Episode 6 : Kembali Bertemu

1933 Words
“Karena kamu kembali datang kepadaku, mulai sekarang kamu adalah milikku. Jadilah ratuku dan hiduplah abadi bersamaku!” Episode 6 : Kembali Bertemu “Jaga sikap kalian. Tuan Shean ini kakak dari Shelena. Dengan kata lain, beliau akan menjadi kakak ipar saya,” tegas Dharen sambil tersenyum sarkastis. Keenam ajudan Dharen sontak mundur menjauhi Shean. Mereka memberikan jalan untuk Dharen. Kini, posisi Dharen dan Shean kembali berhadapan lurus di mana keduanya kompak bertatapan sengit. Bedanya, ketika raut berikut tatapan Shean dipenuhi amarah kebencian, Dharen justru seolah sengaja mengejek melalui senyum sarkastis berikut tatapan sinisnya. Apa yang Dharen lakukan semakin membuat kebencian Shean bertambah. Apalagi, cara arogan Dharen juga terang-terangan melayangkan perang. Bagi Shean, jika Dharen memang menghormatinya sebagai kakak Shelena, seharusnya tidak ada tatapan sinis apalagi senyum sarkastis layaknya sekarang. Lantas, apa maksud Dharen yang terkesan sengaja pamer menanamkan kebencian kepadanya? Shean sampai menjadi berpikir kalau Dharen memang memiliki kepentingan bahkan dendam pribadi padanya. “Hentikan semuanya!” ucap Shean penuh penekanan. Dharen memasang ekspresi bingung. Ekspresi yang terlihat hanya dibuat-buat. Kemudian pria berparas dingin itu mengerling sambil menghiasi wajah tampan yang begitu sarat kelicikan, dengan ekspresi bodoh. “Lepaskan Shelena!” lanjut Shean. Dharen pura-pura terkesiap dan sampai mengangkat dagunya. “Kenapa Kakak berkata seperti itu? Apa yang salah dengan kami? Aku sangat mencintainya dan kami saling mencintai,” ucapnya meyakinkan lengkap dengan ekspresinya yang menjadi memelas. Bersamaan dengan itu, di tempat berbeda, Shelena yang baru meninggalkan kamar Shean mendadak terkesiap sekaligus bergidik ngeri lantaran buku usang Pernikahan Tuan Putri Rosella yang ada dalam dekapannya kembali terasa panas dan bergetar-getar. Cahaya yang begitu silau juga kembali terpancar dan begitu mengganggu pandangan Shelena hingga gadis itu terpaksa menjatuhkan buku tersebut. Shelena mundur menatap cemas kenyataan aneh yang kembali menimpanya terlebih suasana di sana juga menjadi cukup menggelitik. Angin kencang mendadak berembus dan sampai disertai gemuruh. Seperti suasana alam bebas ketika ia menikmati matahari terbenam bersama pria berambut keemasan. Sedangkan derit suara ayunan yang tak kalah memekik pendengarannya merupakan suara lampu hias gantung yang berada persis di atasnya, dan kali ini sampai terayun. Semakin lama, ayunan lampu hias gantung makin tak terkendali hingga akhirnya lampu hias tersebut terlepas dari porosnya, tetapi Shelena yang persis di bawahnya hanya bergeming menatapnya. Ketika lampu tersebut semakin dekat nyaris menyentuh pelupuk mata Shelena, jerit histeris pelayan-pelayan di sana juga tak kalah memekak seiring pandangan Shelena yang detik itu juga menjadi gelap. Pyaaar! “Nona Shelena ...!” teriak Ratri yang memelotot ketakutan. Ia menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, lampu hias gantung yang begitu besar itu menimpa tubuh Shelena dalam sekali entak! *** Shean baru saja melangkah mendekati Dharen, ketika ponselnya tiba-tiba dihiasi dering tanda panggilan masuk, dan itu merupakan ponsel pribadi yang ia khususkan untuk Shelena. Walau Shelena memang tidak diperbolehkan mengenakan gawai termasuk ponsel oleh Roy, tetapi orang rumah akan langsung menghubunginya bila sesuatu yang mendesak sampai menimpa Shelena. Menyadari kecemasan mencekam Shean, Dharen pun menepisnya dengan santai, memberikan kesempatan pada pria bertubuh tegap di hadapannya. Dharen memilih mengamati asal suasana lantai berikut sekitarnya. “Iya, Ratri, ada apa?” Setelah berucap demikian, Dharen mendapati keterkejutan luar biasa di mana tak lama setelah itu, Shean juga langsung berlari meninggalkannya tanpa melanjutkan perdebatan terlebih pamit sekadar untuk basa-basi. “Keluarga ini benar-benar nggak tahu diri. Kita lihat saja apa yang akan terjadi pada kalian, setelah aku mendapatkan Shelena dan perlahan menghabisinya!” gumam Dharen seiring kedua tangannya yang mengepal kencang. *** Tubuh Shelena seolah diseret memasuki lorong waktu hingga akhirnya ia terjatuh dan terkapar di tempat asing. Suasana rindang berkabut dengan udara sejuk dari pepohonan yang cukup basah. Suasana yang sedang sangat Shelena rindukan, meski jauh di lubuk hatinya, ia masih tidak yakin, apakah suasana itu nyata, atau delusi semata? Bukankah hal terakhir yang ia ingat, ia baru saja kejatuhan lampu hias berukuran besar di lantai keberadaan kamarnya, setelah buku pemberian Shean kembali mengalami kejadian aneh? Akan tetapi, suara tawa pria yang terdengar begitu jelas membuat Shelena kalang kabut. Meski tubuhnya terasa begitu remuk setelah tiba-tiba terjatuh dan terkapar, sedangkan ia menyadari hanya mengenakan baju handuk, tawa para pria yang begitu memekik dan terdengar semakin dekat itu membuatnya terjaga. Susah payah Shelena mengerahkan tenaganya untuk bangkit sambil menatap bingung sekelompok pria di hadapannya yang langsung membuatnya teringat pada sosok Dharen atas kepala mereka yang sama-sama berwarna keemasan. Kenapa semua pria di hadapannya berambut keemasan? Apakah mereka hobi atau justru diwajibkan mewarnai rambut menjadi keemasan? “Si rambut hitam!” “Kenapa orang berambut hitam berani ke sini?” “Demi langit dan seisinya dia sangat cantik!” “Biarkan aku mendapatkannya lebih dulu!” Bincang beberapa dari mereka dengan berbisik-bisik sambil menatap aneh Shelena. Tatapan aneh yang berubah menjadi nakal, menelisik penampilan Shelena dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Hai cantik? Berani benar kamu ke sini dengan pakaian yang aduhai!” goda salah satu dari mereka. Shelena refleks menyilangkan tangannya di d**a. Ia memang mengenakan baju handuk, tetapi masih bisa menutupi tubuhnya lantaran selain berlengan panjang, baju handuk yang ia kenakan juga nyaris menutupi mata kaki. Kendati demikian, Shelena refleks mundur sambil menatap cemas pria-pria di hadapannya yang juga terus mendekatinya. Ketika pria yang sempat melayangkan godaan melalui kata-kata dan berdiri paling depan memberi kode mata pada teman-temannya, seketika itu pula mereka berlari menyerbu Shelena. Mereka tak beda dengan binatang buas yang akan langsung menerkam mangsanya hidup-hidup. “Apa yang kalian lakukan? Jangan menggangguku! Aku tidak punya urusan dengan kalian!” Shelena terus berlari menelusuri setapak jalan menuju ujung yang dihiasi sorot warna jingga. Sayangnya, kekuatannya tak seberapa, hingga ketika salah satu dari mereka berhasil menangkap tangannya, ia tak segan menarik pedang pria tersebut, kemudian menggunakannya dengan membabi-buta. Dan anehnya, Shelena yang selama ini tidak pernah belajar bela diri, dengan cekatan bisa melakukan banyak gerakan perang bahkan melayang di udara kemudian menghabisi semua pria yang jumlahnya ada lima belas orang itu. Di mana setelah semua itu selesai, Shelena baru menyadari ulahnya menghabisi lima belas pria berambut keemasan dengan sangat dingin, membuatnya menjadi mandi darah segar. Tak hanya tangan, kaki, berikut wajahnya yang menjadi dihiasi darah segar, karena pakaian berbahan cotton berwarna putihnya juga sudah tak berupa. Benar-benar penuh bercak darah! Kejadian mengerikan itu sangat membuat Shelena ketakutan. Gadis itu terduduk berpegangan pada pedang bergelepot darah, sambil tersedu-sedu di tengah tubuhnya yang sampai gemetaran. “Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Apakah aku telah melakukan kesalahan fatal? Aku yakin ini bukan duniaku. Ini dunia asing. Pun meski karena dunia ini, aku juga mengenal Dharen ....” Tuhan, begitu sulit kehidupan yang harus kujalani. Setelah terlahir tanpa diharapkan bahkan untuk bergerak saja benar-benar terbatas, sekarang aku juga harus mengalami banyak kejadian aneh. *** “Aku percaya, takdir akan membawaku pada kenyataan. Bukan harapan yang lebih sering membawa pada kekecewaan.” “Jika gadis itu memang jodohku, dia pasti akan kembali dan hidup bersamaku, selamanya.” Pria berambut keemasan itu menatap kosong hamparan jingga pekat pertemuan senja dan matahari yang tenggelam di ufuk barat, dari hamparan gersang. Terhitung, sudah tiga bulan ia menghabiskan waktunya di sana seorang diri lengkap dengan kain sutra berwarna merah yang menutupi kepala juga sebagian wajahnya. Bersama Ciko kuda hitamnya, ia menunggu gadis berambut panjang berwarna hitam yang tiga bulan lalu sempat ia temukan sedang dikejar-kejar saudagar tua berikut pasukannya. Gadis nan cantik yang langsung mencuri perhatian sekaligus hatinya, tetapi dalam waktu sekejap, gadis itu menghilang bersama angin kencang yang tiba-tiba datang. Namun sebelum menghilang, gadis yang belum ia ketahui asal-usul bahkan sekadar namanya itu sempat ketakutan mengeluhkan perihal Dharen sesaat setelah ia menceritakan perihal saudagar yang mengejar, kepada gadis tersebut. “Dharen ...? Apakah dia seseorang yang begitu menakutkan, hingga membuatnya ketakutan? Atau, ... Dharen merupakan sosok yang memiliki kekuatan dahsyat dan bisa membuat gadis itu menghilang, karena setelah nama itu disebut, angin kencang langsung memorak-porandakan suasana sekitar?” CEO selaku pria berambut keemasan itu tertunduk sedih. Dewa, tolong kembalikan dia kepadaku. Aku mencintainya, dan waktuku hanya dipenuhi olehnya. Jika memang dia juga mencintaiku, tolong jodohkan kami. Dengan segenap yang kumiliki, aku akan selalu melindungi sekaligus memberikan yang terbaik untuknya. Tak lama setelah itu, derap suara kuda terdengar mendekat. CEO langsung terjaga dan memastikannya ke sumber suara. Di depan sana, dari rindang hutan, kaki kuda yang melangkah cepat mulai terlihat mendekat. CEO segera meraih gagang pedangnya dan terjaga terlebih si penunggang kuda juga sampai menutup kepala berikut sebagian wajahnya menggunakan kain. Hanya saja, ketika jarak mereka semakin dekat sedangkan tatapan mereka bertemu, tiba-tiba saja, CEO merasakan gejolak yang begitu hebat di hatinya. Mata besar berwarna hitam selaku penunggang kuda itu begitu memikatnya, sampai-sampai, ia terpaksa menarik pedangnya untuk menghentikan penunggang kuda itu yang nyaris melewatinya begitu saja. Namun siapa sangka, ternyata sosok tersebut juga balik menarik pedang dan menodongnya dengan pedang yang bergelepot darah segar. CEO bergeming menatap pedang yang berada tepat di sebelah lehernya. Dan lantaran penunggang kuda tersebut tak lantas melakukan tindakan lanjutan, dengan gejolak yang semakin tak terkendali di hatinya yang juga menjadi berbunga-bunga, CEO segera menengadah kemudian menarik kain sutra merah yang menutupi kepala berikut sebagian wajahnya. “Apakah kamu tidak mengingatku?” tanya CEO penuh harap sekaligus sarat kesedihan. “Bahkan aku selalu merindukanmu. Itu mengapa aku ada di sini. Bukankah kamu bilang, tempat ini sangat indah?” Untuk beberapa saat, pedang yang berada di sebelah leher CEO menjadi gemetaran. Namun sekejap kemudian, pedang itu justru ditarik dan siap dihantamkan. CEO terpejam. “Lakukanlah. Kau berhak melakukannya karena saat itu, aku tidak bisa melindungimu, padahal jelas-jelas, aku mencintaimu. Aku, ya ... meski terkesan aneh, tetapi aku memang sudah mencintaimu semenjak awal aku melihat matamu.” “Serahkan pedangmu. Semua senjatamu!” ucap penunggang kuda itu yang langsung membuat CEO refleks tersenyum. Suara wanita yang sedang sangat ia rindukan! Dengan senang hati, CEO menyerahkan pedang berikut belati yang terselip di depan perutnya. Ia meletakan kedua senjata berharga itu di depan kuda si pengancam, kemudian kembali sembari mengangkat kedua tangannya. “Apa lagi yang kamu minta?” tanya CEO terdengar tulus. “Katakan padaku, sebenarnya kamu siapa dan katakanlah sejujur-jujurnya!” CEO mesem. “Namaku CEO. Raja Jupiterius memberikan nama itu kepadaku karena aku memiliki garis takdir menjadi seorang pemimpin besar di masa apa pun.” “Apa maksudmu dengan Raja Jupiterius? Bukankah ini Indonesia? Memangnya, di Indonesia ada Raja Jupiterius?” tanya si penunggang kuda. CEO tak langsung menjawab. Yang ada, ia menengadah dan menatap lama manik mata di hadapannya, di mana sekejap kemudian, ia berhasil menarik sebelah tangan penunggang itu, sesaat setelah sampai membuat pedang yang ditodongkan padanya juga ikut terjatuh. Setelah penunggang kuda itu berhasil ia dekap, ia segera menarik penutup wajahnya. Benar saja, dugaannya tidak salah. Shelena terkesiap di tengah degup jantungnya yang menjadi begitu kacau. Entah kenapa, berhadapan dengan Dharen berambut emas dan justru mengenalkan diri sebagai CEO, sangat membuatnya gugup sekaligus tegang, dan ia belum pernah sekacau sekarang. Pun ketika ia harus menghadapi Shean yang sangat ia cintai. “Aku benar-benar bersyukur karena akhirnya, kamu selamat dan aku juga masih bisa melihatmu dengan jarak sedekat ini,” ucap CEO. Sedekat ini? Iya ... jarak kami sangat dekat. Hanya wajah kami saja yang tidak menempel, tetapi jaraknya hanya hitungan senti tak kurang dari setengah jengkal. Dan kenapa juga kami harus sedekat ini? Shelena semakin ditikam rasa tegang. “Karena kamu kembali datang kepadaku, mulai sekarang kamu adalah milikku. Jadilah ratuku dan hiduplah abadi bersamaku!” ucap CEO penuh cinta. “A-apa, maksudmu? A-aku hanya ingin pulang! Kalau kamu memang bukan Dharen yang kukenal, berarti lebih baik kita memang tidak kenal!” sergah Shelena, tetapi pria yang mengaku bernama CEO itu tak mengindahkannya. CEO mendudukkan Shelena di atas Ciko, kemudian memungut pedang berikut belatinya. Ketika ia akan menunggangi Ciko, ia menutup sebagian wajah Shelena. “Untuk sementara, jangan sampai ada yang melihat kepala dan wajahmu kecuali aku,” ucap CEO. “Memangnya kenapa?” Shelena kebingungan. Ia menoleh dan menengadah lantaran CEO sudah duduk di belakangnya. CEO mulai menarik kaitan kudanya. “Aku akan mengatakannya kepadamu setelah kita sampai,” ucapnya. “S-sampai? Memangnya kita mau ke mana?” Shelena kian bertanya-tanya terlebih CEO sama sekali tidak memberinya penjelasan lanjutan. Apakah dia akan mengantarku pulang? CEO memacu kudanya dengan sangat serius. Bertemu Dharen ataupun CEO layaknya sekarang, membuat Shelena senam jantung. Baginya, pria yang sekarang ada di belakangnya sangat keren. Pun meski hingga detik ini, justru semakin banyak hal yang tidak bisa Shelena mengerti, termasuk mengenai ia yang tiba-tiba saja jago bela diri. Mengenai pulang, haruskah Shelena pulang sementara di sini, ia merasa sangat nyaman bahkan bisa merasakan alam bebas? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD