4. Hanya Sebagai Pelepas Dahaga

1358 Words
Suka dengan cerita ini??jangan lupa masukin dalam reading list kamu ya dan jangan lupa juga follow akun saya, biar dapat notif saat saya apdet. Tab love-nya jangan sampai ketinggalan loh. Terima kasih Selamat Membaca Tara memandang langit sore dari teras rumahnya, awan beriak seakan mengejek dirinya yang terluka nestapa saat ini. Satu dua burung beterbangan dengan riang. Menambah sahdu sejuk udara sore. Tara kadang berpikir, enak kali ya jadi burung, bisa kesana kemari tanpa perlu sakit hati dan terluka dan tanpa memikirkan apa-apa. Ya Allah kenapa aku harus mengeluh? Semua yang aku jalani saat ini adalah kehendakMu. Tara bermonolog pada dirinya. Masih mematung memandang awan luas yang terang benderang warnanya, jelas sekali hari ini tidak akan turun hujan, mengingat awan beriak melambai dengan cerahnya, tidak seperti kemarin malam, cuaca gerimis sendu. Sesendu hatinya yang menatap punggung lelaki terlelap yang telah sebulan menikahinya. Flash back "Ra...." bisik Zaka. "Mmm..ya Mas," sahut Tara masih memutup mata. "Boleh saya meminta hak saya malam ini?" Tara tak berani membantah, karena dosa jika dia menolak, tapi tak menolak rasanya juga pasti aneh. Bagaimana mungkin lelaki yang selama ini menjadi teman baik almarhum suaminya, yang ia hormati dan segani layaknya seorang saudara, harus menjadi suaminya dan saat ini meminta hak padanya. Apa yang harus ia lakukan juga ia tak paham? "Oke..diamnya wanita saya anggap setuju." Zaka memutuskan sendiri, padahal Tara tak menjawab justru karena gundah. "Maaf Mas, apakah Mbak Mei tidak apa-apa?" akhirnya Tara memberanikan diri bersuara walau sangat pelan. Tak ingin membangunkan puteri semata wayangnya. "Tidak apa-apa, selagi kamu tidak mengatakan apa-apa?" jelas, lugas dan to the point. Tara semakin tak berkutik, rasanya seperti selingkuh saja, hubungan harus diam-diam, padahal dia jugakan istri Zaka. "Dan saya harap kamu tak mengatakan apapun yang dapat melukai perasaan istri saya," lanjutnya lagi masih dengan nada lugasnya. Matanya menatap tajam ke arah Tara seakan itu sebuah perintah yang mengandung ancaman mengerikan. Helloo....saya juga istri, bukan gundik. Lalu bagaimana dengan perasaan saya?siapa yang memikirkannya? Tara hanya mampu mengucapkan protes di dalam hatinya. Entah kenapa rasanya kok sakit?saat Zaka mengucapkan kalimat terakhir. Tara akhirnya pasrah saat lelaki yang menjadi suaminya itu, menggeser posisi Fia menjadi di sudut ranjang yang menghadap tembok. Dadanya pun bergemuruh, antara malu, bete, kesel dan sedih bercampur jadi satu. Saat tangan lelaki itu menyentuh kulitnya inci demi inci, Tara merinding disko, bukan karena menikmati namun karena takut. Mata Zaka saat ini memancarkan aura mematikan. Tara tak berani membuka mata, dipicingkannya dengan paksa, seakan ada lem yang dia oleskan pada matanya. Satu persatu pakaian Tara telah terlepas, dia merasainya dari udara dingin yang menusuk kulit dan tulangnya, walaupun ada tangan hangat yang mengusapnya lembut, seakan kulit Tara adalah benda lunak yang mudah ambyar. Sangat hati-hati Zaka mengusapnya. Tara malu sendiri, kulitnya keras seperti badak ini rasanya tak pantas diusap dengan begitu lembut. Terakhir merawat diri ia pun lupa, mungkin sebelum melahirkan Fia. Ya Tuhan malunya. "Kamu harum," bisiknya di telinga Tara. Membuat Tara bersemu merah, masih tak berani membuka matanya, sepertinya Zaka pun tak mempermasalahkan itu, buktinya saat ini bibirnya sudah menyapu bersih bibir Tara. Apakah Tara mendesah nikmat? tidak!!Tara bersumpah pada dirinya sendiri, untuk menghempaskan desahan nikmat itu jauh-jauh. Wahai hati jangan goyah. Bisik Tara pada seonggok daging di dalam tubuhnya yang saat ini merasai sentuhan suaminya. Tara meraba sisi kiri ranjangnya, meraih guling dengan tangannya, tanpa membuka mata. Menggigitnya dengan keras, saat erangan itu hendak lolos dari mulutnya. Tangannya hanya mampu meremas seprei saat desir itu merajai tubuhnya Zaka masih aktif mencumbu Tara dengan gemas, membuat banyak tanda disekujur tubuh Tara. Kalian tahukan pohon pisang??yah Tara sekaku gedebong pisang, tak bergerak, tak berani, bukan karena tak memiliki hasrat, namun lebih karena malu yang sudah membuncah sampai ubun-ubun. Zaka berhenti sejenak, tampaknya tengah memperhatikan nafas tersengal istri keduanya saat baru saja mengalami gelombang cinta. Zaka bersiap mencumbu kembali, inci demi inci, menyatukan kulit dengan kulit, meracau nikmat, seketika Tara memasang tajam telinganya. "Mei...enak sayang," Dduuuuaaarrr..... Bagaikan bom panci, racauan kenikmatan yang keluar dari mulut Zaka, sontak menghempaskan tubuh dan juga hati Tara ke dasar jurang nestapa. "Meei ...," erangnya. Seketika bulir air bening lolos dari kedua sudut mata Tara. Zaka sepertinya baru menyadari akan ocehannya. Tanpa mengatakan apapun lagi, Zaka turun dari ranjang, melilitkan handuk lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Kamu dzolim Mas!!disaat kamu menggauliku, kamu menyebut nama wanitamu yang lain. Lagi-lagi Tara hanya mampu berteriak histeris dalam hatinya Flash back off Miris, diperlakukan seperti tak berharga, lalu kini ia harus apa, harus bagaimana? Lelaki itu malam ini hendak menginap kembali, katanya betah. "Mama, mau s**u!" ucapan Fia menyadarkannya dari lamunan. "Ah, iya Nak, sebentar ya, masuk yuk sudah mau magrib," ajak Tara pada Fia yang kini meninggalkan kegiatan bermain sepedanya di pekarangan rumah. Tara melaksanakan sholat magrib, Fia minum s**u dengan botol, tiduran di samping sajadah yang digelar Tara. Pukul delapan, suara deru mobil Zaka memasuki pekarang rumah Tara. d**a Tara kembali berdegub kencang. "Om Papa ...," suara kecil Fia menyambut lelaki yang kini ia panggil om papa. Fia bangun dari duduknya mengintip dari jendela. Tara membukakan pintu untuk suaminya, menjawab salam suaminya dan mencium punggung tangan suaminya. Zaka memperhatikan penampilan Tara malam ini, menyambutnya tanpa kerudung, memakai baju kaos dengan celana panjang rumahan, rambutnya dikuncir kuda. Tampilannya terlihat lebih muda dari usianya. Zaka senang tapi tidak menampakkannya. Zaka tak ingin Tara menjadi besar hati dan egois nantinya. "Hai anak papa, " sapanya ramah pada Fia, Fia tersenyum malu-malu, bersembunyi dibalik tubuh Tara. "Ayo salim dulu sama papa!" titah Zaka mengulurkan tangannya. Dengan malu-malu Fia mencium punggung tangan Zaka. "Om papa udah puang?" katanya lagi. "Udah, nih papa bawa apa buat Fia?" Zaka memberikan box donat dengan aneka toping. Fia melihatnya dengan gembira, lalu menyantapnya dengan lahap. Tara menyiapkan teh untuk Zaka juga makan malamnya. Zaka masuk ke kamar mandi hendak bersih-bersih. Sepuluh menit Zaka di dalam kamar mandi, kini Zaka keluar hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangnya. Pandangan Tara dan Zaka bertemu. Namun Tara terlebih dahulu memutusnya, teringat kembali ucapan menyakitkan Zaka kemarin. Tara menemani Zaka makan, dia pun ikut makan. Karena memang menunggu makan bersama suaminya. Tak ada suara apapun ,hanya denting sendok yang terdengar. "Enak masakanmu," puji Zaka tulus. "Masih kalah Mas jika dibandingkan dengan masakan Mbak Mei." Entah kenapa rasa kesal Tara membuatnya menyahut demikian. Zaka tak melanjutkan lagi, dia merasa tak enak hati juga dengan Tara. Bagaimana mungkin dia menyebut nama Mei diakhir kenikmatan yang ia raup bersama Tara, istri keduanya. Kini Fia sudah tertidur, Zaka menggeser kembali posisi Fia di sudut ranjang. Perasaan Tara kembali tak enak. Tara baru saja masuk ke kamarnya, habis dari kamar mandi bersih-bersih. Dengan wajah kaku Tara naik ke ranjang tepat di sebelah Fia. Zaka yang selesai menyisir rambut, menyusul Tara. Keduanya berbaring terlentang kaku, Tara seperti orang pingsan, mengedip pun seakan tak berani. "Ra, maafkan saya semalam," ucapnya terlihat tulus. "Iya Mas sudah saya maafkan." "Terimakasih, mmm ... kalau gitu saya ingin mengulanginya boleh?" Belum sempat memberikan jawaban, tangan suaminya sudah melakukan trip entah di mana saja. Tara memutar bola mata malasnya. Masih kesal dan bete sebenarnya, tapi ... sudahlah. Dia hanya perlu menutup mata dan menggigit guling, biarkan lelaki itu yang bekerja keras. Kali ini tak ada nama Mei yang terucap dari desisan lenguhannya. Tara sedikit bersukur. Hanya desahan aah..uh..aah.. uh..aahh..seperti kepedasan. Aah..bodo amatlah. Tara kembali terpaku membeku seperti patung, dan sialnya Tara malah kembali meraih puncak bersama suaminya. Benar-benar memalukan diri ini rasanya. Sebel sama tubuh sendiri yang tak mampu menahan gelombang asmara yang ditawarkan suaminya. Nafas Zaka masih terengah, menatap di bawah tubuhnya, wanita berparas hitam manis ini entah kenapa begitu membuat hasratnya gampang terpacu. Malam ini Zaka mengulanginya hingga dua ronde. ting..ting..ting.. Suara ponsel Zaka berdering, secepat kilat Zaka meraihnya dari atas nakas. Wajahnya menjadi pucat. "Hallo Bun, " ucapnya gelagapan. "Apa Bunda sudah di jalan?" "Oke, Ayah ada meeting sebentar lagi selesai. Kita ketemu di rumah. Iya, ayah juga rindu." Zaka menutup telponnya lalu tanpa melihat kembali ke arah Tara, Zaka dengan cepat memakai bajunya, baju kerjanya yang tadi sudah dia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor Tara. "Saya balik dulu, ya." Zaka keluar kamar menutup pintunya dengan tergesa. Meninggalkan Tara yang menatap kepergiannya dengan rasa perih. Haruskah kehidupan pernikahan seperti ini yang ia jalani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD