"I dare you to mention your happy pill and say I love you."
"Jam berapa kau pulang tadi malam?" tanya Rose saat melihat Angel berkutat di dapur seperti biasanya.
"Hampir tengah malam." balas Angel dingin. Dia sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.
"Apa kau berubah dari pelayan kafe menjadi pelayan ranjang?" sindir Rose sinis.
Angel menghentikan kegiatannya segera sesaat mendengar perkataan ibunya, dia mengubah posisi menghadap Rose. Lagi, kalimat hinaan itu seakan tak pernah lepas darinya. Angel benar-benar tidak mengerti mengapa selalu saja dirinya disebut jalang, padahal dia hanya bekerja banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup.
"Berapa kali harus ku katakan, aku bukanlah jalang. Apa sangat sulit bagi kalian untuk mengingat sepenggal kalimat itu?" dengan berani Angel menatap lekat wajah Rose.
Rose tersenyum miring. "Jangan tatap aku dengan bola mata menjijikkan itu!" geramnya kemudian.
"Kenapa? Apa warna mataku mengingatkanmu dengan sesuatu..... ibu?" tanya Angel skartis, dia sengaja menekan kata terakhir dari bibirnya.
PLAK...
Suara tamparan keras terdengar nyaring, pipi Angel terlempar kesamping dengan kasar. Rose menampar Angel sekuat tenaga, hingga meninggalkan luka sobek disudut bibirnya.
"Jangan panggil aku ibu dengan mulut kotormu!" kata Rose tegas, matanya berkilat marah.
"Kenapa? bukankah aku juga putrimu?" tanya Angel langsung.
Tawa Rose membuncah, dia tidak bisa menahan tawanya mendengar ucapan bodoh Angel.
"Kau masih bertanya kenapa? tanya Rose jenaka.
"Beri aku jawaban." tantang Angel.
"Itu karena aku membencimu, aku tidak sudi kau panggil ibu. Itulah jawabannya." desis Rose tajam.
Sesakit itukah? Sesakit itukah mendengar kata benci dari seorang wanita yang sudah kita anggap ibu? Rasanya seperti ada sembilu yang mengiris hatiku. Sakit sekali.... aku hanya ingin merasakan kasih sayang ibu walau hanya sebentar saja.
Angel tersenyum miring. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk memanggilmu dengan mulut kotorku ini. Hanya saja kau sangat menyedihkan nyonya Rivano, kau tidak hanya gagal jadi seorang ibu tapi juga seorang isteri." Angel menyindir tajam, hilang sudah harapannya merasakan kasih sayang seorang ibu.
"Ahhhhhhkkk....!!!!!!!"
Kepala Angel mendongak keatas setelah dia menyelesaikan kalimatnya, Rose menjambak kuat rambut Angel hingga membuat kulit kepalanya seakan ingin lepas.
"Sakit jalang?" sindir Rose memaksa Angel menghadap padanya.
"Lepaskan, Lepaskan aku." Angel menahan rasa sakit yang teramat sangat dengan menggigit kuat bibirnya.
"Kau menantangku rupanya." Rose semakin menjadi, tanpa rasa kasihan, dia membenturkan kening Angel di pinggir meja.
"Ahkkk......!!!" Angel memekik nyaring, dia menyentuh pelipisnya.
Darah?
Darah segar dan hangat mengalir membasahi wajah Angel. Tangannya bergetar hebat, perlahan dia kembali meraba pelipisnya, menghapus jejak darah disana.
"Itu akibatnya jika kau berani menantangku." peringat Rose tajam penuh janji. Tanpa rasa bersalah, dia meninggalkan Angel.
"Wow, aku baru saja melewatkan sesuatu yang menarik rupanya." Monica berujar dengan nada sindiran. Dia sudah melihat pertengkaran Angel dan ibunya sejak tadi. Hanya saja, kali ini dia tidak ingin jadi pemain.
"Kau benar, sayang sekali hari ini kau seperti bertindak sebagai seorang penonton. Rasanya kurang menarik, jika hanya ibumu yang menyiksaku." balas Angel dingin kemudian mengambil kotak P3K di lemari dapur.
"Aku hanya sedang tidak ingin, tanganku masih belum gatal. Kalau nanti sudah gatal, aku akan memainkan peranku lagi." ujar Monica santai melirik sekilas ke arah Angel yang sedang mengobati lukanya. "Apa kau butuh bantuan?" tawar Monic dengan nada mengejek.
"Tinggalkan aku, itu bantuan yang ku inginkan darimu." Kata Angel tegas. Dia sudah muak akan sandiwara keramah-tamaan Monica.
"Saran yang bagus. Baiklah, lebih baik aku pergi" dengan nada ringan Monica membalas perkataan Angel. "Ah Angel, aku lupa satu hal." ujarnya lagi.
Angel bungkam, dia tidak mau tahu apa yang akan disampaikan Monic. Luka di pelipisnya harus segera di obati, jika terlalu lama bisa jadi infeksi.
"Baiklah jika kau tidak mau melihatku. Tapi gunakan telingamu baik-baik. Aku.... akan membuat lukamu ....jauh lebih parah lagi jika kau berani merebut William dariku." Peringat Monic tajam memberi penekanan dalam setiap kata.
Langsung saja, tangan Angel menggantung di udara, dia melihat banyangan dirinya sendiri di dalam cermin. Ada sakit yang kasat mata di dalam cermin itu.
"Camkan itu baik-baik." sambung Monic kemudian berlalu pergi.
Apa lagi ini? Ada apa dengan ku, kenapa hatiku berdenyut nyeri. Haruskah melepaskan sementara aku belum juga memiliki.
Angel memarkirkan sepedanya tergesa-gesa, dia ingin segera meluapkan kesesakan yang sudah menggumpal di hatinya.
"Angel." panggil Robby saat melihat Angel sudah selesai memarkirkan sepedanya.
"Ada apa Robby?" tanya Angel tanpa basa basi.
"Kenapa dengan keningmu?" tanya Robby mengamati perban yang menempel di kening Angel.
"Jatuh." balas Angel singkat. Dia berlari kecil memasuki gerbang sekolah.
"Aku mencium bau kebohongan?" sindir Robby. Tebakannya tidak mungkin salah, luka itu pasti dari kedua wanita siluman itu.
"Kau sudah tahu ternyata." Angel berujar dengan nada datar.
Angel mendadak berhenti saat Robby sudah berdiri dihadapannya sembari merentangkan kedua tangan.
"Apa yang kau lakukan, minggir." cetetuk Angel. Dia ingin sampai segera di atap sekolah, sebuah tempat yang menjadi yang memberi kenyamanan baginya.
"Jelaskan dulu kenapa kau bisa terluka?" desak Robby.
"Minggir Robby." geram Angel tertahan.
"Tidak mau." balas Robby gigih mempertahankan usahanya.
Angel menghela nafas kesal, dia membuang pandangannya ke bawah. Menutup mata sebentar sebelum kemudian balik menatap Robby. Lagi, angel meraup nafas kasar mengusir kekesalannya.
"Robby mengertilah, aku ingin sendiri untuk saat ini." Angel berujar lemah menahan air mata yang menumpuk sedari tadi.
Robby terdiam sesaat, seakan mengerti betapa sakitnya Angel saat ini, dia lalu berujar. "Aku mengerti, pergilah, tenangkan dirimu terlebih dulu." ujarnya kemudian.
Angel hanya membalas senyum tipis sangat tipis hingga tak terlihat jelas. Dia lalu berlari menaiki gundukan tangga yang akan membawanya ketempat dimana dia menemukan ketenangan. Di atas atap, Angel menangis sekencang-kencangnya, menumpahkan seluruh rasa sakit yang sudah bersarang di benaknya. Terjerat luka yang tak terlihat, begitu menyesakkan hingga sekedar bernafas pun terasa sulit.
Angel menengadah ke atas, berharap alam akan mendengar jeritannya. Bertahun-tahun lamanya, dia hidup dan dibesarkan oleh sebuah luka. Bertahun-tahun lamanya, dia menahan sakit seorang diri, tak ada satu pun yang mencoba mengulurkan tangan padanya. Semua membisu, menutup mata dan telinga dari sakitnya jeritan yang tak terkatakan. Hanya air mata, yang tersisa hanyalah air mata, air mata yang menjadi saksi betapa kejamnya permainan takdir.
"Ella? Kenapa kau menangis?" William yang entah sejak kapan disana, langsung berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Angel.
Tangis Angel semakin deras, pandangnya mengabur, nafasnya tercekat. Samar-samar Angel melihat wajah William yang berubah khawatir. Dengan sekali tarikan nafas panjang dia berujar. "Liam..... Liam.... ku mohon ulurkan tanganmu. Tolong aku, selamatkan aku dari rasa sakit ini, rasa sakit yang tak pernah kunjung usai. Tolong aku..... selamatkan aku... selamatkan aku Liam."