5. Tara Hamil

1229 Words
Tara menatap pintu kamarnya yang kini telah tertutup kembali, setelahnya suara mobil suaminya meninggalkan pekarangan rumah. Tara mengahapus air mata yang menetes di pipinya, semakin lama semakin deras air itu tumpah, tanpa bisa dibendungnya. Bahu bergetar tanda menahan kepedihan atas semua yang ia jalani saat ini. Ditariknya selimut bulu bermotif hello kitty menutupi tubuh polosnya. Berjalan ke kamar mandi, membersihkan semua sisa percumbuan yang menyesakkan dadanya. Setelahnya, ia kembali memakai bajunya, kembali ke peraduan sambil memeluk tubuh mungil Fia anaknya. Berharap semua kepedihan ini hanya mimpi. Seminggu berlalu, tak ada kabar lagi dari Zaka. Terakhir Zaka mengirimkan uang melalui kurir yang biasa ditunjuknya, untuk membawa Fia kontrol ke dokter asma. Tara pun menjalani hari seperti biasa mengajar anak-anak tetangga calistung di pagi dan sore hari. Sore ini ia membuat kolak pisang untuk Fia, memang semenjak menikah dengan Zaka, Tara tidak pernah lagi kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun tidak berlebih, namun cukup untuk Tara dan Fia hidup berdua. Yaah, hidup berdua, karena Zaka sepertinya tidak menganggap mereka berdua ada. "Mama." Fia menghampiri Tara yang sedang memasak kolak di dapur. "Ya sayang." Tara menoleh tersenyum manis pada anaknya. "Om papa nana?" "Huh?" Tara melongo. "Om papa nana, Ma?"tanya Fia lagi semakin mendekat pada Tara. "Ohh ... Om papa kerja, sayang." Tara tersenyum kecut. "Mau om papa!" ucapnya lagi kini sudut bibirnya turun ke bawah. Tanda akan menangis. "Nanti om papa pulang, sabar ya, om papa kan sedang cari uang yang banyak untuk ajak Fia jalan-jalan." Tara menenangkan putri kecilnya, bagaimana pun dua hari Zaka pernah menginap disini memberi kesan pada Fia sosok dirinya. Meskipun masih terlihat canggung, namun Zaka tetap senang mengajak Fia bermain dan mencuci sepedanya saat itu. Hari beranjak malam, Tara menemani Fia menonton acara kesukaannya. Fia duduk di bawah sambil bermain boneka. Setiap deru mobil yang lewat, Fia berlari ke jendela, mengintip siapa yang datang. Wajahnya cemberut kembali duduk di bawah memegang bonekanya, begitu terus sampai ada empat mobil yang lewat di depan rumahnya, Fia berlari ke jendela. Tara menatap iba pada putrinya, apakah Fia merindukan Zaka? Sepertinya iya. Lalu bagaimana dengan dirinya, apakah ia merindukan suami orang itu?yah meskipun suami dia juga sih. "Assalamualaikum," suara seseorang yang dinanti Fia pun terdengar dibalik pintu. Fia mengenal suaranya, berlari mengintip di jendela. "Mama, om papa ... om papa," ucapnya kegirangan sambil melompat-lompat. Tara bergegas ke pintu, membukakan pintu untuk suaminya. "Wa'alaykumussalam," sahut Tara sambil menyungingkan senyum manisnya. Tara mencium punggung tangan Zaka, saat Zaka tengah menggendong Fia. Putri kecil Tara sibuk memegang pipi Zaka lalu menciumnya rindu. "Waah, anak papa rindu ya," ujar Zaka senang lalu duduk di kursi tamu. Tara berjongkok, maksud hati melepaskan kaos kaki suaminya, sedikit canggung Zaka membiarkan Tara melakukannya. Setelahnya kaos kaki tersebut dimasukkan Tara ke dalam keranjang cucian, lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan air jahe madu untuk suaminya. "Fia, papa mandi dulu ya, bau acem," ucap Zaka sambil mengusap rambut Fia lembut dan menaruhnya di sofa beserta bonekanya. Putri kecil itu mengangguk patuh. Zaka mencium pipi Fia di sebelah kanan. "Belah aji." Fia menyerahkan pipi kirinya. Zaka tertawa kecil, lalu mencium pipi kiri Fia. Fia tertawa senang, menatap lelaki yang ia panggil om papa sampai masuk ke dalam kamar mandi. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, disaat bersamaan pula, Tara bergegas ke kamar, merapikannya, mengganti seprei lalu menatanya dengan rapi. Tara melewati cermin, kucel! Cepat Tara bersisiran, lalu menguncir ekor kuda rambut sebahunya. Mengangkat tangan sampai atas kepala, hidungnya membaui ketiaknya, kanan dan kiri berganti. Alhamdulillah ga bau ketek. Tara tersenyum lalu membuka pintu kamar. Ceklleek "Eh ...." tubuh Tara dan Zaka bertabrakan, saat Tara membuka pintu, Zaka hendak masuk, karena kaget keduanya berbenturan, kening Tara mengenai d**a polos Zaka, karena lelaki itu hanya melilitkan handuk sampai pinggang saat keluar kamar mandi. "Maaf, Mas." Tara menunduk malu, lalu berjalan ke arah meja makan untuk menyiapkan makanan. Zaka memperhatikan Tara sambil mengulum senyum, lalu masuk ke kamar untuk berganti pakaian. "Bagaimana kabar Mbak Mei Mas?" Tara membuka pembicaraan, Zaka tengah duduk menyantap makan malam dengam sayur asem, cumi asin sambel ijo dan kerupuk. Terasa nikmat dilidah dan tenggorokannya. "Sedang kurang sehat," jawabnya masih asik melahap makanan di atas piringnya. "Sakit apa, Mas?" "Pusing." "Oh, semoga Mbak Mei lekas sembuh ya Mas." Tara membiarkan Zaka makan dengan tenang, tak bertanya lagi, menunggu Zaka selesai makan. "Masakan kamu enak," pujinya tulus sambil menatap Tara intens, Tara tersenyum menanggapinya. "Terimakasih Mas." "Om papa, ayo main!" Fia menarik tangan Zaka menuju ruang tamu, saat Zaka telah selesai makan, Zaka tersenyum, mengikuti langkah gadis kecil yang tengah menggenggam erat jari telunjuk Zaka. Tara tersenyum bahagia, paling tidak putri kecilnya memiliki sosok ayah, walaupun sesekali datang, tapi tak apalah. Tara rela, asal Zaka berlaku baik pada Fia dan dirinya. Lalu bagaimana dengan perasaannya? Ah..tidak usah dipusingkan. Anggap saja semua ini berdasarkan azas tolong menolong. Tepat pukul delapan tiga puluh, akhirnya Fia tertidur di dalam gendongan Zaka dengan lelapnya. Zaka menaruhnya di atas ranjang dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Zaka masih menemani Fia, rebahan di sampingnya. Lalu Tara masuk setelah membersihkan diri di kamar mandi. Masih canggung tak berani menatap Zaka yang kini memperhatikannya. "Sini!" titah Zaka sambil menepuk sampingnya. Tara merebahkan diri ragu, dadanya berdebar. Perasaannya tak enak, saat tangan Zaka sudah menyusup di bawah dasternya. Mencoba tak terlalu larut dalam alunan sentuhan lelaki itu, namun raganya seakan tak setuju, raga itu menikmati, walaupun tetap gulinglah yang menjadi sasaran gigitannya. Matanya pun tak berani menatap, benar-benar takut hati ini menyerah dengan kata cinta. Kali ini nama istri sahnya yang disebut diujung kenikmatannya." Mei" lolos air mata turun dari sudut netra Tara. Harga dirinya sebagai wanita hancur berkeping-keping. Menangisi hatinya yang ternyata cemburu dengan nama Mei yang selalu disebut Zaka diujung surga dunia yang ia gapai, padahal raga Taralah yang ia cicipi. Zaka keluar kamar dengan santai tanpa pakaian apapun. Tara menghapus air matanya cepat, tak ingin dilihat cengeng oleh Zaka, Zaka tak boleh tahu bahwa dirinya kalah dengan kata cinta. Tara masih rebahan, sambil menyelimuti tubuhnya dengan selimut hello kitty. Zaka kembali dari kamar mandi lalu memakai baju kaos serta celana panjang yang ia ambil dari dalam tas. "Mei hamil Ra," ucapnya sambil merapikan gespernya. Tara terdiam sesaat. "Alhamdulillah ... selamat Mas, akhirnya." Tara tulus memberikan selamat. Senyumnya terbit, bagaimanapun kabar itu adalah kabar bahagia bagi Zaka dan Mei yang sudah bertahun-tahun menanti kehadiran sang buah hati dalam pernikahan mereka. "Terimakasih." "Mmm ... mungkin saya dalam waktu lama tidak bisa mampir ke sini lagi." "Ohh, iya," cicit Tara mendadak lemas, ucapan Zaka membuat tulang belulangnya rasa remuk. Kecewa sungguh kecewa, itulah jerit di hatinya. Zaka mengambil ponselnya dan membaca beberapa pesan yang masuk. "Saya pulang dulu," ucap Zaka kini tengah menggendong ranselnya, tak lupa Zaka mencium Fia dan tersenyum pada Tara. Tara mengangguk sedih, tak boleh air matanya turun saat ini. Bagaimana nasibnya selanjutnya, apakah ia akan benar-benar dicampakkan oleh Zaka? Sepuluh hari sudah, setiap malam disujudnya, Tara menangisi dirinya sendiri. Entah apa arti dirinya bagi Zaka, istri?sepertinya tidak. Saudara? bukan juga. Apa mungkin pelacurnya?mengingat Zaka mengunjungi Tara hanya untuk memuaskan s**********n. Benar saja selama sepuluh hari sudah Zaka tak menampakkan batang hidungnya, menanyakan kabar pun tidak. Lama Tara memandangi ponselnya, kebanyakan panggilan dari ayah dan pamannya di kampung yang sangat perhatian padanya. Kepalanya berkunang saat tengah mengajarkan les calistung anak pak RT. Lalu tak mengingat apapun, saat matanya terbuka. Sudah ada Dokter Yusi dan Bu RT Yasmin yang berada dalam kamarnya. " Selamat Tara, kamu hamil."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD