Perempuan Itu

1358 Words
"Goedemorgen, mama!" Ia tersenyum tipis. Anak gadis kecilnya sudah bangun. Bisa beranjak sendiri dari atas tempat tidur. Ia tak rewel sama sekali. "Sudah cuci muka dan sikat gigi?" "Tentu sudah!" Ia terkekeh. Sungguh anak yang ceria seperti dirinya. "Kalau mama tinggal untuk bekerja, kamu akan baik-baik saja?" "I'm okay. Ada bibi Berta kan?" "Good job, my sweety!" Ia nyengir. Bibirnya dilingkari s**u. Yeah yang menempel di gelas. Karena baru saja ia teguk dari sana. Ia membantu membersihkan mulutnya. Kemudian menyimaknya sarapan. Walau kemudian ditegur anaknya untuk makan juga. Ini sebenarnya sudah agak siang. Ya sekitar jam 9 pagi. Ia bisa terlambat menuju kantor. Namun masih menyempatkan diri untuk menunggu pengasuh anaknya datang. "Oh...maaf...maaf. Aku membuatmu terlambat ke kantor!" "Tak apa, bibi Berta. Ana, mama berangkat dulu oke?" Anaknya mengangguk. Tentu pelukan dan saling mencium pipi. Setelah itu ibunya berangkat. Si gadis kecil itu melambaikan tangan di teras rumah. Rumah kecil di komplek perumahan yang cukup padat di Kota Berlin. Ia berjalan kaki menuju halte. Jaraknya mungkin sekitar sekitar 500 meter. Ya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di sana. Kemudian menunggu bus. Ia tak berhenti melihat jam tangannya karena sudah jelas terlambat. Kemudian menghembuskan nafas lega begitu bus yang ditunggu datang. Perhentiannya tak akan jauh. Butuh sekitar 15 menit perjalanan untuk tiba di halte terdekat kantornya. Bu Grace mencarimu! Itu temannya. Ia tentu panik. Tolong beritahu kalau aku sakit perut pleaseeee! Walau ini alasan yang mengada-ada. Jujur saja, perempuan dengan anak itu susah bekerja di sini. Karena mereka perlu yang sat-set. Sementara ia kan tidak bisa. Dan lagi, ia tak bisa hidup seterusnya dengan mengandalkan uang tabungan dari hasil jualan properti kan? Ia harus menghidupi anaknya dan di kantor itu lah ia berhasil mendapatkan pekerjaan. Sudah berjalan berapa tahun? Bukan berapa tahun, tapi beberapa bulan. Baru sekitar 6 bulan sepertinya. Uang masih ada, rapi harus ia hemat. Ia datang jauh ke sini untuk melupakan segala yang pernah terjadi. Dia sepertinya tahu kalau kamu berbohong Ia meringis. Beruntung sudah tiba tepat di halte yang tak begitu jauh dari kantornya. Ia buru-buru turun dengan membawa banyak barang tentunya. Ada beberapa dokumen yang ia bawa pulang dari kantor. Lebih mudah kalau ia kerjalan di rumah alih-alih di kantor. Kemudian berlarian sekencang mungkin. Butuh sekitar 2 menit lah untuk memasuki pintu kantornya. Hingga ketika hampir sampai.... "Aa-aaawww!" Ia meringis. Karena kaki kirinya tertekuk. Mungkin karena heels yang begitu tinggi? Ah entah lah. Yang jelas, ia benar-benar terburu-buru. Jadi tak ada waktu untuk mengeluh. Ia masih memaksakan diri untuk berlari walau ya lama-lama makin terasa sakit. Sialnya, ia malah tersandung... BUUUKKK! Menghantam orang yang baru saja hendak masuk area lobi. Ia meringis karena jatuh terjerembab begitu. "Entschuldigen Sie bitte meine fehler!" Entah siapa pun itu, ia memohon maaf. Kemudian berusaha untuk beranjak duduk dan mengambil barang-barangnya yang berjatuhan. Ini hanya map-mapnya yang jatuh. Kertas-kertasnya tentu saja aman di dalam map itu. Ia masih sibuk dengan barang-barang itu hingga kemudian berdiri dan akhirnya menyadari kalau orang yang ia tabrak tampak menatapnya sedari tadi. Tampak terkejut sekali malah. Bahkan ia jauh lebih terkejut hingga memundurkan langkahnya, tapi sialnya heels-nya nyangkut di alas kaki dan akhirnya hampir terjatuh ke belakang andai cowok itu tak menahan tubuhnya. Ia jelas saja terpaku. Syok dan jantungnya oh Tuhan...tidak terselamatkan! "Thank you!" Mau tak mau ia tentu mengucapkan terima kasih bukan? Dan baru teringat kalau ia terburu-buru, maka ia segera berlari melewati gedung yang hendak dimasuki cowok itu. Karena kantornya bukan di sana. Kantornya tepat di sebelahnya. Yeah di bank lebih tepatnya. Namun tentu saja cowok itu terus menatapnya kan? Karena wajahnya sungguh familiar. Walau cowok itu tak yakin-yakin amat. Ia sudah masuk ke kantornya sendiri. Cukup lega hingga akhirnya bisa duduk walau tak lama sudah dipanggil oleh bu Grace. Seperti biasa, ia adalah orang yang amat rutin dimarahi bukan? Lalu siapa cowok tadi? Tentu saja Adrian. Ia menghapus pikirannya sejenak tentang tragedi yang tak disengaja tadi. Kemudian buru-buru berjalan menuju ruangannya. Tentu saja ia punya ruangan. Ia menghadiri rapat. Kemudian keluar bersama karyawan untuk meninjau pabrik. Setelah itu menyempatkan diri bertemu para petinggi yang berkantor di pabrik. Tentu mengobrol persoalan penting perusahaan abinya. Selanjutnya ya kembali ke kantor yang di dekat ruko-ruko ini untuk makan siang. "Saya dapat yang halal, bos!" "Bukan daging babi lagi kan?" Ia nyengir. Maklum, ia kan perdana keluar negeri. Ia memang sekretaris barunya Adrian. Memang agak-agak ceroboh sih. Tapi Adrian senang karena ia rajin. Dan lagi, Cassie yang memilih untuknya. Katanya.... "Sama Ega aja." "Kenapa?" "Dia lucu. Biar hidup kamu jadi makin berwarna." "Maksud kamu, aku terlalu monoton?" Cassie terbahak kala itu. Hal yang seketika menyadarkan Adrian. Ia terlalu larut dalam setiap lamunannya tentang Cassie. Bahkan tak bisa menghentikan matanya yang berkaca-kaca karena perempuan itu. "Jangan nangis, bos. Gak pedas kan?" Ia terkekeh. Sepertinya Cassie benar. Mungkin Ega datang memang untuk menghiburnya. Walau kadang ia seringkali marah-marah. Ya tadi kan kurang cekatan. Meski baru dua tahunan bekerja dengannya. Namun rajinnya memang perlu ia apresiasi. Eh tapi tadi kan ia terlambat ya? Nah ceritanya, ia kelelahan. Karena semalam kan mencari Adrian. Begitu kembali ke hotel, ia dapat kabar kalau Adrian baru saja kembali ke kamar. Baru deh ia agak tenang. Maklum, ia terus teringat hari terakhir ketika bertemu Cassie. Gadis itu mengatakan.... "Titip Adrian ya, Ga! Jagain dia loh. Biar pun berotot gitu, dia paling lupa jaga kesehatannya." Ia masih ingat persis. Dan kalau sudah ingat Cassie ya dampaknya seperti Adrian. Mendadak jadi sedih. "Kemarin ibu bos menelepon saya. Ibu Airin kan ke kantor dan lihat masih ada barang-barang non Cassie. Jadi mau--" "Gak lo bilang untuk dipindahkan?" Ega menggeleng. Tentu tidak. Ia tahu kalau Adrian masih ingin menyimpannya. Ada banyak barang Cassie yang diangkut ke ruangan tidurnya di kantor. Airin datang karena tahu kalau Adrian ada di Jerman. Ya cuma mau memastikan saja sih. Eh ternyata masih belum ada yang berubah dari anaknya. Ya masih galau soal Cassie lah. "Gue gak mau ada satu orang pun yang pindahin barang-barang itu." Masalahnya sampai numpuk dalam satu lemari. Ia yang jadi pusing. Lemari kan tempat untuk menaruh baju. Ya kan? Tapi ah sudah lah. Ia juga tak akan bisa adu debat dengan Adrian. Bosnya sedang dalam masa sulit. Akhirnya mereka hanya diam sampai selesai makan siang lalu kembali bekerja. Begitu selesai sekitar jam tiga sore..... "Lo duluan aja." "Yakin nih, bos?" "Gue gak akan nyasar. Justru gue yang khawatir sama lo!" Ega terbahak. Ya sih. Ia bahkan nyasar kok tadi pagi. Gak tahu pintu keluarnya yang mana. Padahal apa susahnya sih naik lift? Malah turun tangga. Kan repot ya? "Kalau begitu, saya duluan, bos!" Ia memberi hormat sebelum membalik badan. Adrian hanya mengangguk. Ada yang hendak ia pastikan lagi. Makanya ia belum pulang. Ia biarkan Ega yang pulang lebih dulu. Kemudian ia keluar dari gedungnya. Berjalan menuju bank yang tak begitu jauh. Sempat mencoba mengintip, tapi tentu saja sulit. "Maaf, sudah tutup." Ia mengangguk. Ia tahu. Tapi ia yakin kalau karyawannya belum pulang. Karena kan harus mengurus banyak pekerjaan. Ia berjalan agak sedikit jauh untuk duduk. Tentu saja menunggu. Ia hanya ingin memastikan kalau ia tak salah lihat. Meski cuacanya makin terasa dingin. Ia berusaha menahannya dengan memakai sarung tangan. Kemudian melirik kafe yang letaknya tak begitu jauh. Berjalan ke sana untuk memesan cokelat hangat dan kembali berjalan menuju bangku panjang tadi. Ia duduk dan terus menatap ke arah bank sambil sesekali menatap jam tangannya. Tak terasa waktu berjalan cukup cepat. Cokelat hangat habis. Mana makin dingin dan sudah berlalu sekitar satu jam. Namun belum ada satu pun yang keluar dari bank itu. Ingin rasanya pulang untuk mengambil mantel yang lebih tebal, tapi takut orang itu keburu pergi dan menghilang. Karena kesempatan belum tentu datang lagi walau ia tahu orang itu masuk ke bank. Eh tapi sebentar. Bagaimana kalau ternyata ia tak bekerja di sana dan hanya sebagai nasabah yang kebetulan harus datang ke bank? Ia mematung. Bodoh juga. Hahaha. Ya baru memyadari hal itu. Tapi ia tepis pikiran itu. Masih berusaha berpikir positif hingga pikiran positif itu benar-benar membawa berkah baginya. Kenapa? Karena perempuan itu akhirnya keluar. Walau ia harus menunggu selama hampir dua jam! @@@ Catatan: Goedemorgen : selamat pagi Entschuldigen Sie bitte meine fehler : mohon maafkan saya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD