Tragedi Kecelakaan

1352 Words
"Dadaaah ontyyyy!" Ia terkekeh. Ia melambaikan tangan ke arah keponakannya yang lucu. Ya anaknya Adeeva. Ia sengaja mampir sebelum ia pergi ke rumah sakit. Kalau lama tak bertemu ya begini. Ia datangi rumah mereka satu per satu. Ia terhenyak sebentar melihat hijab yang dikenakan oleh adik bungsunya itu. Ya Adeeva sudah berhijab. Adel juga. Yang belum di rumah itu ya hanya ia. Mungkin juga istrinya ak Ali? Karena sisanya sudah berhijab. Ia sebelumnya, tak terpikir soal ini sih. Gak tahu juga kenapa pemikiran semacam ini muncul begitu saja. Mungkin karena hampir semua keluarga besarnya berhijab? Terlebih umminya memang sangat agamis. Ya jika dibandingkan dengannya. Kadang di akun media sosialnya, banyak kok yang mulai menyuruhnya untuk berhijab. Tapi masih ia abaikan. Karena ya entah lah. Mungkin belum terbiasa? Kini ia baru membelokan mobilnya menuju rumah sakit omnya yang ada di Jakarta Pusat. Karena jadwalnya hari ini ada di sana. Ini pagi yang cukup lengang karena sudah jam 10 pagi. Jadi tak terlalu macet. Jam ganjil-genap juga sudah berakhir. Akan dimulai lagi sore nanti. Ia melaju dengan santai. Amat santai hingga tak lama, dari sebelah kanannya, ada metro mini tampak menyalip dan melaju kencang. Ia tentu langsung menurunkan kecepatannya dengan pelan. Walau tak lama.... "WOOOOII!" Ada yang berteriak dari arah belakangnya. Ya belakang mobilnya. Ia melihat ke arah spion dan cukup terkaget melihat ada lelaki yang berdiri di pintu terbuka metro mini belakang itu mengacungkan parit. Bahkan hendak menyalip mobilnya juga. Entah untuk apa, yang jelas ia gugup setengah mati. Agak-agak trauma dengan kejadian semacam ini. Karena ia pernah hampir mati dalam sebuah kecelakaan. Meski begitu baiknya Allah menolong hidupnya. Ia masih ingat jelas hari itu. Hari di mana ia terus berada di rumah sakit. Bahkan menginap selama tuga hari berturut-turut kala itu. Kapan terjadi? Suatu hari di sepuluh tahun lalu. Ia sempat mandi dulu sebelum pulang. Walau memang tak mengurangi rasa kantuknya. Tapi setidaknya, otaknya cukup segar. Ia sempat berpapasan dengan Aliando ketika hendak berjalan menuju parkiran kala itu. Ya berpamitan santai tanpa firasat apapun. "Oke, hati-hati ya, Shil." Itu pesan terakhir dari Ali kala itu. Kemudian ya masuk ke dalam mobil. Kemudian mengemudikannya seperti biasa. Memang kejadiannya tak sama persis. Tapi salip menyalip baginya tetap mengerikan. Hari itu, matanya memang agak mengantuk. Meski sudah mandi, nyatanya tak membantu sama sekali. Ia bahkan tak menyadari ketika ada mobik dari arah berlawanan yang bahkan menyambar jalannya. Ya di dekat sisi jalannya karena memang tak ada pembatas jalan. Ah itu terjadi di jalanan yang ia lewati setiap hari. Walau ya setekah kejadian itu, dibuat pembatas jalan. Parahnya waktu itu karena ia mengantuk, ia tak sadar kalau sudah membuat mobilnya oleng ke sisi kanan jalan. Tahu-tahu begitu terbangun, ia sudah berada di rumah sakit. Apa yang terjadi kala itu? Saat itu, mobilnya terus oleng ke kanan. Sementara ada mobil lain di belakangnya yang menabraknya sedikit untuk membuatnya oleng ke kiri. Lalu? Bruuukkkk! Ia terkaget. Mobilnya baru saja ditabrak dari belakang. Ia berdesis karena sakit yang terasa ke leher. Tak lama, ada orang yang mengetuk pintu mobilnya. Yeah yang menabrak. Ia masih meringis karena menahan sakit. Begitu menoleh ke kanan....ia terpaku. Ada apa? Kak Tsabit. Ia menoleh ke belakang. Ya memang mobil lelaki itu yang tampaknya menabraknya. Mau tak mau, ia membuka pintu mobilnya dan tadaaa.....cowok itu lebih terkejut lagi. Wajahnya terlihat lelah. Shilla bisa menebak kalau ia yang mengantuk pagi ini bukan Shilla. "O-oh....sorry, Shil. Are you okay?" "Gak apa-apa kok, kak." Cuma sakit sedikit karena keningnya terpentuk dan ya lehernya sejujurnya agak sakit, tapi ia bisa menahannya. "Sorry ya? Yang belakang rusak, aku ganti nanti. Minta nomor kamu." Ia menggeleng. "Gak perlu. Gak apa-apa. Lecet dikit." Ya tak apa lah. Ia tak mau merepotkan Tsabit. Cowok itu mengangguk kemudian berpamitan darinya. Sementara Shilla kembali masuk ke dalam mobil. Ia tampak termenung. Kaget dengan pertemuan barusan. Wakau tentu saja tak sengaja. Terakhir kali bertemu Tsabit itu kapan? Ia bahkan sudah lupa. Bertahun-tahun kali ya? Lima tahun? Ya sepertinya. Hari terakhir bertemu mungkin hari-hari setekah ia menolak lelaki itu untuk ke sekian kalinya. Karena lelaki itu terus menagih alasan kenapa Shilla tak bisa menerimanya? Padahal ia ingin serius. Ia ingin menikah dengan Shilla. "Justru karena itu. Karena kakak ngajak serius, aku gak mau. Aku gak bisa. Aku gak bisa membayangkan hidup dengan orang yang aku gak bisa cintai. Mungkin kelihatan klise. Tapi gimana aku bisa ikhlas dan berbakti dengannya jika aku saja tak tertarik sedikit pun padanya? Kakak tidak jelek. Kakak terbaik. Kakak baik banget sama aku. Hanya saja....bukan aku orangnya." Ya bukan ia orangnya. Sesimpel itu jawabannya kan? Hal yang tentu saja membuat Tsabit sedih. Meski akhirnya, ia menikah dua tahun setelah ditolak. Bukan kah itu cepat? Ya. Pernikahan itu bahkan sudah berjalan selama tiga tahun. Namun..... "Benar bini lo....." Itu temannya. Ia memang mengantuk. Ingin pulang. Mendadak melek begitu tak sengaja menabrak Shilla. Kini rasa kantuknya hilang sempurna. Bukan karena Shilla, tapi kabar berita yang dibawa oleh temannya. Teman yang ia beri tugas khusus. "Sama cowok yang sama?" "Ya. Brondong yang itu." Ia menghela nafas. "Thanks." Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Penyesalan pasti ada. Apalagi kalau salah pilih pasangan bukan? Sementara itu, Shilla baru saja membelokan mobilnya. Tsabit yang memang terus berada di belakangnya tentu tahu ke mana ia berhenti. Kalau Shilla berbelok ke sana artinya ia bekerja di sana. Ia tentu tahu kalau itu adalah rumah sakit milik omnya. Wakau direkturnya sudah dipegang a'aknya tertuanya, Agha. Ia keluar dari mobil. Rasanya lehernya agak sakit. Jadi ia pergi dulu mencari dokter senior yang ia kenal. Makah ditertawak begitu mendengar keluhannya. "Ini namanya terkilir, Shil!" Ya bodo amat sama namanya. Ia ingin segera disembuhkan karena rasanya tak nyaman. Dan hanya buruh waktu sepersekian detik bagi si dokter untuk meluruskan lagi lehernya. Ia jelas syok karena lehernya terasa seperti dipatahkan. Hahaha. Bahkan ada bunyinya tadi. "Beneran ini gak apa-apa, dok?" Si dokter terkekeh. "Gak apa-apa. Udah sana. Jadwal kamu pasti penuh." Ia berterima kasih. Beliau itu ya dokter senior yang sudah seperti ayah kandung. Yeah beliau itu mantan dosen pembimbingnya. Hahaha. Ia juga yang mengajaknya untuk bekerja di sini. Ia tentu kembali sibuk dengan urusan pekerjaannya. Ya mengisi jadwal praktik selama empat jam penuh tanpa henti. Yang agak mengherankan baginya hari ini adalah entah kenapa yang datang menjadi pasiennya hari ini berhijab semua. Bahkan sekalipun pasiennya adalah anak kecil. Hal yang tentu saja membuatnya tertegun. Masih sekecil itu sudah mau dipakaikan kerudung. Berbanding terbalik dengannya bukan? Meski tentu saja belum benar-benar menguatkan dirinya untuk berhijab hingga esok malam ketika ia pulang dari rumah sakit di Jakarta Selatan, ia merinding ketika dari kejauhan melihat ada truk adu banteng. Entah bagaimana ceritanya bisa keluar jalur. Ia juga melihat darah hingga mayat yang masih tergeletak di atas jalan raya. Syok? Banget lah. Meski itu pemandangan biasa di rumah sakit. Tapi melihat tubuh hancur seperti itu sangat mengerikan. Ini juga yang membuatnya tak kuat kalau harus mengambil spesialis forensik. Panjang urusannya bukan? Ia tak tahu kenapa adiknya, Adeeva, bisa bentak bekerja sebagai dokter forensik. Padahal ia hanya bertemu mayat. Ya paling sering tentu saja mayat lah. Dan ketika ia melewati jalanan di mana sepuluh tahun lalu ia terlihat kecelakaan, entah kenapa tubuhnya mendadak melayang. Melayang ke waktu itu. Apa yang terjadi? Bukan kah tadi terputus ketika tabrakan kecil terjadi? Mobilnya oleng ke kiri dan menabrak trotoar. Setelahnya, ia tentu tak sadar apapun. Kepalanya bercucuran. Namun ia tak seberapa parah dibandingkan yang di belakangnya bukan? Bahkan ada dua mobil adu banteng. Itu jelas lebih mengerikan. Dan yang terjadi selanjutnya adalah ia terbangun di rumah sakit. Umminya histeris melihatnya. Ia justru bingung. Ia belum tahu saat itu. Bekum tahu kalau ia hampir mati karena benturan di kepalanya. Tahu-tahu ia koma walau hanya dua hari. Hari ketiga, ia terbangun dengan kebingungan. Karena dua hari sebelumnya, ia bukan berada di ruang rawatnya. Ia berada di dekat ruang UGD. Matanya menangkap keberadaan seseorang yang tidak sadarkan diri di atas brankart meski ada dokter yang berusaha memberikannya CPR. Ia histeris melihat orang itu. Ya orang yang sulit ia lupakan. Pasti tahu kan? Tapi anehnya, begitu ia terbangun dan mencoba mencari tahu, Reifan tak ada di rumah sakit itu. Walau ia yakin sudah melihatnya dalam mimpinya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD