PUASA PERTAMA

1045 Words
Puasa pertamaku tahun ini setelah aku bersuami. Kupikir akan indah seperti pasangan pengantin lainnya. Dulu aku selalu membayangkan bisa menyiapkan makanan untuk sahur dan berbuka puasa dengan Moondy suamiku. Bisa shalat tarawih bersama, tadarus bersama, dan puasa bersama. Tapi harapan tinggal harapan. Bulan meminta kami untuk membagi tugas menyiapkan makanan untuk sahur. Ketika malam Moondy tidur bersamaku, maka Bulan yang akan menyiapkan sahur. Begitu juga sebaliknya, ketika Moondy tidur bersama Bulan, maka aku yang akan menyiapkan makanan untuk sahur. Sedangkan untuk berbuka puasa, ketika aku shift siang maka Bulan yang mempersiapkan untuk Moondy, dan ketika aku masuk pagi, aku yang kebagian menyiapkan untuk berbuka puasa. Aku menuruti saja apa kata Bulan, karena usulpun juga tidak akan membuat Moondy menghargai segala usahaku. "Ngi ... " "Iya Lan ?" "Hari ini kamu buka puasa sendiri ga pa-pa kan ?" "Kalian berdua ?" "Aku mau buka puasa sama karyawanku dan Moondy juga katanya mau buka puasa bersama rekan bisnisnya." "Oh .... Baiklah Lan, ga pa-pa kok." "Yaudah, aku berangkat dulu ya Ngi." Aku mengangguk. Setelah Bulan berangkat. Aku juga langsung segera menyusul untuk berangkat ke tempat kerjaku. *** Aku dan Arini kebetulan satu shift, jadi kami berdua sering berbagi cerita dan saling membantu dalam pekerjaan. "Buka bersama yuk nanti, ada acara gak ?" Tanya Arini. "Boleh. Dimana ?" "Kamu pengen makan apa Ngi ?" "Apa ya ? Ngikut deh, apa aja mau. Puasa gini makan aja masuk." "Tapi masih jam segini, ngabuburit dulu gimana ?" "Siap dong ..." Kupikir ikut ajakan Arini untuk buka puasa diluar sesuatu yang mengasyikkan. Mengingat di rumah sedang tidak ada orang. Lagipula selama ini buka puasa di rumah juga bukan sesuatu yang aku tunggu. Lebih kepada karena aku tidak mau mengecewakan Bulan dan berdebat dengan Moondy. Moondy sangat tidak suka jika aku tidak hadir dalam makan malam ataupun sarapan pagi di rumah. Moondy sangat tidak suka jika aku ataupun Bulan terlambat saat akan makan malam ataupun sarapan. Tapi tentu dia tidak akan semurka itu kepada Bulan seperti terhadapku. Semarah-marahnya Moondy pada Bulan, tetap terselip panggilan sayang untuknya. Dan sejujurnya aku iri. "Ngi, habis lebaran aku mau lamaran." "Iyakah ? Wah ... Selamat ya Rin." "Kamu kapan nyusul ? Kita seumuran kan ?" Mendengar pertanyaan Arini aku langsung tersenyum kecut. Hubunganku sama Arini semakin dekat, kita bahkan bersahabat. Tapi jika untuk jujur soal statusku, rasanya aku masih berat. "Nunggu jodohnya Rin. Doain ya biar segera nyusul kamu." "Amin ... Eh tapi kamu gak ngerasa to kalo si Amir itu suka sama kamu ?" "Amir yang mana ?" "Heleh.... Si Amir, yang kerja di toko baju sebelah toko kita." "Ora ah. Biasa wae lho Rin. Kamu salah kali." "Weee ora pie to ? Wong tiap ada kamu wae dia caper lho." "Perasaanmu wae Rin. Aku ora ngerasa lho nek dia caper karo aku." "Hmm yowes, tapi nek misal dia suka sama kamu pie ?" "Heee yo mbuh. Belum tak pikir Rin." "Amir guanteng lho Ngi, kurangnya cuma satu." "Apa itu ?" "Kaya tiang listrik. Hahaha " Amir. Kasir toko baju di sebelah tempatku bekerja. Orangnya baik. Ganteng juga. Berkulit kuning langsat. Tinggi 170cm, berat badan sekitar 55kg. Usianya mungkin selisih satu atau dua tahun dariku. Sebenarnya aku tau jika dia menyukaiku. Seringkali Amir datang ke toko dan bercanda denganku. Dia juga meminta nomer ponselku, hampir tiap hari dia menghubungiku, sesekali aku membalasnya, namun lebih sering tidak. Aku selalu menganggapnya angin lalu, karena bagaimanapun juga aku sudah bersuami. Aku tidak mau memberikan harapan lebih pada Amir. "Kamu bar iki meh kemana ? Langsung pulang ?" "Kayaknya iya. Kenapa Rin ?" "Yo rapopo. Bareng weh yuk, tak anter sekalian." "Kan gak searah Rin. Nanti kamu bolak balik." "Ora popo, aku tuh mbok ya diajak sekali-kali kerumahmu, mosok berteman udah lama kok ndak pernah diajak kerumahmu ?" "Belum tepat Rin waktunya." "Halah perkoro dolan wae nunggu waktu yang tepat." Begitulah Arini, dia itu super cerewet. Gadis ayu asli Semarang itulah yang membuat hari-hariku selalu tersenyum dengan celotehannya. Di tempat kerja, dia juga selalu bikin rame. Sekitar pukul 7 malam aku berpamitan untuk pulang. Aku takut akan kehabisan angkot. Arini akan mengantarku sampai ke pangkalan angkot. Tapi sebelum sampai tujuan Arini mengajakku mampir dulu ke alfamart, dia bilang mau beli pembalut dulu. Sudah tanda-tanda mau haid katanya. Aku menunggunya di depan alfamart. Kebetulan di samping alfamart itu adalah cafe milik mas Moondy. Selama menikah hingga saat ini belum pernah sekalipun aku diajak Moondy untuk melihat-lihat di mana saja cafenya. Aku hanya tau nama-nama cafenya saja. Sambil menunggu Arini aku melihat-lihat sekeliling. Aku berjalan ke arah cafe milik Moondy. Aku ingin tau serame apa cafe milik suamiku itu. Namun pemandangan tak mengenakkan justru yang aku terima. Saat aku berjalan mendekat ke arah cafe, saat itu pula kulihat mas Moondy dan Bulan bergandengan tangan dengan begitu mesra keluar dari cafe. Penampilan mas Moondy malam ini sungguh tampan, dengan memakai kemeja casual dan celana panjang slim, ditambah dengan sepatu pantofel hitamnya menambah tampan pesona mas Moondy. Senada dengan Bulan, dress panjang warna merah muda dan heels senada membuat dia tampil cantik, rambutnya yang digerai panjang menambah anggun penampilan Bulan "Pelangi ?" Bulan sepertinya kaget melihat aku. "Darimana kamu ? Pulang kerja bukannya langsung pulang malah berkeliaran di jalanan. Mau jadi perempuan apa kamu ?" Bentak Moondy. "Jadi ini yang dinamakan buka puasa bersama karyawan dan rekan bisnis ?" Kataku penuh dengan emosi. "Pelangi aku bisa jelasin." Bulan berusaha meraih tanganku. "Gak perlu. Cukup kalian jujur tidak perlu membohongiku. Dan kamu Bulan, aku kecewa sama kamu." Aku berlari menuju ke arah sepeda motor milik Arini. Beruntungnya dia juga sudah selesai belanja. "Ngi, sopo kae ?" "Bukan siapa-siapa.Bisa segera kita pergi dari sini Rin ?" "Oke siap. Ayok naik." Sepanjang perjalanan aku menangis. Aku sungguh kecewa dengan perlakuan mereka. Ternyata mereka berdua sama saja. Bulan yang kuanggap baik ternyata dia sama saja dengan mas Moondy. Aku merasa dibohongi oleh mereka. Bodohnya aku. Mana ada orang di dunia ini yang mau di madu ? Sebaik-baiknya Bulan, aku yakin, sejujurnya dia tetap tidak ingin dimadu. Sikap baiknya selama ini hanyalah kebohongan semata. Aku menyesal percaya pada Bulan. Dan sejak malam ini kuputuskan untuk kembali menutup diri pada mereka berdua. Urusan berbuka dan sahur biarlah menjadi urusanku sendiri. Tak ada akupun juga mas Moondy masih ada Bulan. Dan tidak mungkin juga Bulan tidak mau melayani suaminya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD