Saat Yoshiki masuk ke dalam rumah, hidungnya lebih dulu mencium sesuatu yang hangus. Ia belum sempat mengatakan apapun tapi Mika lebih dulu berlari melewatinya. Dengan cepat, gadis itu segera mematikan kompornya yang ternyata masih menyala.
“Ahh !!! Sup miso-ku !!!” teriak Mika sambil membuka panci hangus itu.
“Astaga Mika... bagaimana bisa kau keluar dengan kompor masih menyala seperti itu ???” Yoshiki terkejut dan ia ikut ke dapur melihat isi panci Mika yang telah menghitam. Kuah supnya bahkan sudah mengering semua.
“A-ah, aku tadi terburu-buru hingga lupa mematikannya... karena Kazu mengatakan kau terluka jadi aku panik hingga langsung berangkat begitu saja...” Mika menunduk malu sambil membawa pancinya ke wastafel.
Yoshiki tertegun mendengarnya. Baru disadarinya Mika masih memakai selop rumah dan sarung tangan pancinya ada di dalam saku rok Mika. Nampaknya gadis itu memang terburu-buru hingga tidak sempat merapikan dirinya sama sekali.
Lagi-lagi wajah Yoshiki memerah melihat seberapa pedulinya gadis itu padanya. Hatinya tersentuh dan ia tidak bisa berkata apa-apa.
Lelaki itu langsung berjalan ke arah wastafel dan mengambil panci yang ada di tangan Mika. Ia mulai mencuci panci hangus itu hingga Mika terkejut melihatnya.
“Ah, Kimura-kun ! Biar aku saja yang membersihkannya ! Kau istirahat saja !” kata Mika cepat dan ia berusaha mengambil panci itu dari Yoshiki yang mulai menyabuninya.
“Sudahlah, Mika. Biar aku saja yang mencucinya. Lebih baik kau bersihkan dapurnya.” kata Yoshiki sambil mengerling meja dapur yang berantakan dengan sayur-sayuran dan bahan masakan lainnya..
“Ah... baiklah...” Mika menunduk malu dan ia melakukan apa yang disuruh Yoshiki.
Pria itu mencuci sambil berpikir, apa Mika belum makan ? Dia meninggalkan masakannya begitu saja dan sepertinya meja makan belum tersentuh...
Kruyuukk...
Terdengar suara perut yang tidak terlalu besar dari samping Yoshiki. Pria itu tertegun dan menoleh pada Mika yang terlihat panik dengan suara perutnya sendiri. Gadis itu dengan cepat menutupi suara tadi dengan membunyikan piring serta benda-benda lainnya.
Yoshiki hanya bisa tersenyum samar melihat tindakan Mika. Ia tahu gadis itu tidak ingin membuat Yoshiki khawatir sama sekali.
“Mika.” panggil Yoshiki saat pria itu selesai mencuci pancinya.
Mika menoleh dan Yoshiki bisa melihat wajahnya yang masih memerah malu namun gadis itu menutup-nutupinya.
“Ya...?” jawabnya dengan suara kecil.
“Ayo ikut aku.” Yoshiki langsung mengambil mantelnya dan menuju pintu keluar.
Mika bingung tapi tetap mengikuti pria itu juga. Yoshiki keluar dari rumah dan berjalan menuju pertokoan yang masih ramai. Matanya sibuk mencari restoran yang masih buka malam itu. Mika hanya mengikutinya dari belakang dengan hati yang bertanya-tanya, kemana pria itu akan membawanya ?
Yoshiki berhenti di depan sebuah restoran Perancis dan ia menoleh memandang Mika yang akhirnya paham maksud pria itu.
“Ah ! Tidak perlu, Kimura-kun...” tolak Mika dengan wajah memerah.
“Aku lapar juga, Mika. Tadi aku tidak sempat makan di sana.” alasan Yoshiki walaupun sebenarnya ia masih sempat menikmati hidangan di sana.
Mata Mika langsung membesar mendengarnya, “Kenapa tidak bilang padaku ??? Aku ‘kan bisa memasak untukmu, Kimura-kun !”
“Sudahlah, tidak usah masak malam ini. Kali ini kita makan di luar saja.” balas Yoshiki. Ia tidak ingin gadis itu capek-capek memasak untuknya.
Mika malah menunduk mendengar jawabannya dan ia terlihat sedih. Yoshiki mengernyit melihat ekspresinya.
“Apa... Kimura-kun tidak suka masakanku...?” tanya Mika dengan suara pelan.
Yoshiki langsung terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka Mika akan berpikiran seperti itu.
“Bukan begitu ! Kau sudah capek-capek datang untuk menolongku... dan tidak mungkin ‘kan aku menyuruhmu masak lagi ??? Apalagi kau juga... belum makan ‘kan ?” Yoshiki menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan menoleh ke arah lain untuk menutupi wajahnya yang mulai memerah kembali.
“Masakanmu enak kok... cuma kali ini pengecualian...” gumam Yoshiki hingga Mika tertegun mendengarnya. Yoshiki memang mengakui gadis itu pandai memasak dan masakannya selalu membuat Yoshiki berselera. Tapi, kali ini ia tidak ingin Mika terlalu lelah.
Mika akhirnya tersenyum mendengarnya dan ia senang sekali. Yoshiki pun meliriknya dan setelah melihat senyum gadis itu, barulah ia merasa lega. Entah kenapa Yoshiki tidak ingin menyakiti perasaannya.
“Baiklah, kita makan di luar. Tapi, lebih baik jangan makanan Perancis.” kata Mika kemudian.
Yoshiki memandangnya dengan tatapan bertanya, “Kau ini lucu sekali, Mika. Pria yang kau taksir sedang mengajakmu makan di restoran yang romantis tapi malah kau tolak. Memangnya kau mau makan apa ?” pria itu mendengus hendak tertawa sambil melipat kedua tangannya di d**a. Mika tertawa mendengarnya.
“Aku cuma sedang ingin makan oden !” jawab Mika sambil tersenyum lebar sekali.
Jantung Yoshiki berdebar kencang saat melihat senyum gadis itu. Tanpa disadarinya ia bisa ikut tersenyum melihat Mika.
“Baiklah, apa kau tahu dimana tempat yang menjual oden enak ?” Yoshiki tersenyum sambil memandangnya. Mereka kembali berjalan lagi.
“Tentu saja !” Mika terlihat senang sekali dan ia berjalan dengan riang menuju sebuah kedai kecil.
Yoshiki benar-benar hampir menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gadis blasteran seperti Mika lebih menyukai makanan tradisional daripada masakan Eropa yang seharusnya lebih cocok untuknya. Ia hanya bisa menyembunyikan senyumnya melihat gadis itu terlihat bersemangat sekali memesan oden di kedai kecil itu.
Mereka duduk di depan penjual oden yang sibuk mengambilkan semangkuk oden untuk mereka. Penjual itu memandang ke arah Yoshiki dan hendak menanyakan apa yang ingin dimakannya. Tapi, pria itu menggeleng hingga membuat Mika heran dengannya.
“Bukannya Kimura-kun juga lapar ?” tanya gadis itu.
“Tidak terlalu. Kurasa aku hanya akan mencicipi saja.” jawab Yoshiki sambil memandang ke arah lain dengan wajah memerah.
Mika tertegun mendengarnya. Ia baru menyadari bahwa Yoshiki hanya beralasan dengan mengatakan ia lapar padahal ia hanya ingin membuat Mika makan. Gadis itu tersipu dan ia bisa merasakan perasaannya menjadi lebih besar terhadap pria itu. Mika tersenyum dan menyorongkan kembali mangkuk oden-nya pada si penjual.
“Tolong ditambah isinya.” pintanya hingga membuat Yoshiki menoleh dan mengira Mika cukup kelaparan.
Tapi, alih-alih mulai makan, Mika menggeser mangkuknya ke tengah-tengah mereka. Ia bahkan meminta satu sumpit lagi pada si penjual. Dengan tersenyum, Mika memberikan sumpit itu untuk Yoshiki.
“Ayo makan bersama saja !” ajaknya sambil tersenyum lebar.
Yoshiki langsung tertegun melihatnya dan wajahnya kembali merona merah. Melihat Yoshiki terdiam seperti itu, Mika langsung terlihat pucat.
“Ah, maaf... pasti Kimura-kun tidak mau sepiring denganku. Aku akan minta mangkuk kosong lagi.” kata Mika cepat. Tapi, sebelum ia sempat memesan, Yoshiki langsung mencegahnya.
“Tidak apa. Sepiring saja.” jawabnya hingga membuat mata Mika membesar seketika.
Dengan tersenyum, Mika mulai menikmati oden mereka. Yoshiki hanya mengaduk-aduk isinya tanpa berniat makan sama sekali. Ia hanya suka melihat Mika menikmati makanannya dengan bersemangat. Bahkan pria itu bisa tersenyum saat melihat Mika makan dengan lahap.
Gadis itu menoleh saat menyadari bahwa Yoshiki tidak makan dari tadi.
“Ah, Kimura-kun... apa yang kau suka dari oden ?” tanya Mika.
“Hmm... chikuwabu ? Tapi, aku bisa makan semuanya kok.” jawab Yoshiki sambil berpikir. Chikuwabu adalah sejenis pangsit ala Jepang.
Mika langsung memandang kembali ke mangkuk oden mereka dan mencari chikuwabu. Ia tersenyum saat mendapatkannya dan menyodorkannya pada Yoshiki.
“Nah, ini chikuwabu kesukaanmu. Kuletakkan di sendokmu ya.” kata Mika dengan riang dan ia mulai mencari-cari chikuwabu di dalam mangkuk mereka untuk menumpuknya di sendok sup Yoshiki.
Yoshiki hanya memandangnya geli dan tiba-tiba ia menghentikan gerakan Mika dengan menahan lembut pergelangan tangannya. Mika bingung dan menoleh pada Yoshiki. Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan apapun, Yoshiki langsung menunduk dan memakan chikuwabu yang ada di sumpit Mika hingga terkesan ia sedang disuapi oleh gadis itu.