SATU KAMAR

1208 Words
Aku mengendap-endap memasuki rumah. Mobil Moondy sudah terparkir di teras depan. Rasanya malas sekali untul masuk dan berhadapan dengan Moondy. Aku berharap dia sudah tidur sehingga aku tidak perlu bingung mencari jawaban dari pertanyaanya. "Darimana kamu jam segini baru pulang ?" Pertanyaan Moondy menyambutku begitu membuka pintu rumah. Kulihat dia duduk di depan tv tanpa sendirian. Tanpa menoleh ke arahku dia melontarkan pertanyaan itu. Aku memang keluar dari rumah untuk mencari tanpa ijin dari Moondy. "Cari kerja." Jawabku seperlunya sambil berjalan ke arah kamar. "Ngapain kamu cari kerja ?" Tanyanya lagi, kali ini dia menoleh ke arahku dan aku menghentikan langkahku. "Apa salahnya aku cari kerja ? Bukan urusanmu kan ?" "Tentu urusanku ! Kamu istriku !" Bentak Moondy sambil berdiri menatap marah kepadaku. "Istri ? Sejak kapan? Bukankah itu hanya status ? Status di atas buku pernikahan dan di depan keluarga besar. Tidak untuk kita berdua." "Jaga mulut kamu ! Apa kurang uang yang kuberikan selama ini ? Kamu mau minta tambah ? Bilang !" "Aku mau cari kesibukan. Salah ? Aku bukan pembantu dirumah ini. Aku juga tidak pernah dianggap disini. Tidak ada yang menunggu dan kutunggu dirumah ini, jadi untuk apa aku menunggu di rumah selama 24 jam ?" Moondy melunak. Kulihat dari wajahnya sepertinya dia sedikit merasa bersalah kepadaku. Tapi entahlah. Pria salju itu tak pernah bisa ditebak. "Mulai besok aku akan mulai bekerja. Dan kamu tidak perlu kuatir, aku akan membersihkan rumah sebelum dan sesudah aku kerja. Aku janji pekerjaanku tidak akan membuatku melupakan tanggung jawabku di rumahmu dan Bulan." Kutinggalkan Moondy yang masih berdiri menatapku dengan tatapan penuh kemarahan lagi. *** Hari ini hari pertamaku bekerja. Syukurlah Tuhan masih menyayangiku. Aku tak perlu menunggu berhari-hari untuk mendapatkan pekerjaan. Cukup satu hari saja dan itu di penghujung sore aku diterima bekerja. Aku langsung sumringah ketika kepala toko kue yang cukup terkenal di deket kampus swasta Semarang ini menerimaku bekerja sebagai pelayan toko. Tugasku menerima pengunjung dan menunjukkan menu-menu di toko kami. Gaji yang ditawarkan tidak cukup besar, bahkan lebih besar dari uang bulanan pemberian mas Moondy. Tapi tak masalah, tujuanku bekerja bukan untuk mencari uang besar, tapi untuk membuatku mencari kesibukan di luar rumah agar aku tak merasa semakin tertekan di rumah. "Kamu sudah berkeluarga ?" Tanya Arini. Teman baruku di toko ini. Aku diam. Tak langsung menjawabnya. Tak ada yang perlu dibanggakan dari pernikahan kami. Tapi aku juga tidak mau berbohong. "Woh ditakoni kok meneng wae ?" Tanyanya lagi. "Belum." Akhirnya aku memilih untuk berbohong. "Kamu?" Aku balik bertanya. "Belum juga. Tapi aku udah ada calon. Kamu udah ada belum ?" Aku hanya menjawab pertanyaan Arini dengan senyuman. Aku takut berbohong lagi. Sudah cukup pernikahanku saja yang kututupi, jangan yang lainnya. "Mau bareng gak pulange ? Kebetulan aku ada urusan searah sama tempat tinggal kamu." Tawar Arini. "Gak usah Rin. Aku masih perlu beli sesuatu Rin, jadi kamu duluan aja. Nanti aku tak naik angkot aja." "Yaudah kalo gitu aku duluan ya ? Kamu ati-ati." Aku memang sengaja tidak mau bareng Arini. Aku masih ingin berlama-lama di luar rumah. Aku tak ingin bertemu dengan Moondy dan Bulan dengan cepat. Mereka berdua sama saja menurutku, sama-sama jahat. Toko kue tempatku bekerja menggunakan sistem shift. Setiap shift ada 8 jam kerja. Dan kebetulan hari pertamaku kerja di shift pagi. Itu dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kalau shift siang dimulai dari jam 1 siang sampai jam 9 malam. **** "Ngi, kamu serius bekerja ?" Tanya Bulan saat kami sedang masak berdua untuk makan malam. Aku mengangguk. "Kenapa ?" "Aku mau cari kesibukan Lan." "Ikut aku saja di butik kalau kamu mau, kebetulan aku juga butuh orang buat bantu-bantu." "Gak perlu. Makasih tawarannya Lan. Aku udah dapat pekerjaan yang nyaman menurutku." "Iyakah ? Kok cepet banget ? Kamu kerja dimana ?" "Di toko kue di deket kampus. Kebetulan emang lagi cari karyawan, jadi pas banget sama aku yang lagi nyari kerja." "Serius di toko kue ?" "Iya. Kenapa Lan?" "Kan jauh itu dari rumah kita. Dan lagi gajinya berapa ? Apa nyampe UMR ? " Gajinya kecil Lan, tapi lumayan lah kalau buat kesibukan. Daripada aku bosen di rumah terus." "Kamu naik apa nanti kerjanya?" "Ada angkot Lan." "Kamu belajar nyetir ya ? Biar bisa pulang dan pergi kerja pakai mobil." Aku menggeleng. "Gak usah Lan. Aku nyaman kok." Moondy turun tepat saat kami selesai menyiapkan makan malam. Seperti biasa suasana hening ketika makan. Karena Moondy memang tidak suka ada suara ketika sedang makan. "Ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kalian berdua. Terutama kamu Ngi." Kata Moondy membuka suara begitu prosesi makan malam selesai. "Mulai malam ini, aku akan tidur dikamar kalian secara bergantian setiap 3 hari sekali." Lanjut Moondy. Aku langsung membelalakkan mataku begitu mendengar ucapan Moondy. Bukan aku tak suka, jujur ini adalah hal yang sangat ku tunggu, tapi ini terlalu mendadak, aku bahkan belum mempersiapkan semuanya. "Dan malam ini sampai tiga hari kedepan aku akan tidur di kamar kamu Ngi." Uhuk uhuk ..... Aku langsung terbatuk mendengar ucapan Moondy. Kaget ? Iya. Kulihat wajah Moondy menatapku biasa saja. Sedang wajah Bulan tersenyum bahagia mendengar keputusan Moondy. Mungkin dia ingin adil pada kami. Dan inilah caranya. Bulan berhasil membuat Moondy adil. Tapi aku takut, aku takut jika malam ini Moondy akan meminta haknya. Apa yang harus aku lakukan? Aku menarik nafas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan agar Moondy dan Bulan tidak mendengar desisan nafasku. Aku masih duduk di depan meja rias ketika Moondy membuka pintu kamarku. Perang jantung di dalam sana. Keringat dingin terus keluar dari tubuhku. Moondy terus melangkah mendekat padaku. Dia duduk dipinggir kasur tepat dibelakangku. "Jangan ngorok ya ! Aku ga suka berisik !" Perintah Moondy Aku sedikit kesal mendengar perintahnya. Ini kamarku. Mana aku tau tidurku ngorok apa enggak, aku kan sedang tidur tidak sadar dengan apa yang aku lakukan juga saat aku tertidur. Moondy mulai membaringkan dirinya diatas kasur. Tak lupa menyalakan ac kamar kami untuk menghindari gerah saat malam menjelang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan aku masih duduk rapi di kursi meja riasku. "Mau sampai kapan kamu duduk disitu ?" Suara Moondy membuyarkan lamunanku. "Ayo cepat tidur!" Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah tempat tidurku. "Ngapain kamu kesini?" Tanya Moondy sambil setengah duduk. "Mau tidur kan ?" Tanyaku pada Moondy. "Tidur di sofa sana ! Jangan pernah berharap ya kita bisa tidur satu ranjang. Jika bukan karena Bulan yang memintaku, tidak sudi aku tidur denganmu!" "Keterlaluan ya kamu ! Lebih baik kamu keluar dari kamarku ! Tidak tidur denganmu juga tidak membuatku rugi !" Jawabku penuh dengan emosi. "Tapi kamu selalu mengeluh pada Bulan meminta aku adilkan sama kalian berdua ? Jangan kira aku tidak tau ya !" "Aku tak pernah mengeluh. Bulan sendiri yang bilang akan membuatmu adil padaku dan dia." "Sama saja ! Kalau kamu tidak banyak bicara pada Bulan tentu dia tidak akan memintaku untuk adil padamu !" "Kalau begitu ceraikan aku!" "Tidak !" "Kalau kamu tidak mau, biar aku yang menceraikan kamu !" "Nanti ! Tidak perlu kuatir, aku akan segera menceraikanmu, begitu Bulan sudah mengandung anakku. Mengerti !" Aku malas berdebat lagi dengan Moondy. Aku tak habis pikir jika Moondy benar-benar sejahat itu. Aku beranjak ke sofa di dekat pintu kamarku. Tak bisa kutahan lagi air mata yang sudah kutahan sejak tadi dari hadapan Moondy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD