PERNIKAHAN KEDUA

1095 Words
Jam berjalan terasa lambat setiap harinya, aku merasa bosan jika terus-terusan seperti ini. Bangun tidur setelah adzan subuh, kutunaikan shalat subuh. Tak pernah berhenti meminta agar Moondy segera melunak terhadapku. Setelahnya aku mandi. Baru membersihkan rumah. Hingga hari ke 5 mas Moondy masih belum mau memakan sarapan yang aku buatkan untuknya. Setiap hari dia berangkat kerja jam 7 pagi. Dan kembali pulang sekitar jam 10 malam. Dia tidak pernah memanggil atau memberitahu aku jika aku pulang, tapi aku selalu tau karena dia melewati kamarku saat akan menuju lantai dua kamarnya. "Pelangi, keluar !" Suara Moondy membangunkanku. Tidak adanya kegiatan membuatku tidur di siang hari. Kuambil gawaiku. Kulihat masih jam tiga sore, tumben Moondy sudah pulang ? Tanyaku dalam hati. "Pelangi !" Teriak Moondy kembali sambil menggedor pintu kamarku. "Kenapa mas ?" Tanyaku begitu pintu kamarku terbuka. "Ayo keluar, aku mau mengenalkan seseorang kepadamu." Pinta Moondy yang kemudian dia meninggalkanku menuju ruang tamu. Aku kembali masuk kekamar untuk menyisir rambutku sebelum keluar kamar menyusul Moondy. Kudengar dari jauh dia nampak berbicara dengan seorang perempuan. Perempuan ayu nan anggun yang kulihat begitu aku berdiri tepat di depan mereka berdua. "Mas." Aku berdiri di depan Moondy yang terlihat mesra bersama gadis ayu itu. "Pelangi, kenalin ini Bulan." Kata Moondy sambil berdiri dan diikuti oleh perempuan bernama Bulan itu. "Halo Pelangi. Kenalin aku Bulan." Sapanya dengan ramah sambil menjulurkan tangannya.Suaranya lembut seperti penampilannya. "Aku Pelangi." Balasku sambil menerima uluran tangan darinya. "Dia pacarku!" Ucap Moondy yang langsung membuat mataku terbelalak dan langsung melepaskan jabatan tanganku dan Bulan. "Sayang sabar dulu." Kata Bulan sambil mengelus pundak Moondy. "Sebenarnya aku tak perlu ijinmu. Tapi Bulan yang memintaku untuk meminta ijin padamu sebagai istri pertamaku." "Maksudnya ?" Tanyaku yang sungguh tak mengerti maksud dari pernyataan Moondy. "Aku akan menikah dengan Bulan." Mataku kembali membelalak mendengar ucapan Moondy. Kedua tanganku menangkup menutup mulutku. "Pelangi kami berdua butuh ijinmu untuk menikah. Mas Moondy bilang dia sudah bercerita ya kalau pernikahan kalian itu karena perjodohan. Kami berdua sudah lama berpacaran. Aku menerimamu sebagai istri pertama Moondy karena perjodohan itu. Dan aku berharap kamu juga menerimaku sebagai istri kedua Moondy. Semoga rumah tangga kita bertiga berjalan lancar ya. Kita juga bisa jadi saudara." Kata Bulan sambil terus tersenyum. "Semua sudah kupersiapkan, dua hari lagi pernikahan akan dilakukan. Dan itu disini tempatnya. Jadi persiapkan semua dengan baik Pelangi." Lanjut Moondy. Bulir air mataku menetes begitu saja dihadapan Moondy dan Bulan. Seperti tersambar petir di siang bolong mendengar pernyataan Moondy sore ini. Kakiku lemas, tubuhku serasa mau terjatuh. Dadaku bergemuruh di dalam sana. "Kenapa kamu menangis ? Bukankan memang pernikahan ini tanpa cinta ?" Tanya Moondy kembali. "Sayang, kamu jangan begitu. Mungkin dia kaget. Dan lagi pernikahan kalian baru seminggu yang lalu." Ucap wanita itu lembut sambil mengusap lembut pundak Moondy. "Tidak perlu kaget, dari awal aku sudah bilang kalau aku tidak mencintainya. Dan kamu Pelangi, nanti Bulan akan langsung tinggal disini begitu kita menikah. Dia akan tinggal dikamar atas bersamaku. Bersikap baiklah padanya. Sekali saja kamu menyakitinya kamu berurusan denganku." "Pelangi kamu jangan menangis. Aku tau kamu pasti kaget. Tapi aku yakin kalau kamu nanti pasti akan mengerti. Aku akan menjadi kakakmu disini. Usia kita terpaut sangat jauh. Meskipun kamu istri pertama Moondy, tapi aku tetap menganggapmu sebagai adikku. Aku senang memiliki saudara perempuan sekarang. Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak mampu mengatakan sepatah katapun. Bibirku menjadi kelu. Kuputuskan untuk kembali memasuki kamarku, karena tidak ada gunanya juga aku tetap berdiri disini melihat Moondy dan Bulan. **** Hari ini pernikahan Moondy dan Bulan. Tidak banyak yang hadir. Keluarga Moondypun tidak ada satupun yang hadir karena memang Moondy tidak bilang jujur pada keluarganya. Dari keluarga Bulan ada keluarga dan sahabat-sahabat Bulan, dan aku tentunya. Aku yang mempersiapkan semuanya, mulai dari cathering, dekorasi dan semuanya. Jangan tanya bagaimana hancurnya hatiku, yang jelas air matapun sampai tak sanggup aku keluarkan. Hatiku hancur ketika semua mengucap sah dan hamdalah, itu berarti mereka berdua sudah sah menjadi suami istri. Ya, aku memiliki madu di usia pernikahanku yang baru satu minggu. Bahkan manisnya pernikahanpun belum aku peroleh sekalipun, tapi kini sudah ditambah luka kembali oleh Moondy, suamiku sendiri. *** "Ngi .... " Suara Bulan dari luar sana memanggil namaku. Aku memang sengaja tidak keluar kamar sejak pesta mereka selesai. Aku lebih memilih menyendiri dan merutuki nasib yang menimpaku. Menangispun percuma, karena mereka juga tidak memperdulikanku. "Iya?" Tanyaku begitu aku membuka pintu kamar. "Makan malam yuk, aku udah siapin. Kamu pasti lapar kan ?" Tanyanya penuh dengan senyum merekah dari sudut bibirnya. "Kalian saja. Aku tidak lapar." "Ayolah." Bulan menarik tanganku. "Ayo makan malam bersama. Ini makan malam pertama kita bertiga Pelangi." Aku menatap wajahnya sekilas. Bulan cantik. Kulitnya bersih. Rambutnya panjang tergerai berwarna hitam merah kecoklatan. Memiliki tinggi yang kurang lebih 10 cm dariku membuat dirinya semakin terlihat anggun. "Yaudah ayok." Aku mengiyakan ajakan Bulan dengan malas. Di meja makan sudah kulihat Rudi memakai piyama sambil menunggu kami. "Lama banget sih ? Kalau sudah jam makan bisakan langsung kesini tanpa harus dipanggil ?" Omel Moondy begitu aku sampai di meja makan. "Sayang jangan begitu, mungkin Pelangi lelah, dia kan sudah mempersiapkan semuanya untuk acara kita." Rajuk Bulan pada Moondy. Aku tak mengeluarkan suara sedikitpun. Makanpun seperlunya, mereka berdua merencanakan bulan madu di depanku, dan aku sakit mendengarkan hal itu. Moondy saja bahkan tak menyentuhku sama sekali. Aku muak mendengarnya. Setelah selesai kuputuskan untuk segera mencuci piringku sendiri dan masuk ke kamar. "Mau kemana kamu ?" Tanya Moondy. "Aku tidur duluan." Jawabku tanpa melihat kearah Moondy. *** Rumah kembali sepi saat pagi begini. Moondy kembali bekerja mengurus cafenya, sedangkan bulan juga bekerja mengurus butik miliknya di pusat kota Semarang. Aku jadi merasa seperti seorang pembantu di rumah ini. Kerjaanku setiap hari hanya membersihkan rumah mencuci baju, dan memasak. Meskipun kadang tak jarang juga yang melakukan itu Bulan, tapi setidaknya aku selalu mencuci dan menyetrika bajuku sendiri. Untuk urusan masak, Moondy memang tak pernah suka masakanku. Dia lebih suka memakan makanan buatan Bulan. Selalu saja dia protes dengan setiap makanan yang kubuat. Keasinan, kemanisan, kepedasan, kurang kecap dan lainnya. Berbeda dengan ketika dia memakan masakan dari Bulan, beribu-ribu pujian datang dari mulutnya. Aku bahkan merasa ingin muntah mendengarnya. Bulan pada dasarnya orang baik. Dia tidak menganggapku musuh di rumah ini, meskipun aku sering bersikap dingin dan acuh ke dia, tapi Bulan selalu tersenyum kepadaku. Darimanapun dia pergi tidak pernah dia tidak membawakan aku makanan atau oleh-oleh. Dan isinya selalu sama dengan dia dan Rudi. Terkadang terbersit dalam hatiku untuk meminta maaf pada Bulan akan sikapku. Tapi aku tidak bisa. Bulan sendiri sampai saat ini tidak pernah meminta maaf kepadaku karena dia telah mengambil suamiku ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD