23 - His Feeling

1246 Words
            Lagi-lagi jantung Mika berdentum kencang dan wajahnya merah sekali. Pria itu tidak sungkan-sungkan untuk makan dari sumpit bekas miliknya. Yoshiki memandangnya sambil mengunyah. Ia tidak mengatakan apapun tapi hanya tersenyum pada gadis itu. Wajah Mika semakin merah membara dan ia segera menunduk malu. “Kau tidak makan lagi ?” tanya Yoshiki berusaha membuat gadis itu tidak terlalu canggung padanya.             Mika tersentak mendengar Yoshiki bertanya padanya. Ia benar-benar tidak bisa menghilangkan rona merah di wajahnya dan saat ia memandang Yoshiki, pria itu pun bisa melihat Mika yang masih tersipu. Jantung Yoshiki berdentum dan ia berpikir betapa manisnya Mika saat menatapnya seperti itu. Lagi-lagi, Yoshiki merasa ingin memeluk gadis itu kembali. “Ah, aku juga mau Tsumire.” kata Yoshiki tiba-tiba agar suasana canggung di antara mereka menghilang.             Gadis itu tersentak dan kembali memandang mangkuknya dengan bingung. Ia sedang berpikir apa maksud perkataan Yoshiki tadi. Apa dia menyuruhku menyuapinya lagi atau dia mau aku mengambilkan Tsumire untuknya ??? pikir Mika bingung dan wajahnya tersipu kembali. Ia takut berharap lebih pada pria itu.             “Anoo... apa Kimura-kun ingin aku menyuapimu atau ingin aku mengambilkannya saja ?” tanya Mika dengan suara kecil. Ia lebih memilih untuk bertanya daripada ia salah paham dan bisa menyebabkan Yoshiki marah padanya.             Yoshiki tertegun mendengarnya dan ia mendengus tersenyum. Dipandanginya gadis itu masih sambil tersenyum.             “Sini, suapi aku. Aku sedang malas memegang sumpit.” jawab Yoshiki sambil menopang dagunya ke arah Mika.             Pats !             Wajah Mika merah membara dan dengan jantung berdegup kencang ia menyuapi Yoshiki dengan sedikit gemetar. Penjual oden itu hanya bisa melirik mereka dengan tersenyum. Pria paruh baya itu mengerti dengan perasaan Yoshiki dan memaklumi pasangan itu.             Yoshiki menikmati tiap suapan yang diberikan Mika hingga gadis itu akhirnya tersenyum senang. Ia merasa sangat bahagia bisa menikmati makan malam dengan Yoshiki seperti ini.             Mereka keluar dari kedai oden itu dengan perut kenyang. Hari masih belum terlalu malam hingga pertokoan masih ramai dikunjungi. Kedua orang itu berjalan kaki sambil melihat-lihat pemandangan malam.             Tiba-tiba, butiran salju turun perlahan. Ini adalah salju pertama di musim dingin itu. “Wah... salju...” Mika tersenyum menengadahkan tangannya untuk membiarkan butiran putih itu jatuh ke telapaknya.             Yoshiki menoleh ke arahnya dan ia ikut tersenyum melihat gadis itu tersenyum. Tapi, sedetik kemudian ia baru menyadari Mika tidak memakai mantel sama sekali. Gadis itu hanya memakai kaus berlengan panjang dengan rok selutut. Yoshiki membelalak dan langsung memegang tangan Mika yang mulai mendingin. “Kau ini... bagaimana bisa kau keluar tanpa memakai mantel ??? Ini sudah masuk musim dingin tahu !” Yoshiki sambil menggeleng-geleng langsung menarik Mika untuk masuk ke salah satu toko pakaian. “Ah, tidak perlu membeli mantel segala, Kimura-kun. Bukannya kita akan pulang ? Jaraknya juga tidak jauh.” balas Mika saat mereka masuk ke dalam toko itu. “Dan kau mau masuk angin begitu tiba di rumah ?” Yoshiki memandangnya tajam dengan alis terangkat sebelah. Ia melipat kedua tangannya di d**a.             Mika tidak bisa menjawab dan ia membiarkan Yoshiki mencari mantel perempuan dengan jantung berdebar-debar. Pria itu menemukan mantel berwarna cokelat yang cukup manis dan ia memberikannya pada Mika.             Tanpa berkata apa-apa, Mika mengerti Yoshiki menyuruhnya untuk mencoba mantel itu. Ia menurut dan memandang Yoshiki saat selesai memakainya. “Cocok.” senyum Yoshiki dan ia langsung berjalan menuju kasir.             Mereka keluar dari toko itu dan baru menyadari beberapa pertokoan telah mulai tutup. Yoshiki kembali melirik Mika yang ada di sampingnya dan menyadari bahwa Mika tidak memakai sarung tangan juga. “Ah, aku lupa mencari sarung tangan untukmu.” gumamnya hingga Mika menoleh dan menggeleng cepat. “Tidak perlu, Kimura-kun ! Aku bisa memasukkan tanganku ke dalam saku mantel saja !” jawab Mika cepat sebelum Yoshiki kembali membawanya berbelanja.             Mika hendak memasukkan tangannya ke dalam saku mantel. Tapi, Yoshiki secara mendadak menarik tangannya dan menggenggamnya. Wajahnya tersipu dan jantungnya kembali berdetak kencang. “Itu tidak akan lebih hangat dari tanganku...” Yoshiki kembali bergumam dan ia tidak memandang Mika sama sekali. Tangannya tetap menggenggam erat Mika.             Mika benar-benar merasa sangat gembira dan ia tersenyum sambil menunduk. Gadis itu sedang berkhayal keadaan mereka saat ini seperti kencan saja. Tapi, ia cepat-cepat menepis pikiran itu karena takut berharap lagi. Kimura-kun cuma khawatir padamu saja, Mika... pikir Mika sambil menghela napas panjang untuk menenangkan hatinya. Namun, tetap saja Mika senang dengan perhatian pria itu.             Sementara itu, Yoshiki sebenarnya hanya beralasan untuk bisa memegang tangan Mika. Entah kenapa ia ingin menggenggam tangan Mika sampai pulang ke rumah.                                                                                         ***             Keesokan paginya, Kazu mendatangi rumah mereka. Hanya dialah yang tahu dimana rumah Yoshiki setelah pria itu pindah rumah. “Aahh Yoshiki ! Gara-gara kau, aku diinterogasi sama gadis-gadis itu !” katanya saat masuk ke rumah mereka setelah dipersilahkan Mika. “Hng ? Kenapa kau yang diinterogasi ?” Yoshiki tidak menoleh dari bacaannya di akhir pekan itu.             “Gara-gara kau bicara seperti itu, mereka langsung mendatangi alamat lamamu dan ibumu bilang kau sudah pindah. Bahkan ibumu juga bilang pada mereka kalau Mika tinggal bersamamu. Tentu saja mereka jadi ganas sekali setelah mengetahuinya !” Kazu terus berbicara sambil mengambil teh yang diberikan Mika.             “Tengah malam mereka datang ke apartemenku dan menanyaiku dimana alamat rumahmu yang baru. Ibumu tidak mau mengatakannya pada mereka.” lanjutnya lagi. Yoshiki hanya mendengus tanpa menoleh sama sekali. “Memangnya mereka kurang kerjaan ya sampai harus mendapatkan alamatku segala.” komentarnya dengan malas.             “Katanya mereka mau membuat perhitungan dengan Mika. Bahkan ada yang bilang mau membunuhnya segala...” Kazu menerawang berusaha mengingat-ingat.             “Eeeh ???” Mika terkejut mendengarnya hingga wajahnya berubah menjadi pucat pasi. “Hah ??? Jadi kau beritahu dimana alamatku ???” Yoshiki langsung menegakkan diri dan meninggalkan bukunya tergeletak begitu saja. “Tentu saja tidak ! Kau pikir setelah mendengar mereka berkata seperti itu aku akan memberitahu mereka ??? Setidaknya aku masih memikirkan bagaimana nasib Mika nanti.” Kazu membelalak ke arah Yoshiki. “Baguslah...” Yoshiki menghela napas lega. “Ah, terima kasih banyak Kazu...” Mika tersenyum ke arahnya. “Tidak masalah, Mika.” balas Kazu ikut tersenyum juga.             Tidak berapa lama, Mika pergi meninggalkan mereka untuk menjemur pakaian. Kazu langsung berpindah duduk ke samping Yoshiki dengan ekspresi penasaran. “Hei Yoshiki, aku penasaran nih. Bukannya kau bilang kau tidak mau memakai cincin pertunanganmu ? Kenapa kemarin malam kau bisa memakainya ?” tanya Kazu dengan suara berbisik. Ia bahkan melirik jemari Yoshiki yang masih tersemat cincin itu. “Entahlah... aku juga tidak tahu kenapa aku mau memakainya...” Yoshiki menyandar malas lagi dan memejamkan matanya.             “Oohh... itu tandanya kau sudah bisa menerima Mika ya.” Kazu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Maksudmu ?” Yoshiki langsung mengernyit ke arahnya. “Yah, coba kau katakan padaku, bagaimana kau melihat Mika ? Apa yang kau rasakan ?” Kazu terlihat tertarik dengan masalah ini. Yoshiki diam dan merenung.             “Aku tidak tahu kenapa... tapi aku suka sekali melihatnya tersenyum dan memanggil namaku... Mataku tidak bisa lepas dari sosoknya. Hingga rasanya aku ingin dia selalu ada di sampingku...” gumam Yoshiki dengan sedikit rona di pipinya. “Aha ! Aku tahu sekarang ! Kau jatuh cinta padanya, Yoshiki !” seru Kazu dengan suara pelan. Yoshiki langsung melotot ke arahnya. “A... ah, tidak mungkin !” bantahnya langsung. “Buktinya kau pasti selalu memikirkannya ‘kan ??? Jantungmu pasti berdebar kencang saat berdekatan dengannya !” mata Kazu semakin berbinar-binar. “Ba-bagaimana kau tahu ???” Yoshiki benar-benar terkejut mendengarnya dan ia langsung duduk tegak.             “Tentu saja ! Itu tanda-tanda orang jatuh cinta, kawan !” kekeh Kazu. “Tapi, aku masih belum yakin tentang itu ah !” lagi-lagi Yoshiki membantah dan memalingkan pandangannya ke arah lain. “Terserah padamu kalau kau ingin memastikan perasaanmu lagi. Tapi, aku yakin dengan pemikiranku 100% !” ujar Kazu optimis sekali.             Mendengar kata-kata sahabatnya itu, otomatis Yoshiki jadi merenung dan sering memikirkan masalah ini. Ia butuh waktu untuk meyakinkan dirinya walaupun tanpa sadar sikapnya berubah terhadap Mika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD