"Ngi ?" Suara Bulan memanggilku.
"Bulan kamu ngapain?" Jujur aku kaget. Kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Biasanya jam segini dia sudah pergi ke butiknya.
"Kamu lagi yang lagi ngapain ?" Tanya Bulan kembali membuyarkan lamunku.
"Oh, ini mau nyuci baju. Kamu kenapa masih di rumah ini kan sudah siang?" Jawabku sambil menunjukkan keranjang cucian.
"Aku lagi gak enak badan Ngi. Rasanya badanku capek semua." Kata Bulan sambil memijat bahunya sendiri.
"Oh ... Mau kubikinkan teh hangat ?"
"Boleh Ngi kalo gak ngrepotin."
"Kamu tunggu dulu, aku taruh kerangjang cucian dulu ya." Kataku.
Bulan mengangguk lalu duduk di kursi tengah sambil menyalakan tv, aku langsung meletakkan keranjang cuciku dan membuatkan teh hangat untuknya. Ini kali pertama aku berdua saja dengan Bulan di rumah ini. Rasanya terlalu canggung karena aku memang menjaga jarak dengan Bulan.
"Kamu udah bilang sama mas Moondy kalau sakit ?" Tanyaku sambil memberikan teh hangat padanya.
"Belum."
"Kenapa ?"
"Ada hal yang Moondy gak perlu tau."
"Tapi dia pasti kawatir. Moondy sungguh sangat mencintai kamu, dia tidak akan membiarkanmu sakit. Biar aku telepon dia ya ? "
"Nggak usah Ngi, aku ga pa-pa. Cuma butuh istirahat aja. Nanti juga sembuh."
"Baiklah kalau begitu. Kamu istirahat dulu saja. Aku mau lanjut kerjain tugas dulu." Pamitku sambil beranjak.
"Ngi Kita juga akan membuat Moondy mencintai kamu Ngi." Ucap Bulan yang langsung spontan membuatku membelalakkan mata dan menghentikan langkahku.
"Maksud kamu ?"
Bulan meraih tanganku. Dia menggenggam erat kedua tanganku.
"Kita berdua sama-sama istri Moondy. Aku mau kita berdua akur sebagai istri Moondy, setia mendampingi Moondy sampai kapanpun."
Kulepaskan tanganku dari genggaman Bulan. Karena aku tau itu adalah sesuatu hal yang mustahil dan sangat tidak mungkin.
"Mas Moondy hanya mencintai kamu. Tidak denganku. Pernikahanku dengan mas Moondy karena perjodohan, dan mas Moondy terpaksa menikahiku. Sedang dengan kamu, dia mencintai kamu. Dia bahkan rela menyembunyikan semuanya dari kedua orang tua dan keluarganya. Dia bahkan sudah siap menerima segala konsekuensi yang akan dia terima kalau suatu saat keluarga besar dia tau soal pernikahan kalian."
"Aku tau hal itu. Aku juga sangat mencintai Moondy. Tapi aku juga tidak mau kehilangan kamu. Kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri."
"Tidakkah kamu ingin memiliki Moondy seutuhnya Bulan ?"
Bulan terdiam mendengar pertanyaanku. Dari sudut matanya buliran air mata sudah siap untuk membasahi pipinya. Bulan merengkuhku. Dia memelukku dengan erat sambil terisak dalam tangis.
"Dulu iya." Ucap Bulan sambil melepas pelukannya dariku.
"Tapi semenjak bertemu denganmu dan tinggal bersamamu aku tidak lagi punya pikiran seperti itu." Lanjutnya.
"Iya, karena mas Moondy lebih memilihmu. Mas Moondy lebih memilih tidur denganmu, memakan masakanmu, memujimu, dan segalanya untukmu. Apalah aku dirumah ini ? Hanyalah seorang istri yang dianggap tak lebih dari seorang pembantu." Jawabku sambil tersenyum penuh dengan kekecewaan.
Mau menangispun rasanya aku tak sanggup. Hanya seringai senyum jahat penuh kekecewaan yang mampu aku tunjukkan pada Bulan.
"Kita akan buat Moondy adil Ngi. Kita akan buat Moondy mencintai kamu juga. Kita akan buat Moondy memperlakukan kamu sama juga denganku."
"Sepertinya tidak mungkin. Mas Moondy bahkan tidak pernah menganggapku ada. Bahkan 5 bulan pernikahanku dengan mas Moondy belum pernah sekalipun dia menginjakkan kakinya di kamarku."
"Aku akan membuat Moondy melakukannya Ngi. Percaya padaku."
"Tidak perlu Bulan. Toh aku juga tidak akan memberikannya pada mas Moondy semudah itu meskipun dia meminta. Aku hanya akan memberikannya jika mas Moondy sudah mencintaiku. Meski kutau itu tidak akan mungkin."
"Ngi... "
"Kamu tidak pernah tau Bulan bagaimana sakitnya perasaanku saat aku akan di madu denganmu. Belum genap satu minggu pernikahanku mas Moondy membawamu kepadaku dan menyatakan bahwa kalian akan menikah. Bahkan manisnya madu pernikahan belum aku gapai dengan mas Moondy. Bayangkan kalau kamu yang ada diposisiku Lan, apa kamu bisa menjadi aku ?" Tangisku pecah. Aku tak dapat lagi membendungnya. Rasanya dadaku sungguh-sungguh sakit.
"Aku tau apa yang kamu rasakan Ngi, karena aku juga mengalaminya."
Aku menatap nanar Bulan. Menunggu dia untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
"4 tahun." Bulan menghentikan ucapannya. "4 tahun bukan waktu yang singkat untukku menjalin hubungan dengan Moondy. Bahkan usaha butikku itu kubangun bersama dengan Moondy. Moondy yang mendampingiku dari 0. Aku juga mendampingi Moondy meneruskan usaha milik ayahnya dari 0. Susah senang sudah kita lalui bersama. Keputusan menikah sudah kita rencanakan berdua, tapi sayang kedua orang tua Moondy tidak menyetujuinya. Mereka bilang bahwa Moondy telah dijodohkan dengan mendiang kakeknya untuk menikah dengan kamu. Hancur Ngi. Hatiku hancur saat itu. Ingin mati rasanya aku. Tapi Moondy tetap meyakinkanku bila kita masih bisa bersama."
Bulan menangis. Air mata kian deras mengalir di pipinya. Ternyata bukan hanya aku saja yang terluka karena Moondy. Tapi Bulan juga merasakan hal yang sama. Hanya bedanya Bulan disini penuh dengan cinta. Sedang aku penuh dengan kebencian.
"Seberapapun lama kalian pacaran jika Moondy sudah menikah tentu seharusnya kalian sadar diri, karena kasta tertinggi dari sebuah hubungan adalah pernikahan. Sebentar apapun perkenalanku dengan mas Moondy jika kami sudah terikat oleh pernikahan negara dan agama harusnya kamu bisa menerima kenyataan ini Lan! Harusnya kamu menjauh dan menerima kenyataan bahwa mas Moondy sudah beristri!" Kataku sambil menahan air mata.
"Tolong kasih Moondy waktu. Waktu untuk bisa menerima kehadiranmu. Kita berdua pasti bisa. Kalian berdua seperti orang asing yang disatukan dalam pernikahan, perkenalanpun belum terlalu jauh, tapi pernikahan sudah di depan mata. Tolong Ngi... Kasih Moondy waktu." Bulan kembali menggenggam tanganku erat. Kulihat matanya tulus meminta padaku.
"Dia hanya butuh waktu Ngi untuk lebih mengenal dan mencintaimu. Dia tidak membencimu. Semua hanya karena waktu." Lanjutnya sambil terus menggenggam tanganku.
Aku tidak tau harus bagaimana lagi selain mengangguk menyetujui permintaan Bulan. Aku tidak tau apakah keputusan yang aku ambil benar atau tidak. Aku terlalu rapuh dengan ini semua. Cinta pertamaku, pernikahan pertamaku harus dibumbui deengan kenyataan pahit seperti ini.
Ya mas Moondy tak sepenuhnya salah. Kita berdua memang seperti orang asing yang disatukan dalam sebuah pernikahan. Perlu waktu untuk melaluinya. Sama seperti orang pacaran, dimulai dari perkenalan dulu, pendekatan, pacaran , baru pernikahan. Semoga mas Moondy bisa bekerja sama denganku agar kita bisa melalui semua ini. Agar mas Moondy bisa adil pada aku dan Bulan. Meskipun berat jika memang ini jalanku aku harus terima. Tak bisa kubayangkan jika di usiaku yang masih muda harus memiliki kisah pernikahan yang serunyam ini.