“Meski kita berasal dari dunia berbeda sekalipun, aku tidak peduli. Selama aku masih memiliki kehidupan, bahkan sekalipun nyawaku telah meninggalkan raga, selama aku masih bisa melihat dan bersamamu seperti ini, aku akan mengikutimu ke manapun kamu pergi.”
Episode 7 : CEO
CEO terus memacu kudanya tanpa berhenti bahkan untuk sekadar beristirahat. Membuat Shelena makin bertanya-tanya. Terlebih, mereka sudah mengarungi perjalanan dari matahari terbenam hingga matahari kembali terbenam lagi. Di mana, perjalanan yang mereka lalui selalu berupa jalan setapak di antara rindang pepohonan besar menjulang tinggi dan tidak dihuni seorang pun. Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sepanjang perjalanan mereka.
“Sebenarnya kita mau ke mana? Aku haus. Aku juga lelah ...,” keluh Shelena di tengah mata berikut tatapannya yang menjadi teramat sayu. Apakah dia sedang berusaha mengantarku pulang?
“Sebentar lagi kita sampai,” balas CEO tanpa mengurangi fokus matanya terhadap sepetak jalan yang terbentang di depan sana.
“Setidaknya, kalaupun kamu berniat menculikku, kamu juga harus memastikan aku baik-baik saja. Demi Tuhan, aku sangat haus ....”
Keluhan Shelena mengusik CEO. Seumur hidupnya, ia memang terbiasa menyendiri bahkan di setiap kepergiannya. Jadi, ketika ada yang mengeluh layaknya sekarang, ia juga baru menyadari bahwa kali ini kepergiannya tak hanya sendiri di mana ia biasa menahan segala rasa termasuk haus dan lelah layaknya apa yang Shelena keluhkan.
Jadi, karena tidak mau membuat Shelena semakin kehausan terlebih sesuatu yang buruk sampai menimpa gadis itu, CEO segera menepikan kudanya, turun lebih dulu kemudian mengangsurkan tangan kanannya pada Shelena.
“Sudah sampai?” tanya Shelena yang terlihat keletihan. Wajah Shelena terlihat sangat sayu sekaligus pucat bertabur buih keringat.
CEO menggeleng kemudian mengendong Shelena untuk turun melalui kedua ketiak gadis itu. “Apakah kamu masih kuat berjalan?” tanyanya memastikan sambil menatap wajah Shelena dengan jarak yang begitu dekat. Bahkan kedua tangannya sampai membingkai wajah wanita itu sesaat setelah ia sampai membuka penutup wajah Shelena.
Meski sudah merasa sangat lemas sekaligus haus, Shelena mengerahkan sisa tenaganya untuk mengangguk. Meski tentu, kenyataan tersebut tak lantas membuat CEO menerima begitu saja karena mengangguk adalah jawaban yang sangat klise.
“Tunggu di sini!” sergah CEO yang langsung menuntun Shelena untuk duduk.
CEO nyaris meninggalkan Shelena dengan buru-buru bahkan berlari, tetapi Shelena segera menahan asal celana bagian belakang pria tersebut. Dan meski celana CEO terbuat dari kain tebal, tetapi ternyata sangat lembut. Shelena rasa, zamannya dengan Dharen yang mengaku sebagai CEO memang berbeda.
Sosok CEO teramat kuno. Pun dengan suasana kebersamaan mereka yang sangat jauh dari keramaian apalagi kemajuan teknologi. Masih seperti zaman penjajahan yang menjadikan kerajaan sebagai pemerintahannya. Faktanya, kenapa sepanjang perjalanan mereka hanya hutan tanpa tanda-tanda kehidupan pun meski sakadar pemukiman kecil?
“Kamu mau ke mana?” tanya Shelena sesaat setelah CEO balik badan menatapnya.
“Mencarikan minum untukmu,” balas CEO tulus. Gurat kecemasan yang menyekapnya juga tak lepas dari kerisauan.
Shelena menggeleng sambil terduduk saking lemasnya. Kenyataan yang langsung membuat CEO sangat khawatir dan segera menghampirinya.
“Bertahanlah. Aku akan menggendongmu. Di bawah sana ada mata air yang bisa kita minum langsung,” sergah CEO makin takut.
Shelena dikejutkan dengan tumbuhan kecil merindang berwarna hijau di sepanjang jalan, di sebelahnya. Itu merupakan tumbuhan ciplukan dan ia ketahui sarat khasiat. Dari buah yang tertutup kelopak bunga dan memiliki rasa manis khas ketika masak, selain pohonnya sendiri yang sangat bagus untuk dibuat obat herbal salah satunya direbus menjadi minuman.
CEO menatap bingung apa yang Shelena lakukan. Gadis itu dengan telaten memetik setiap tangkai kuncup yang sudah berwarna kuning. Ketika dibuka, ternyata di dalam kuncup tersebut terdapat buah kecil berwarna kuning mengkilap.
Setelah terkumpul memenuhi sebelah telapak tangannya, Shelena mengangsurkannya kepada CEO yang telah jongkok di hadapannya. CEO, pria itu memperlakukan Shelena dengan sangat lembut. Sangat perhatian bahkan peduli. Sedikit saja Shelena merasa tidak nyaman, CEO langsung risau dan segera melakukan penanganan.
“Kamu tahu ini apa?” tanya Shelena.
CEO menggeleng kemudian memperhatikan wajah Shelena berikut buah ciplukan yang dimaksud.
Shelena terdiam, semakin merasa janggal. Kemudian ia menatap ke seberang. Di sana ada tumbuhan kumis kucing berikut sambilata. Begitu banyak tanaman herbal di sana termasuk daun pegagan yang sudah langka.
Meski tidak mengenyam bangku pendidikan secara formal, tetapi selain sering membaca buku terlebih Shean juga kerap memberinya hadiah buku. Bahkan Shean juga akan banyak bercerita dan memberinya banyak informasi dalam segala hal. Pun mengenai aneka tanaman herbal berikut khasiatnya. Ia mempelajarinya dari buku-buku pemberian Shean.
“Lalu, apakah kamu juga tahu, kalau tanaman ini, itu, dan itu sangat berkhasiat untuk kesehatan?” lanjut Shelena sambil menatap CEO penuh kepastian.
CEO menggeleng. “Selama ini aku hanya sibuk mengurusi peperangan. Selebihnya aku benar-benar tidak tahu.”
Mengurusi peperangan? Bisa dipastikan ini memang bukan zaman kehidupanku! Aku benar-benar sedang di kehidupan lain. Dunia kuno! Shelena mulai gelisah. Apakah dunia lain yang ia yakini kini, juga berhubungan dengan buku usang pemberian Shean?
“Namamu sungguh CEO?”
CEO yang masih menatap lekat Shelena, segera mengangguk.
“Kamu tidak kenal Dharen?” lanjut Shelena.
CEO langsung mengernyit. “Jangan pernah menyebutnya lagi jika hal tersebut hanya membuatmu kembali meninggalkanku!” pintanya.
Shelena mengernyit. Kenapa jawabannya begitu aneh?
“Kalau boleh tahu, sejauh apa kamu mengenalku?” tanya Shelena makin hati-hati.
Yang Shelena tahu, Dharen sudah melamarnya bahkan menginginkan pernikahan segera. Jadi, melalui pertanyaan barusan, ia bisa menentukan kecurigaan sekaligus hal-hal yang membuatnya merasa janggal.
CEO tak langsung menjawab. Yang ada, ia semakin lama menatap Shelena. Seolah hanyut dan mendapatkan kenyamanan tersendiri dari kedua mata berbola mata hitam milik Shelena. Ada, mata dan wajah selugu ini? Tak ada dosa apalagi hasrat meski dia golongan berambut hitam yang selama ini sangat memusuhi bangsa Safron? Gadis secantik dan selugunya, mana ada lagi. Bagiku, dia yang paling indah. Sempurna ....
“Meski kita berasal dari dunia berbeda sekalipun, aku tidak peduli. Selama aku masih memiliki kehidupan, bahkan sekalipun nyawaku telah meninggalkan raga, selama aku masih bisa melihat dan bersamamu seperti ini, aku akan mengikutimu ke manapun kamu pergi.” CEO menatap Shelena sungguh-sungguh. Tatapan seorang pria yang begitu mencintai wanitanya.
"Pria ini ... membuatku tidak menginginkan apa pun. Asal bersamanya, aku benar-benar tidak butuh hal lain. Tatapannya bahkan lebih tulus dari tatapan Kak Shean." Sebelah tangan Shelena yang tak menahan ciplukan berangsur terarah pada wajah CEO yang masih tertutup kain sutra merah.
“Mendapat perlakuan seperti ini, aku merasa sangat beruntung. Beginikah rasanya diharapkan? Dicintai ...? Salah, jika keadaan ini membuatku ingin lebih lama bahkan bila bisa bersamanya selama-lamanya?” batin Shelena.
Tak lama berselang setelah tangan Shelena berhasil menyentuh hidung CEO, tiba-tiba saja, angin kencang kembali berembus di tengah suasana gelap yang mulai menyapa. Sontak, belajar dari kejadian sebelumnya di mana Shelena hilang terbawa angin kencang, CEO langsung mendekap tubuh Shelena dengan sangat erat.
“Aku mohon jangan pergi lagi. Jangan pergi dan tetaplah di sini menjadi ratuku!” racau CEO.
Semakin lama, tubuh Shelena terasa semakin lemas. Pun dengan pandangannya yang berangsur menggelap, hingga akhirnya tak ada sedikit pun bayangan yang bisa ia tangkap. Namun, sayup-sayup suara CEO yang terdengar menangisinya juga masih mengiang-ngiang di telinganya.
CEO begitu tulus mengharapkannya sekalipun pria yang memiliki rupa nyaris sama dengan Dharen itu justru menepis anggapannya. Pria itu bukan Dharen. Pria itu bernama CEO dan mengaku mendapatkan nama tersebut lantaran garis kehidupannya memang sudah ditakdirkan menjadi pemimpin besar.
***