Katanya, Kalau Nggak Kejam Bukan Sahabat Namanya

2355 Words
 "Rasain! Hahahaha." Itu adalah respons pertama Aliqa setelah aku menceritakan kejadian semalam. Kejadian laknat dalam hidup. Apa jadinya kalau sampai aku sudah benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya pada Kalingga dan baru mengetahui kalau ia sudah bertunangan? Bencana besar! Sebenarnya, mengingat bagaimana tabiat Aliqa yang nggak ada sopan-sopannya sama aku, malas banget mau berkisah dengannya. Namun, karena semalam aku tidak tahu jam berapa dia pulang, dan ketika aku bangun, yang kutemukan adalah sebelah tangannya melingkar memelukku, terlelap sangat nyaman, aku jadi merasa kalau kami sungguh punya ikatan batin. Gagal jadi Tante yang penuh rahasia. "Gue nggak curiga sama sekali sih, Mbak. Dia yang keren mainnya alus apa kita yang memang belum pinter ya." Aku mendengus. "Gue yang belum pinter. Kalau elo mah udah jelas, bodoh." "Hello? Nggak salaaaaaah?" Aliqa mengangkat kedua tangan dramatis. Kemudian bersandar pada sofa dan menatapku geli. "Pantes aja ya dia tanya-tanya soal kuliah gue. Mungkin gue juga udah dijadiin target. Btw, gimana, Mbak rasanya patah hati bahkan di saat belum memulai apa-apa?" "s****n lo!"           Ia kembali terbahak. "Eyaaaang! Mbak Awa patah hati nih! Eyang nggak mau syukuran?" Dari dapur sana, suara Mama terdengar. "Eyang suka kok dia patah hati. Semalaman udah bersyukur sama Allah." Begini jadinya kalau Mamamu adalah juga teman curhatmu. "Dan, hari ini, Eyang mau syukuran kecil-kecilan." "Ohya?" Obrolan penuh tarik urat. Luar biasa untuk dinikmati di pagi hari. "Ngundang para tetangga dong?" "Siapa bilang?" "Maksudnya, Eyang?" "Sebentar lagi masakan Eyang mateng. Dan, kamu cuma perlu tunggu aja tamu penting untuk merayakan patah hati mbak Awa. Siap, Aliqa say---Itu suara bel! Cepat dibuka pintunya!" Tanpa pikir panjang, si bocah ingusan ini segera berlari ke depan dan ... nggak lama kemudian aku mendengar suara "Selamat pagi!" ya ampun! Kukira siapa yang akan diundang Mama untuk merayakan patah hatiku, ternyata dia! Dia lagi! Dia melulu! Sesering apa sih Gala chat dengan mama?! "Pagi, Sweetie." Senyumannya lebar banget. Sambil melangkah dengan kaki panjang itu, ia mengacak rambutnya yang sepertinya setengah kering. "Belum mandi ya?" Aku memutar bola mata. Sudahlah. Pertama kali responsku kalau bertemu Gala, ya pasti itu. "Harusnya gue yang tanya, kok elo tumben udah mandi? Pake kuning-kuning lagi. Kayak yang lagi seneng banget." "Wezzzzzz iya dong!" Dengan tanpa malu, ia memutar tubuh sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana hitam selututnya. Di sampingku, Aliqa terbahak. "Emang gue lagi seneng banget hari ini." "Kenapa? Lo baru---" "Gue seneng, Wa!" Allahuakbar! Aku nyaris jantungan karena secara tiba-tiba, Gala bergerak cepat dan jongkok di lantai, tepat di depanku duduk. Semenyata Aliqa sudah terbatuk-batuk karena tawanya sendiri. "Bang, jadi cowok gue dong, Bang!"      Yang pasti, itu bukan suaraku. Tidak mungkin aku menawarkan diri semurah itu. Jelas, itu bukan aku. "Cowok lo?" Gala menatap malas Aliqa. "Dih, Al. Gue kalau jadian sama lo, kasian sama elonya sih." "Lah kok?" Senyumnya terbit. Ia bangkit dari lantai, dan dengan kurang ajar, duduk menempel di sampingku. "Elo nggak tau sih ya, gimana cemburuannya mbak Awa. Elo siap dijadiin musuhnya dia?" "Najong lo!" Aku menatapnya ngeri. Gala terbahak, disusul tawa Aliqa yang apa adanya. Aku sih yakin, Aliqa gampang illfeel dengan lelaki modelan Gala. Karena selera dia kan yang diam-diam macam Hattala atau Kal---berhenti, Wa! Buang nama s****n itu! "Halo, Sayaaaang. Calon menantu Tante ganteng sekali." Mari saksikan drama series terbaru dengan judul: 'Mamaku sudah tak sayang aku, melainkan memilih sahabatku'. Dimulai dengan sang tokoh pria utama yang kini bangkit, menyalami calon mertua (katanya) kemudian berpelukan mesra. Dilanjutkan dengan sesi saling tatap penuh senyuman, lalu tangan wanita paruh baya itu mulai merapikan rambut calon menantunya. Ya ya ya, tradisi sejak dahulu kala. Mama bilang, Gala rambutnya suka kayak jarang di sisir, itu kenapa dia merasa gemas. Beralih dari para pemainnya, mari kita fokuskan kamera pada salah satu penonton terbodoh. Lihat baik-baik, yang dilakukan Aliqa kini adalah melongo b**o. Sesaat kemudian, ia tertawa kencang sambil nyeletuk, "Nikahin aja Bang Gala sama Mbak Awa, Eyang! Sekarang!" Dan, tentu saja disambut anggukan semangat dari Mama. Drama hidup begini banget. "Ayo, ayo kita ke meja makan!" Mama menghentikan dramanya sendiri, lalu memimpin kami berjalan ke meja makan. "Sayang, nanti kalau pulang bawa makanan buat Ayah-Bunda ya. Tante sudah masakin juga. Ayahmu di rumah kan?" Kamu jelas tahu, siapa yang diajak ngobrol, siapa yang disiapkan makanannya di atas piring, dan siapa yang minumannya dihidangkan tepat di depan mata. Kamu juga jelas tahu, siapa yang mengambil nasi sendiri, menghiasnya dengan lauk-pauk, dan menyiapkan minuman agar tak berakhir mati kaku di kursi ini. Jawaban yang terakhir adalah: aku dan Aliqa. Uyeyeye! Uyeyeye mampus! "Eh jangan ambil yang itu, Sayang Gala. Itu pedes, buat Aliqa. Nanti perut kamu sakit. Tante udah bikinin udang tumis-manis. Kamu habisin aja nggak apa." Aku dan Aliqa cuma mengunyah makanan sambil menopang dagu, saling lirik dan memainkan sendok. Sementara mama dan Gala? Mana sadar mereka! "Ini bayamnya. Pinter banget sih, suka makan sayur gitu. Pantesan bawaannya semangat, seger dan ganteng." Ohgitu...  baru tahu lho, Maaaaaa. Putar bola mata. "Yang ini sayur apa, Tante?" "Itu bunga kol. Enak lho. Tante campur brokoli. Bukan pakai minyak sayur kok ngosengnya. Dijamin sehat." "Kalau ini?" "Oh ini bukan ranahmu, Sayang. Ini sambal bawang kesukaan Tante. Jangan ikut-ikutan yaa. Tante inget dulu kamu nangis kejer waktu Awa iseng masukin lima sendok sambal ke baksomu. Kalau sampai kamu---" Aha! Terserah mereka mau ngobrolin apa. Yang pasti, sekarang aku punya ide brilian. Kalau dulu, aku bisa mengerjainya, kenapa sekarang tidak, kan? Thanks, Mama, sudah memberi inspirasi. Dengan pelan dan penuh usaha, aku memberi Aliqa bahasa isyarat. Karena dia ini bodoh nggak ketulungan, aku perlu berkali-kali menunjuk sambal di sampingnya menggunakan mata. Dan, saat ia sudah mengerti, melirik mama dan Gala yang asyik ngomongin manfaat sayur dan buah, Aliqa secara cepat meletakkan sambal di atas piringku. Dan, sekarang adalah tugasku untuk membungkus sambal ini dengan daun-daun bayam sampai tak terlihat, lalu ... "Gal, mau bayam lagi nggak?" Kepalanya dan mama menoleh bersamaan. Mamaku punya kabel yang terhubung dengan saraf Gala apa ya? Ikut aja! "Kok nggak lo makan?" "Jangan ih, Wa! Jorok banget. Kalaupun Gala mau nambah, dia bisa ambil di mangkuk lebih banyak. Yang itu udah bekas---" "Nggak apa kok, Tante. Mubazir juga kan." Aku melirik Aliqa yang terlihat sedang menahan geli sambil pura-pura minum. "Awa suka gitu, ngambilnya banyak, padahal makan sedikit. Sini." "Tuh, Maaaam. Gala aja mau melakukan apa pun buat Awa." Aku tersenyum sangat manis, sambil dengan dramatis mengangkat sendok hingga ke piring Gala. Rasain. Makan tuh sambal! "Dimakan ya, Gala Sayaaaaang." Ia malah tergelak. Lalu kembali menghadap Mama. Kini, aku dan Aliqa yang memperhatikan bagaimana gerak sendok Gala di piring. Ah, geser sedikit dong, sendok! Dari tadi ngambilnya bagian kiri terus! Ayo, ayo, sebelah kanan it---yeay! Sambil menghitung dalam hati, aku membuat suara pelan dari bertemunya sendok dan piring. Satu. Dua. Tiga. "Gala mau nambah udangnya?" "Enggak, Tante. Ini udah cukup." Ya bagus! Mulutnya mulai dibuka, dan perlahan ujung sendok masuk dan ... oh man, dia mengunyahnya! "HAH! TANTE ADA BOM DI MULUTKU!" Aku dan Aliqa nggak bisa menahan tawa dalam satu waktu. Apalagi, melihat Gala dengan muka merah dan mata yang sudah berair bangkit dengan sempoyongan menuju wastafel. Sedetik saja mama langsung teriak heboh menyusul si kesayangannya. "Tos dulu dong, Al," ucapku lirih. "Gue nggak nyangka dia bakal secemen itu soal sambel." Dan, di depan wastafel sana, mama sibuk mengusap wajah Gala yang penuh peluh atau mungkin air mata sambil terus menenangkan. Persis menghadapi bocah tiga tahun. Sementara Gala, berkali-kali menjulurkan lidahnya, berkumur dan selalu berkata, "Hah! Hah! Dan Hah!". Oh betapa serunya ini! *** "Wa, lo free nggak?" "Elo ngejek gue ya, Cakra?" "Hahaha. Bukaaaan. Gue nanya serius, dodol. Gue lagi main di sekitaran SQP (Scientia Square Park) nih. Jadi, kalau misalnya lo free, gue mampir ke rumah lo. Mau ada bisnis dikit." "Hm. Iyain nggak ya?" Ada tawa lagi. Satu spesies banget kayaknya sama Janggala. Bedanya, kata Gala, Cakra ini nilai akademiknya keren. Si bloon bilang sih itu hasil nyontek, tetapi menurutku Gala cuma lagi nggak mau disaingi. "Gimana, Wa?" "Bisnis apaan sih? Perasaan gue nggak ada hubungan darah sama Putri Tanjung, ngapain lo ajak gue bisnis bareng?" "Peak lo ah. Gue ngakak mulu nih diliatin orang. Gue anggap lo free, jadi, tunggu gue ke sana. Okay?" Setelah mengiyakan, aku menaruh ponsel ke atas meja, lalu kembali menikmati camilan nikmatku. Sementara di samping, aku tahu Gala sedang berusaha menghabiskan susunya dengan cepat (kata mama, s**u bisa menghilangnya pedas). Beberapa kali ia menjulurkan lidah, mengipasinya sebentar dengan tangan, kemudian meminum s**u lagi. "Siapa yang, tel-hah! Siapa yang telepon, Wa?" Kok lama-lama, aku kasihan ya sama nih bocah. Jadi ingat, dulu, saat SMA kelas satu, kami berdua sama-sama pesan nasi goreng. Dua-duanya sama sekali tidak pedas. Kamu sudah tau kalau Gala memang tidak suka, sementara aku hanya karena perutku yang tidak kuat menerima. Namun, saking ramainya anak-anak pada saat jam istirahat, mas Bowo salah membuatkan menu. Satu pedas-banget dan satunya sama sekali tidak. Aku berusaha menjelaskan kalau mas Bowo salah mendengar. Ia pun mengiyakan, tetapi aku harus mau menunggu karena yang sudah antri sangat banyak. Dan, karena kami (aku dan Gala) harus segera makan untuk kemudian melanjutkan mata pelajaran olahraga, aku nyaris meninggalkan jam makan siangku. Saat itulah, aku sama sekali nggak menyangka Gala akan sebodoh itu. Dengan cepat, ia mengambil dua piring nasi dan memintaku mengikutinya untuk duduk. "Elo makan yang ini." "Terus lo?" "Gue yang ini." "Tapi itu pedes bang---" "Daripada telat ikut volley dan kita dihukum sama pak Wahyu?" Ia mengambil empat botol air mineral: satu untukku dan sisanya tentu miliknya. "Jan banyak bacot, buruan makan." Dan, semua orang pasti tahu bagaimana kejadian setelahnya. Gala menenggak habis minumannya, sesekali membekap mulut agar tak teriak, lalu menunduk dan terakhir yang kuingat adalah ... dia meminta potongan es batu pada mas Bowo dengan mata berair. Kini, dengan sadar aku malah mengerjainya. Duh, Awa .... di mana otakmu sih! Sama seperti saat Aliqa berbisik sebelum ia pergi tadi, aku juha merasa bersalah. Katanya, "Kok gue kasian ya, Mbak. Dia lama banget gitu kepedesannya. Mukanya masih merah. Bibirnya udah kayak diolesin cat pink. Ah bodo ah. Gue mau jalan sama Hattala aja." "Gal." "Hm?" "Masih pedes?" Dia mengangguk, menggeleng, mengangguk lagi. "Dikit doang. Udah nggak kayak tadi. Perasaan awal makan ndak pedes lho, Wa. Tapi kok---hah! Tapi kok di akhir pedes ya." Aku meringis. Mendekat ke arahnya. "Coba hadap sini." "Ngapain?" "Abisin dulu susunya." Ia menurut. "Coba hadap sini. Mama tadi ke mana?" "Nganter masakannya buat Bunda. Katanya, kalau gue balik dalam keadaan kayak gini, dia takut gue nggak boleh main sini lagi." Aku tertawa. Ada-ada aja perempuan baya itu. "Julurin lidah lo. Jangan banyak nanya, buruan! Gue berubah pikiran, malah gue suapin sambel lagi lo." Dan, tawaku kembali mengudara saat dengan cepat dia melakukan perintahku. Ya ampun, lidahnya benar-benar merah. Seberapa banyak mama memasukkan cabai di dalam sambalnya. Aku mengipasi lidahnya dengan tangan juga meniupinya pelan-pelan. "Udah ngemut es batu?" Aku tak mendengarnya menjawab, dan saat aku menatap matanya, ia buru-buru mengangguk. "Masih pedes?" Ia mengangguk, lagi. "Kuping lo panas juga ya?" Aku terkekeh sendiri melihat bagaimana semua yang ada di bagian kepalanya memerah. "Yang nggak merah rambut lo doang buset." Ia mengangguk, lagi dan lagi. "Yang ini---" "ASTAGFIRULLAH!" Wakwaw. Cakra berdiri dengan tatapan syok yang dramatis. Memangnya dia habis melihat apa? Setan? "Gue ngucap salam nggak ada yang jawab, pintu kebuka lebar, ternyata sang empu lagi julur-jukuran lidah. Mata gue ya Allah pagi-pagi begini." "Apaan sih lo!" Kali ini, Gala lebih dulu bangkit. Saat kukira dia akan menyambut temannya, ternyata ia malah berjalan ke dapur. Kelakuan. "Halo, Cakra! Duduk sini! Ada gerangan apa nih?" Setelah duduk, ia masih memandangiku ngeri. "Apa sih, Cakra?" "Kalian ... ya Allah, Wa, serius, gue emang pernah anggap lo bad, tapi nggak dengan---" "Bacot!" Gala berhasil menghentikan ucapan Cakra dengan menoyor kepala lelaki berbadan gemuk itu. "Ngapain lo pagi-pagi di sini?" "Bibir lo merah banget, Gal? Anjir! Kalian berdua abis mesuman ya! Gue balik ah daripada---" "Sekali lagi lo ngelantur, gue sleding lo." Aku terbahak. "Cakra lo nggak tau sih yaaa. Tadi abis ada tayangan menarik. Seperti biasa, Gala yang nggak doyan pedes ini, yang anak mamih ini, dia nyaris sekarat karena makan sambal." Nah, baru, kali ini, Cakra ngakak sampai terjungkal dari sofa. "Lebay lo!" Gala menendang betis Cakra, membuat cowok itu langsung bangkit sambil mengumpat. "Ngapain lo ke sini?" "Ohya, Wa. Lo beneran free kan? Nggak ada kerjaan sampai beberapa waktu ke depan?" "Yup. Kenapa sih?" "Gue baru dapat projek nih. Jadi, ada brand sepatu lokal yang lagi mau keluarin produk jenis baru gitu. Nah, karena kekuatan media sosial, dia mau buat konten menarik dan terstruktur. Jadi, tema dari sepatunya adalah, bisa dipakai sama anak SMA ke atas. Yang lo bakal keliatan kece tanpa perlu tampil dengan baju mini. Lo bisa tampil kece bahkan dengan kepang dua dan kaca mata. Nah, pas ngomongin itu, gue jadi inget lo. Jadi---" "Nggak ada!" "Apa sih lo! Gue ngomong sama Awa, ngapain lo yang nyaut! Ubah profesi jadi b***k Awa?" "Awa juga pasti nggak se---" "Maksudnya gue jadi modelnya, Kra?" Aku mengabaikan tatapan nggak terima Gala. "Dibayar nggak?" "Yaiyalah!" "Nggak ada! Awa---" "Mau dong!" "Wa!" "Apasih, mingkem lo!" Aku memberi Cakra senyuman lebar. Ini pasti akan menarik. Aku suka kok berpose di depan kamera. Seru aja. "Jadi, gimana?" "Okay. Sebenernya, gue udah kasih tau tentang lo ke pihak sono sih dan dia suka waktu liat IG lo. Nah, kalau lo deal, dia bakal kirim surat perjanjiannya. Selanjutnya, kita bisa pemotretan di puncak." "Puncak banget?!" Cakra nyengir. "Owner-nya punya vila di sana. Dan, gue yang minta. Sekalian, Wa, liburan." "Dasar! Tapi boleh juga! Lumayan kan gue daripada stres di---" "Korek api. Permen heksos pedes gilak! Mampus aja deh tuh yang makan! Kacang, kacang, kacang! Makan kacang woy!" Aku memukul pundak Gala kencang. "Lo udah mulai gilak?" Di depanku, Cakra tertawa geli. "Jan terima ini ya. Jadi model tuh nggak enak. Elo bakal disuruh-suruh sama Cakra. Suruh mangaplah, suruh dongaklah. Dan nanti---" "Kalau gue mau, lo bisa apa?" Ia menggosok hidungnya. "Jadi lakik lo nanti pusingnya kayak gini kali ya, Wa. Keras kepala dikasih tau." "Bersyukurnya, karena elo nggak mungkin kan jadi lakik gue? Jadi, biarin ajalah, siapa pun nanti lakik gue, pusing-pusing dia." Di saat Gala mengembuskan napas panjang, aku menatapnya menantang, Cakra malah tertawa penuh kemenangan. Jarang-jrang kan dia bisa mengalahkan Gala.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD