengan cara mengenaskan. Membiusnya, membuatnya jatuh cinta lalu meninggalkannya begitu saja. Ayunda memejamkan mata, mencoba menghilangkan bayangan Davin. Laki-laki yang telah mengambil seluruh cintanya dan tak menyisakan untuk yang lain, meski dalam hati Ayunda berharap semoga ia bisa mencintai laki-laki lain agar segera bisa melupakan Davin. *** Baru saja Ayunda mengempaskan bokongnya ke kursi saat ia baru saja tiba di ruang kerjanya, pintu ada yang mengetuk dan terbuka lebar hingga tampak wajah sepupunya, Verlita. "Ya Kak?" tanya Ayunda dan Verlita melangkah mendekati Ayunda, duduk di depannya dengan wajah cemas. "Apa apa Kak?" tanya Ayunda lagi. "Kesel deh, Mbak Mery ngajukan resign padahal kan dia yang pegang semua masalah keuangan di sini, kamu tahu sendiri gimana dia kan, loyalnya dia, trus gimana ini?" tanya Verlita lagi. "Kaaak aku percaya deh sama Kakak, dulu juga yang menemukan Mbak Mery kan Kakak, Kakak di sini bagian HRD kan?" "Alaaah HRD apa, aku cuman bantu-bantu kamu, Ayu." "Tapi kalo nggak dibantu Kakak, bakalan kaco semua, udah deh aku percaya sama Kakak, buka lowongan pekerjaan, aku yakin seleksi akan ketat kalo kakak yang pegang," ujar Ayunda dan Verlita mengangguk dengan ragu. "Hmmm ... iya deh, percaya aku ya Yu?" "Iyaaa, Kak, eh kenapa Mbak Mery ngajukan resign?" tanya Ayunda dan Verlita menghela napas. "Biasa alasan klise, gak boleh sama suaminya karena anaknya kicik-kicik, gak ada yang jaga dan jarak anak mbak Mery kan emang deket Yu, tiap tahun tu orang bereproduksi, kuat banget kok gak capek ngasuh dan ngasi." Keduanya tertawa. "Gak gak papa lah ciri-ciri makhluk hidup itu Mbak, memperbanyak keturunan, tapi ya mau gimana lagi kalo suami dah ngelarang, masih lumayan Mbak Mery ada suaminya, lah aku pacar aja diembat orang, pake acara DP anak orang lagi, bunting duluan sebelum nikah, kalo dipikir-pikir ya Alhamdulillah aku tau buruknya dia sebelum jadi suami aku, gak jamin bener ya Mbak pacaran lama," ujar Ayunda mengembuskan napasnya berulang. "Betul Yu, kita gak tau jodoh kita siapa, aku juga gitu, putus nyambung gak jelas, sampe beneran putus lama, eh ternyata ya ketemu lagi, dan segera nikah, trus kamu setelah dikhianati gitu gak mau deket sama cowo lagi?" Pertanyaan kakak sepupunya membuat Ayunda hanya menggerakkan bahunya. Ia hanya tak mau sakit lagi, sulit banginya untuk memulai lagi. "Entahlah Kak, aku hanya nggak mau sakit lagi, males juga, di usiaku yang segini kan aku apa-apa punya dan mampu beli, gak butuh laki-laki lagi, yaudah enak gini daripada punya pacar cuman ngeselin, apa lagi aku kan dah sampe taraf tunangan waktu itu, nggaklah ngapain juga deket sama cowo yang belum tentu baik, ia kalo baik kalo nggak?" Jawaban Ayunda membuat kakak sepupunya tertawa. Ia sudah mengira jawaban Ayunda akan seperti itu. Di usianya yang sudah kepala tiga ia sudah punya segalanya, sukses melanjutkan usaha papanya. Punya segalanya, lalu apa lagi? "Kalo kamu nggak membuka hati ya mana tau kalo ada yang baik, semuanya kamu anggap sama kayak mantan tunangan kamu," sahut Verlita. "Nggak ah, aku nggak mau coba-coba, nggak mau sakit lagi, ini hati sih bukan kain, kalo kain robek masih bisa dijahit, kalo hati yang robek mana bisa digituin selamanya akan robek dan sulit disembuhkan, meski ada sebagian orang yang bisa cepat menyembuhkan luka hati." "Alah-alah kamu Yu, nyoba napa." "Nggak, nggak lagi." *** "Gas, gimana kabar kakak lu?" tanya Bagus saat mereka baru saja sampai kontrakaan mereka. "Ya baeklah, ngapain tiba-tiba tanya kakak gue? Jangan macem-macem lu Gus, gue gak mau dia sakit lagi, model bocah macam lu gak ada seriusnya, lagian tua kakak gue timbang lu," sahut Bagas. "Ya lu nuduh aja bisanya, sumpah sejak awal gue lihat kakak lu jadi suka, beneran ini gue serius Gas." "Jangan lu terusin keusilan lu Gus, beneran gue bakalan tonjok lu kalo sampe mainin kakak gue." Wajah Bagus terlihat serius menatap sahabatnya. Baguspun menatap mata Bagas tak kalah tajam. "Apa ada niatan main-main gue di mata lu Gas? Gue iya emang kaya anak kecil tapi kalo urusan cewe gue gak pernah main-main, gue pernah pacaran sekali, putus justru karena cewe gue yang ninggalin gue, lu tau kan gue dari keluarga sederhana kerja dan kerja biar ibu dan ade gue bahagia, sejak kecil gue gak punya bapak Gas, jadi gue sibuk cari duit dan itu gak bisa diterima cewe gue, dia merasa gue gak merhatiin dia, yaudah selesai." "Iya, tapi jangan suka ke kakak gue lah Gus, tar jadi gak enak kalo lu ada masalah sama kakak gue." "Kok lu yang bingung sih, ini kan gue baru bilang suka, kakak lu juga belum tentu mau sama gue." Keduanya tertawa dan Bagas baru ingat sesuatu. "Trus kenapa lu ngajukan resign kalo lu butuh uang?" tanya Bagas. "Oh itu karena gue nemu kerjaan di tempat baru," sahut Bagas. "Waaah pasti gaji lu lebih besar Gus." "Nggak malah, lebih kecil di sana hanya lebih menjanjikan kedamaian." Bagas ngakak mendengar suara Bagus yang berbicara sambil memejamkan mata. "Alah lu Guuus, Guuus ... lah tapi kita jadi gak sering ketemuan tar." "Nggaklah malah semakin sering in shaa Allah." "Alhamdulillah, emang deket sini perusahaan tempat lu kerja ntar?" "Nggak juga sih agak jauhan, lagian belum jelas gue diterima apa nggak." "Ya Allah Guuus, lu emang gak waras ya? Gaya lu ngajuin resign, padahal diterima apa nggak juga gak jelas." "In shaa Allah diterima Gas, doain ya biar semuanya bahagia." "Lu mau kerja di mana sih?" "Di tempat kerja tanteku, dia dah agak lama kerja di sana, dan gue pikir lebih baik gue cari kerja yang deket sama ibu dan ade gue, punya ade cewe kan ketar-ketir juga gue jagainnya, khawatir digangguin cowo gak bener." "Nah itu lu tau, ya gitu yang gue rasain ke kakak gue, pingin jagain dia, pingin dia nikah sama laki-laki yang bener." "Masa gue gak bener Gas?" "Gak ada benernya loe, miring iya lu, nggak ah gue gak pengin punya ipar somplak macem lu." Dan Bagus hanya mampu mengembuskan napas, meski sejak tadi ia bergurau dengan Bagas entah mengapa, pikirannya tak bisa lepas dari Ayunda, kakak Bagas yang memang ayu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD