AUTHOR POV.
Siang menunjukkan pukul 2, Lucia berjalan menuju kamarnya dan di kamar ia melihat Rayoen sedang mengerjakan sesuatu dengan tab kesayangannya, Lucia berdeham lalu berjalan menuju kamar mandi. Lucia berdeham hanya untuk membuat Rayoen sadar bahwa ia di kamar.
Rayoen dan Lucia memang tak saling mencintai, namun mereka sepakat untuk tidur di kamar yang sama karena demi Micky, lagi dan lagi demi Micky.
Rayoen melihat punggung istrinya, lalu buru-buru menundukkan kepala seraya menggelengkan kepala. Ia sedang menyuruh hatinya untuk sadar dan tidak berpikiran macam-macam.
Beberapa menit kemudian, Lucia keluar dari kamar mandi dan menuju kamar ganti, rasanya sangat gerah seharian ini. Ia merasa lega setelah mandi dan keramas.
Rayoen mendongak dan bangkit dari duduknya, ia lalu menyusul langkah kaki Lucia yang sudah masuk kedalam kamar ganti, wanita berusia 27 tahun itu terkejut melihat Rayoen lalu dengan cepat menutupi sebagian tubuhnya yang sudah hampir saja terbuka seluruhnya karena hendak mengganti pakaian.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lucia terkejut.
"Aku kemari mengambil jam tanganku. Ada apa? Kenapa matamu itu hampir saja keluar?" tanya Rayoen dengan alis yang hampir saja bertaut.
"Kau masuk dan tak mengetuk pintu, tentu saja aku terkejut," jawab Lucia.
"Bersiaplah. Besok pagi kita akan berangkat ke China," ujar Rayoen spontan membuat Lucia bingung. Namun, merasa senang didalam hatinya. Setidaknya ia akan berlibur gratis.
"Baiklah, tapi kita berapa hari di sana?" tanya Lucia.
"Sekitar 1 atau 2 minggu," jawab Rayoen seraya memilih jam tangan yang akan ia kenakan yang mecing dengan pakaiannya.
"Apa?" Lucia terkejut, selama itu kah?
"Apa kenapa?" Rayoen menautkan alis.
"Kenapa sangat lama? "
"Ini perjalanan bisnis, tentu saja harus lama, dan yang menentukan lama atau tidak itu aku," jawab Rayoen, yang masih melihat susunan jam tangan yang di pisahkan dengan lemari khusus.
"Keluar lah, aku mau berpakaian," sergah Lucia.
"Berpakaian saja, kenapa harus menyuruhku keluar? ini kamarku, jadi aku berhak ada di sini," tantang Rayoen membuat Lucia menghela napas panjang.
"Tapi, aku mau berganti pakaian, aku tau ini kamarmu, tapi bisakah sebentar saja kamu menunggu di luar? Lagian kamu, kan, kemari hanya untuk mengambil jam tanganmu," celetuk Lucia.
"Berpakaian saja, aku tidak akan melihatnya, aku sedang sibuk melihat susunan jam tanganku ini," jawab Rayoen yang menganggap dirinya serius sedangkan memilih satu jam tangan dari sekian banyak pilihan tak perlu lama-lama. Hanya menyamakan warna setelannya.
"Baiklah, jangan berbalik, ya?"
"Iya, tidak akan."
Lucia dengan cepat memakai dress miliknya dengan resleting belakang, Lucia berusaha keras mengancingkan resleting di belakang tapi tak berhasil, beberapa kali sudah ia coba. Namun, Lucia tak juga bisa menggapai resleting itu, tentu saja bagian tubuh belakangnya akan terlihat, sekali saja Rayoen berbalik melihatnya, ia akan sangat malu.
Lucia memonyongkan bibirnya, ia tak mungkin meminta bantuan Rayoen. Namun, hanya Rayoen yang ada di sini dan dia tak memiliki opsi lain selain meminta bantuan Rayoen. Meski harus malu dan gugup. Tak ada pilihan lain. Lagian sederhana saja hanya menaikkan resleting bajunya.
"Anu—" kata Lucia, ragu.
"Apa?" tanya Rayoen yang masih sibuk melihat susunan jam tangannya yang terpajang di lemari khususnya, lemari itu jika ditutup akan tetap memperlihatkan koleksi jam tangannya dari merk-merk terkenal.
"Apa kau bisa membantuku?" tanya Lucia melemah.
"Membantu apa?"
"Tolong bantu aku untuk menaikkan resleting dress ini di belakang, aku tak bisa menjangkaunya," tunduk Lucia.
Rayoen berbalik dan menghampiri istrinya itu, Lucia menunduk ketika Rayoen melihatnya lewat cermin di hadapan mereka, Lucia mendongak melihat Rayoen sedang di belakang membantunya mengancingkannya, Rayoen tak melepas pandangannya pada Lucia yang sudah dengan wajah merona.
Tatapan mereka menghujam lembut, Rayoen tersadar lalu menggelengkan kepala, bahwa yang di lakukannya salah, ia lalu menjauhkan diri dari Lucia. Tak perlu sedekat ini.
"Sudah selesai," kata Rayoen lalu melangkah meninggalkan Lucia yang masih tertegun.
Lucia menggelengkan kepala. Beberapa kali Rayoen akan terlihat baik namun sebentar lagi akan terlihat menjengkelkan.
Setelah selesai berpakaian dan mempoles wajahnya sebentar, Lucia lalu keluar dari kamar dan melihat Rayoen sedang duduk di sofa.
Rayoen sesekali melirik ke arah Lucia yang sedang menguncir rambutnya.
Rayoen terus mencoba untuk menjauhkan dirinya dari pikiran-pikiran yang mulai dipenuhi oleh sosok istrinya itu.
Pernikahan ini adalah perjanjian jadi tidak ada yang spesial dan istimewa.
***
China, Pukul 09.00 AM
Rayoen, Lucia, Henry dan Exan sampai di bandar udara Beijing, di area penjemputan seseorang menjemput mereka.
Pria yang bernama Joseph itu menghampiri Rayoen dengan membungkukkan badannya.
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya," sapa Joseph.
"Terima kasih," angguk Rayoen.
"Mari saya antarkan Anda dengan istri."
Rayoen menganggukkan kepala.
Tak butuh waktu lama sampailah mereka di Sofitel Luso hotel.
Rayoen dan Lucia masuk ke kamar, seperti biasa mereka akan sekamar walaupun tak seranjang, itulah kesepakatan yang harus mereka lakukan. Masing-masing pihak memiliki apa yang tak di inginkan dalam kontrak.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Rayoen membuka kamarnya.
Ia melihat Exan berdiri di depan pintu kamar.
"Tuan, sudah waktunya untuk bertemu dengan CEO Huaxing," kata Exan.
"Baiklah, di mana CEO Huaxing mengatur pertemuan?"
"Lapangan golf, Tuan," jawab Exan.
"Baiklah."
Exan menundukkan kepala dan berjalan meninggalkan tuannya, Rayoen melihat istrinya sedang berdiri di depan dinding kaca dan menikmati pemandangan di luar sana. Pemandangan yang indah dengan memperlihatkan gedung-gedung tinggi yang seakan mencakar langit.
"Bersiaplah, aku akan bertemu Tuan Heaxing," kata Rayoen, sudah mulai banyak bicara.
"Apa aku harus ikut?"
"Tentu saja, itulah gunamu kemari," jawab Rayoen.
"Perkataanmu terlalu kejam," gumam Lucia.
"Bersiap saja!"
Lucia menganggukkan kepala. Ia tak bisa melawan perkataan suaminya yang tegas dan terdengar disiplin.
Sepuluh menit kemudian, Rayoen dan Lucia turun ke loby dan mendapati Henry yang sedang menggoda resepsionis hotel, Rayoen menepuk pundak Henry kasar lalu berbisik.
"Apa kau kemari hanya untuk menggoda wanita?" bisik Rayoen.
"Pahamlah sedikit," bisik Henry.
"Ayo kita pergi."
"Baiklah, aku akan kembali, ya, Leadis," kata Henry, memainkan matanya membuat kedua resepsionis itu jatuh hati dan tak berkedip, Lucia yang melihatnya hanya tersenyum kecil.
"Woah ... kebiasaanmu tak pernah bisa kamu rubah, Henry, selalu saja menggoda wanita cantik dan memberikan mereka harapan," geleng Rayoen.
"Begini lah jika aku jones, jadi suka-suka aku dan mau-mau aku, 'kan?" kekeh Henry.
"Kapan kau akan berpikir untuk menikah, Henry?" tanya Rayoen.
"Sampai aku mendapatkan wanita yang aku inginkan," jawab Henry.
"Meniduri mereka setiap hari tanpa berpikir kedepannya?"
"Aku hanya meniduri satu wanita, Sob," jawab Henry.
"Tapi, tidak kau inginkan?"
"Aku belum yakin dan aku hanya butuh waktu senang-senang saja," jawab Henry.
"Kau pikir kau akan menemukan wanita yang tepat jika kamu saja tidak berpikir untuk menikah? Jangan selalu membawa sesuatu hal dengan tujuan bersenang-senang."
"Kita tidak perlu membahasnya. Yang terpenting aku hanya meniduri satu wanita saja. Itupun ketika aku membutuhkannya."
Mendengar hal itu membuat Lucia bergidik, Henry melakukan apa yang ingin ia lakukan, Henry melakukannya karena dia adalah jomblo, tak berpikir menikah dan tak pernah membayangkannya sama sekali. Jadi sah-sah saja dan bebas-bebas saja jika ia ingin melakukan itu.
Suara ponsel Rayoen membuat obrolannya berhenti, Rayoen melihat nama Bianca di layar ponselnya dan mengabaikannya.
"Siapa Rayoen?" tanya Henry.
"Hem? Oh... ini sekretaris Tuan Huaxing," jawab Rayoen sengaja berbohong. Ia malas jika harus berdebat dengan Bianca jika kekasihnya itu tau, jika ia mengajak wanita lain bersamanya ke China.
***
Sampai di lapangan Golf.
Rayoen , Lucia dan Henry menghampiri Tuan Huaxing dan Ny. Huaxing, lalu menjabat tangan mereka.
Pertemuan pertama kali bagi mereka.
"Ni Hao ma (Bagaimana kabar anda?)? " tanya Rayoen.
"Wo dang Ran Mei Shi (Tentu saja saya baik-baik saja) ni hao ma, Tuan Leonidas anda Tuan Hilston?" tanya Tuan Huaxing kembali.
"Wo men mei shi, Tn. Huaxing (Kami pun baik-baik saja)" jawab Henry.
"Zhe shi shui (Ini siapa?)" tanya Nyonya Huaxing.
"Wo qi zi (Istriku)," jawab Rayoen tanpa berpikir panjang.
"Ta hen piao liang (Dia sangat cantik)," kata Ny. Huaxing, lalu mencipika cipiki Lucia yang tak memahami apa yang mereka bicarakan. Namun, satu hal yang ia tau Ny. Huaxing memujinya cantik.
Lucia harus diberikan sesuatu yang sulit untuk ia tebak, ia tak tahu sama sekali bahas China. Sungguh meresahkan jika Rayoen terus membawanya bertemu klien luar.
Lucia dan Ny. Huaxing duduk di kursi tunggu dan menonton suami mereka sedang bermain golf, sesekali Ny. Huaxing mengatakan sesuatu yang hanya bisa di balas Lucia dengan senyuman. Di kejauhan Rayoen tak sengaja melihat Lucia sedang mengobrol dengan Ny. Huaxing, terlihat begitu akrab dan sesekali tertawa bersama, Rayoen tersenyum kecil melihatnya karena dengan keakraban Ny. Huaxing dan Lucia, ia bisa meraih apa yang ia inginkan dengan menembus pasar asing.
Sudah lama Rayoen tak merasakan ditemani istri bertemu klien seperti ini.
Rayoen menggeleng dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman penuh karisma mematikan.
"Xian zai lun dao ni le, xian sheng (Sekarang giliran anda, Tuan)." kata Tn. Huaxing. Namun, Rayoen masih menatap Lucia dari kejauhan.
Henry menyikut sahabatnya dan menyadarkan Rayoen dari tatapannya yang tak berdasar, sesekali mencuri pandang ke arah Lucia dan Ny. Huaxing.
"Dui bu qi xian sheng, wo jiu shi_ (Maaf, Tuan, Saya—) " Rayoen merasa sangat malu.
"Tidak apa-apa, Tuan, saya juga selalu menatap istri saya diam-diam seperti itu, dengan tatapan itu saya pun makin mencintainya," sambung Tn. Huaxing, ternyata sejak tadi menyadari tatapan Rayoen.
"Sepertinya kamu sudah mulai—" Henry hendak mengatakan sesuatu. Namun, kalimatnya terhenti.
"Mulai apa, Hen? Diam kamu!" kata Rayoen mulai kesal.
"Sekarang giliran anda, Tuan," kata Tn. Huaxing.
"Anda sepertinya sangat mencintai Istri Anda," sambung Tn. Huaxing pada Rayoen yang sedang mengambil ancang-ancang untuk memantul bola golf.
Henry tersenyum kecil mendengar perkataan Tn. Huaxing yang tak di gubris Rayoen.
Setelah selesai memantulnya, sesekali Rayoen melirik ke arah Lucia yang masih tertawa kecil bersama Ny. Huaxing.
"Akui saja," bisik Henry.
"Apanya yang harus aku akui?" tanya Rayoen.
"Kau selalu saja diam-diam menatap Lucia."
"Aku menatapnya itu bukan karena sebuah perasaan, Henry, aku hanya penasaran apa dia mengerti apa yang di katakan Ny. Huaxing? Sampai tersenyum dan tertawa bergantian."
"Yang benar?"
"Jangan menggodaku, Tuan Hilston." tekan Rayoen.
"Haha ... aku hanya merasa ada yang berbeda saja."
"Tidak ada yang berbeda," tepis Rayoen.
Setelah bermain golf, mereka berlima lalu duduk di resto yang sudah di persiapkan tempat ini, Tn. Huaxing menandatangani kontrak kerja sama antara perusahaannya dan perusahaan Rayoen, membuat Rayoen dan Henry sejak tadi bertukar pandangan karena senang dengan mudah mereka bisa bekerja sama dengan pemilik salah satu mall terbesar di China ini.
"Terima kasih atas kepercayaan anda, Tuan dan Nyonya," kata Rayoen menyodorkan tangannya.
"Semoga kerja sama ini berlansung lama, ya, Tuan," kata Tn. Huaxing.
"Tentu saja, Tuan, kami akan melakukan yang terbaik," sambung Henry.
"Btw, Tuan Leonidas istri anda sangat cantik dan periang, dia mampu membuat suasana mencair, dia juga terlihat tulus, anda pasti sangat mencintainya dan anda pun pasti merasa beruntung memilikinya," sanjung Ny. Huaxing, Rayoen melihat istrinya dan Lucia memainkan alisnya memberi kode kepada Rayoen. Apa yang mereka bicarakan? Sampai sejak tadi Tuan dan Nyonya Huaxing menatapnya dengan senyum mengambang.
"Xie xie, fu ren (Terima kasih, Nyonya)," jawab Rayoen menundukkan kepala.
Henry pun tersenyum menatap Lucia, Henry juga merasakan hal yang sama yang di katakan Ny. Huaxing. Lucia memang menarik menurut ukurannya. Dan, wanita yang periang.
Setelah pertemuan mereka dengan Tuan dan Ny. Huaxing selesai, mereka pun kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak sebelum acara launching pertama mereka akan di adakan di hotel ini malam besok, Henry sesekali melirik Lucia yang sedang menekuri jalan yang seakan bergulir melewatinya, lewat kaca spion, Rayoen mengangkat sebelah alisnya melihat Henry yang selalu saja mencuri pandang pada istrinya.
Sudah beberapa kali Rayoen mendapati Henry selalu mencuri pandang pada Lucia, seperti memiliki perasaan yang berbeda.
Sampai di hotel.
Lucia berjalan berdampingan dengan Henry, sedangkan Rayoen berjalan duluan di depan mereka... Lucia tak pernah berkedip menatap punggung suaminya itu. Punggung yang indah.
"Karena malam ini kita free, bagaimana kalau kita minum-minum?" tanya Henry kepada sahabatnya, membuat pandangan Lucia mengarah kepada Henry.
"Aku lelah, Hen, perjalanan begitu melelahkan, aku akan tidur saja," jawab Rayoen.
"Bagaimana kalau kita berdua saja, Lucia?" tanya Henry.
"Aku ikut," seru Lucia girang. Mendengar jawaban Lucia, Rayoen berbalik menatap istrinya itu.
"Minum sekali tak akan membuatku lelah. Kalau begitu .. aku ikut!" sambung Rayoen. Membuat Henry tertawa kecil.
Rayoen mulai memikirkan Lucia yang begitu tulus pada Micky apalagi menyadari tatapan Henry pada istrinya.
Sampai di bar, mereka duduk di meja bundar dan menikmati miras yang sudah di siapkan waitres, ada beberapa macam minuman keras, Bir, Wisky, dll.
Henry menuangkan minuman itu di gelas kecil Lucia dan Rayoen.
"Ayo bersulang, demi proyek kita ini," ujar Henry mengangkat gelasnya duluan.
"Ta-da... bersulang," sambung Lucia girang. Wajah Lucia terlihat kecut ketika meneguk minuman itu. Membuat Henry tertawa dan menggelengkan kepala. Wanita yang polos dan mengasyikkan.
"Woah... enak," kekeh Lucia membuat Rayoen menggelengkan kepala.
"Apa kau yakin. Kau kuat minum?" tanya Rayoen kepada Lucia.
Lucia mendekatkan wajahnya ke wajah Rayoen membuat Rayoen membelalak ketika wajah Lucia berada dekat sekali dengan wajahnya, lalu berbisik.
"Sebenarnya, aku - tak kuat minum, aku hanya mencoba minuman mahal ini," jawab Lucia, dengan senyum mengambang lalu menarik wajahnya menjauh dari Rayoen.
"Tambah lagi, Henry." Lucia lalu menyodorkan gelasnya, membuatnya terbawa akan suasana.
"Stop, Lucia! Kau akan mabuk nanti!" tegas Rayoen menggenggam tangan Lucia agar berhenti menyodorkan gelasnya.
"Hussttt ... jangan menghentikan ku," jawab Lucia, melepas genggaman tangan Rayoen.
"Biarkan saja, Rayoen," kata Henry.
"Tapi, dia bisa mabuk berat, Henry. Aku tidak mau sampai dia merepotkan kita."
"Kau khawatir?" tanya Henry, mengernyitkan dahinya.
"Bukan begitu, tapi masalahnya—" Rayoen terlihat gugup sampai tidak bisa melanjutkan perkataannya.
"Jika kau tak mau repot, aku bisa tidur di kamar, Henry!" kata Lucia tanpa berpikir panjang dengan ucapannya, karena mabuk sudah mulai membuatnya ngawur.
"Apa? Kau—" Rayoen terlihat geram.
Henry tertawa terbahak-bahak, ia sangat tahu jika Lucia mulai mabuk.
"Tambah lagi, Henry," kata Lucia.
"Stop, Lucia! Kau bisa mabuk berat nanti, diamlah! Ayo kembali," kata Rayoen hendak menarik Lucia. Namun, Lucia melepas genggaman tangan Rayoen dan tak memperdulikan suaminya itu.
"Ayo, Henry, tuangkan," rengek Lucia.
"Sudah, ya, Lucia. Kau bisa—" ucapan Henry terhenti.
"Ya sudah, aku minum sendiri saja!" rajuk Lucia lalu menuangkan minuman itu di gelasnya sendiri.
Rayoen mendengkus, lalu dengan terpaksa memilih menggendong istrinya ala bridal style dan membawanya paksa meninggalkan bar, tanpa memperdulikan Henry yang sedang melihat kepergiaan mereka.
Sepeninggalan Rayoen dan Lucia, Henry tersenyum kecil.
"Dia berbeda." gumam Henry.