Bertemu Gebetan

1185 Words
Diam adalah caraku bertahan. Kosong adalah caraku menebus kesendirian. Dan menatapmu dari kejauhan adalah caraku berjuang. Jadi, biarkan saja aku seperti ini — membuat delusi bahwa kau bisa kudapatkan. Dunia Milan *** Milan tercengang ketika pintu UKS yang berada tak jauh darinya berdecit lalu terbuka perlahan. Matanya melotot, napasnya tertahan , dan dia seperti tak mampu bernapas. Dia rasa, oksigen di sekitarnya telah dirampas oleh sesuatu yang dia tak tahu asalnya dari mana. Tubuh Milan terasa kaku, sulit digerakkan ketika lelaki yang kini tersenyum padanya itu mendekat. Jangankan membalas senyum tersebut, bahkan dia tak mampu berkedip walau untuk sekali saja. "Milan 'kan?" tanya lelaki itu, dia telah berdiri menjulang di depan Milan. Merasa gadis di depannya tak merespon apa pun selama beberapa saat, lelaki itu melambaikan tangan lalu menempelkan sebelah tangannya pada kening Milan. Kepalanya miring ke kanan. Bingung, satu kata yang langsung terlintas karena Milan hanya diam dan bertingkah aneh. Sangat aneh. "Milan, lo denger gue?" tanyanya lagi, namun Milan tak menjawab. "Lo sakit? Demam? Tapi suhu badan lo nggak panas, kok." "Gue ... nggak sakit." Akhirnya Milan menjawab, membuat lelaki itu menghela napas lega sambil kembali tersenyum. Mata gadis itu mengerjab dua kali, tangannya menyentuh kening yang baru saja dipegang sang lelaki. Mendadak Milan tersenyum tak jelas sembari menggigit bibir bawahnya. Ini pasti mimpi, mimpi yang sangat indah. Kalau nanti bangun, Milan ingin langsung berteriak sekencangnya di jendela kamar. "Tapi lo baik-baik aja 'kan?" Milang mengangguk, "Baik, Kak." "Syukur deh, gue kira lo kenapa. Diem aja pas gue tanya," ucap lelaki itu tersenyum dengan begitu manis. "Kak ... ada perlu apa ke sini?" "Lo sedang jaga di UKS? Anggota PMR ya?" Bibir Milan jadi sedikit datar mendengarnya. Berarti selama ini, lelaki itu tak mengenalnya sama sekali, meskipun Milan telah berusaha sekuatnya menjadi ketua PMR dan akhirnya kalah dari Ai. Padahal Milan melakukan ini karena ... ingin lelaki itu tahu tentangnya. Milan ingin jadi pintar, punya posisi, dan dikenal banyak orang. Sebut saja Milan serakah, tapi sebenarnya dia tak mencari itu kok. Milan hanya ingin kakak tingkat yang sejak hari pertama dia temui itu tahu tentangnya, setidaknya hanya nama saja. Tapi ternyata itu adalah sebuah harapan yang tak dapat terjadi. Lelaki bernama Avredo Gumilang itu rupanya sama sekali tak tahu tentangnya, sekalipun Milan telah menyabet posisi sebagai wakil PMR. Ah, Milan benci kalau harus mengingatnya. "Tuh kan, gue nanya tapi nggak dijawab. Kenapa sih, gue se-menakutkan itu ya?" tanya Vredo menaikkan sebelah alisnya. "Bukan gitu, gue Cuma nggak ... " "Nggak?" Milan mendongak, senyum tak dapat disembunyikan dari wajahnya. "Nggak apa." "Lo aneh tapi lucu," ucap lelaki itu sembari menepuk kepala Milan dua kali. Mata Milan melotot lagi, tangan kokoh Vredo sepertinya sangat pas di kepalanya, pikir gadis itu. "Gue mau istirahat di sini bentar, kepala gue agak pusing. Mungkin karena kehujanan kemarin. Boleh kan?" Vredo bertanya pada Milan yang masih diam. "Tuh kan ... diem lagi." "Eh? Bolehlah, istirahat aja, Kak. Kalau keganggu karena gue, gue bakal tunggu di luar," ucap Milan ingin beranjak pergi. "Nggak usah, gue nggak keganggu, kok. Di sini aja, ntar kalau ada yang minta obat ke gue, gue nggak ngerti." Milan tersenyum canggung lalu mengangguk. Gadis itu duduk di kursi ketika Vredo sudah berbaring di ranjang. Beberapa kali dia melirik Vredo yang tengah memejamkan mata, bibir Milan tak sadar melengkung. Kalau keadaannya begini, Milan rela kalau tiap hari harus jaga di UKS menggantikan beberapa anggota PMR yang seharusnya jaga tapi ada keperluan. Biasanya saja, kalau ada yang datang ke UKS paling anak cowok yang colut dari kelas dan tidur di sana, atau para cowok itu lalu memberikan gombalan jalanan pada Milan. Gila! "Kak Vredo mau gue ambilin teh anget?" tanya Milan hati-hati dan dengan pelan, takut kalau Vredo telah tidur. "Nggak usah, gue Cuma pusing kok." Kepala Milan mengangguk, gadis itu melanjutkan mengecek beberapa proposal yang akan diajukan untuk acara donor darah beberapa minggu lagi. Melihat halaman pertama saja, seketika Milan mengingat wajah Ai yang begitu licik, penuh perintah, dan begitu angkuh. Milan menarik napas, lalu menghembuskannya. Jangan sampai dia marah-marah ketika di sampingnya ada Vredo, atau dia akan terlihat begitu aneh. "Milan." Panggilan itu membuat Milan mendongak dan menemukan Vredo sudah duduk di tepi ranjang menatapnya. "Tidur aja, Kak, gue keluar kalau gitu." "Jangan ... gue nggak bisa tidur." Vredo menghela napas, "Gue mau tanya, waktu itu lo minta nomor gue buat apaan? Waktu itu lo langsung masuk aja." Milan menggigit bibir bawahnya gelisah. Antara bingung dan takut untuk memberikan jawaban. Apa Milan bilang saja kalau dia ingin kenal lebih dekat dengan Vredo? Tapi, apa itu tidak terlalu berlebihan jika yang melakukan adalah Milan, seorang cewek? Atau Milan bilang saja ada temannya yang minta, bukan dirinya sendiri? Kalau begitu, bagaimana Milan nanti membuat alasan ketika ingin nge-chat Vredo? Ah, Milan bisa gila kalau begini! "Milan ..." "Itu, gue ... sebenernya mau tanya tentang perguruan tinggi, Kak. Lo kan udah dapet sosialisasi tentang beberapa perguruan, jadi gue minta rekomendasi gitu." Vredo terkekeh lalu menjawab, "Gue aja masih bingung, Milan. Padahal ini udah tengah semester satu." Milan ikut tersenyum melihat Vredo. Keduanya saling tatap beberapa saat hingga akhirnya bel istirahat berdering, membuat mereka mengalihkan perhatian. "Lo udah makan? Kantin yuk," ajak Vredo lantas berdiri. "Ayo!" *** Sejak sampai di kantin, Milan hanya menundukkan kepala sambil merutuki kebodohannya sendiri. Memang, dia menginginkan makan di kantin bersama Vredo, tapi kenapa tadi Milan harus menyahut ajakan lelaki itu dengan begitu antusias? Ah, mungkin sekarang di dalam pikiran Vredo, Milan adalah cewek agresif! "Kenapa? Nggak dimakan, nggak enak ya, Milan?" tanya Vredo melihat Milan yang tak menyentuh sepiring siomay itu. "Bukan, enak kok." Milan langsung memasukkan satu pentol siomay ke dalam mulutnya. Vredo tersenyum, lantas keduanya mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sesekali Milan mendongakkan kepala untuk menatap Vredo, bibirnya tak mampu menyembunyikan senyum. Vredo memang terlihat begitu menawan! "Eh, Milan." Suara itu membuat Milan menggeram, hampir saja dia melempar sendoknya ke muka orang yang kini berdiri di samping mejanya. "Aduh, kok bangkunya penuh semua sih, padahal gue laper banget." Milan mengepalkan tangan kesal. Dia tahu, Aidil hanya ingin membuatnya marah-marah atau paling tidak mengacaukan setiap detik yang gadis itu lewatkan. Bagi Milan, berada dalam radius beberapa meter dari Aidil bukanlah hal yang nyaman dan aman, malah sebaliknya. Lelaki itu seperti membawa magnet kesialan untuk Milan. Gadis itu menghentakkan sebelah kakinya yang ada di kolong meja pelan sambil tersenyum. "Di bawah sini, masih kosong banyak. Udah biasa duduk di emperan 'kan, Ai?" Vredo kini menatap keduanya bergantian dengan heran. Pasalnya, entah kenapa dia merasa armosfer sekitarnya mendadak jadi berbeda ; lebih terasa panas. "Gue lagi males jadi yang biasa, Milan. Duduk sini, ya?" Tanpa persetujuan siapa pun, Aidil langsung duduk di salah satu kursi bangku tersebut. "Orang cerdas macam apa yang nggak punya etika gini? Nggak disuruh kok ngelunjak, nggak punya muka kalik," gumam Milan sengaja dengan volume agak keras agar lelaki itu mendengar. "Milan ... lo baik-baik aja kan?" Pertanyaan itu asalnya dari Vredo yang kini memiringkan kepala menatap Milan, alisnya terangkat satu. "Ah, gue nggak apa, Kak." Kepala Vredo mengangguk lantas dia menatap Aidil sekilas, yang langsung dibalas lelaki itu dengan tatapan tidak suka. "Awas lo, Ai!" *** A/n: To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD