Sehari setelah pernikahan, pagi itu terlihat Melina membangunkan Windy dan menyiapkan Windy untuk bersiap bertemu dengan tamu yang akan memberinya ucapan selamat dari koleganya.
"Mel..." panggil Windy membuat Melina berdiri sigap.
"Iya, Nyonya."
Spontan Windy terkekeh melihat reaksi Melina yang terlihat berlebihan.
"Mel, kalau kita lagi berdua begini. Please dech jangan panggil aku Nyonya. Aku belum pengen dipanggil itu. Lagian berasa tuwir banget, gak sih? Panggil Windy aja, ya?" perintah Windy membuat Melina menggeleng perlahan.
"Maaf, Nyonya. Semua yang saya lakukan sudah sesuai SOP dalam bekerja dari perusahaan kami. Dan Tuan akan murka jika saya bertingkah tidak sopan kepada Nyonya. Saya tidak ingin berada di posisi sulit? Nyonya..." jawaban Melina yang tegas membuat Windy tercengang. "Dan ini adalah aturan yang harus Nyonya lakukan ketika menghadapi tamu nanti, silahkan Nyonya pelajari..." imbuh Melina dengan menyodorkan secarik kertas berisi tulisan penuh, membuat Windy terbelalak melihatnya.
"Sebanyak ini? Tunggu-tunggu! Ini sebenernya nikahnya ngapain sih? Kalau nikah, bisa gak hidupnya normal kayak orang-orang di luaran, atau seenggaknya boleh elegan tapi gak alay gini juga kali, Mel." Windy mulai kesal dengan aturan yang baru saja dia dapatkan.
"Karena Nyonya adalah istri Tuan Swan." Tegas Melina membuat Windy semakin kesal.
"Emang kalau aku nikah sama si bapak tua itu kenapa? Mesti banget harus pakai aturan dan tata tertib gitu? Ayoolah, Mel. Aku itu udah lelah dari SD, SMP, SMP dengan peraturan yang ketat gitu. Caffeek aing!" keluhnya membuat Melina menunduk karena tak memiliki jawaban yang tepat untuk istri tuannya.
Sepasang mata yang sejak tadi mangamati tingkah wanita muda yang tengah mengomel itu akhirnya melangkah memasuki kamar hingga membuat Windy menoleh dengan sorot mata tajam menatap pria itu.
"Nah! Kebetulan banget nih, biang keroknya di sini. Sini deh! Aku mau ngomong..." dengan santai Windy melambaikan tangan kearah pria yang telah menikahinya secara sah.
"Tinggalkan Nyonya sendiri." tegasnya membuat Melina mengangguk hormat.
"Baik, Tuan."
Melina meninggalkan kamar itu dengan langkah cepat. Sedangkan Swan masih berdiri mematung memastikan bahwa asisten sang istri telah meninggalkan kamar.
Windy membelalakkan matanya melihat Swan yang melangkah mendekat kearahnya setelah mengunci pintu kamar itu.
“Hehh! Mo ngapa kamu?” tanya Windy melangkah mundur dengan kedua tangan meraba ke belakang karena takut terjatuh. Dia menelan ludahnya, karena tiba-tiba tenggorokannya kering.
“Akum au melakukan kewajibanku sebagai suami…” ucap Swan sembari menahan tawa melihat tingkah polos wanita yang baru saja dia nikahi.
“Kewajiban apaan? Kamu bukannya mau ada tamu?” Windy mulai panik, jantungnya berdegub kencang. Meskipun dirinya telah memiliki kekasih, bukan berarti Windy pernah berduaan di kamar bersama sang kekasih.
“Aku bisa membatalkan semuanya. Semua berada di genggamanku, jadi terserah aku kapan aku harus menemui tamu…”
Seketika Windy membulatkan matanya dengan sempurna, terlihat kelopak matanya yang indah, membuat Swan menatapnya beberapa detik, lalu memalingkan wajahnya.
“Aduhhh!! Perutku sakit…” seketika Windy memegangi perutnya dan merunduk dengan wajah nyengir seolah kesakitan. Sayangnya Swan bukanlah bocah kemarin sore yang bisa di kelabui begitu saja. Meski sebenarnya pria itu ingin tertawa saat itu, tapi dia berusaha menahannya.
“Kalau kau sakit perut, aku bisa memanggil dokter pribadiku…” Swan meraih ponselnya lalu menekan tombol seseorang.
“Halo. Tolong ke kamar…istriku sedang sakit perut.” Ucapan tegas pria yang telah berhasil menikahinya itu membuat Windy kehabisan akal.
“Tunggu! Aku tiba-tiba pengen ngehirup udara seger luaran. Apakah kau mengizinkanku untuk berjalan-jalan keluar?” tanya Windy membuat Swan menaikkan sudut bibirnya.
“Kenapa? Kau ingin merasakan sensasi malam pertama kita di bawah pohon, kah?” suara itu jujur membuat Windy kehabisan akal.
“Om! Jangan ngawur, dech. Ingat, Om. Om menikahi aku bukan karena menginginkanku, bukan?”
Sorot mata penuh kekawatiran yang terpancar dari mata indah milik Windy membuat Swan merasa ketagihan untuk menggodanya.
“Siapa bilang aku tidak menginginkanmu?” Swan mendekat kearah Windy yang telah terpojok ke dinding, hingga membuat Windy salah tingkah. Wajahnya memerah seketika.
“Ka-kamu, kemarin bilang pengennya nikah sama yang umur tujuh belas. Nah aku ini sudah tua. Umurku sudah Sembilan belas. Jadi, aku ini bukan tipenya Om banget. Ya, kan?” sorot mata Windy penuh harap agar jawaban Swan sesuai dengan keinginannya.
Swan menaikkan tangannya tepat di dinding di samping kepala Windy, membuat Windy semakin ketakutan, karena yang dia tahu seperti adegan-adegan di drama yang dia tonton, ini adalah momen di saat sang pria ingin mulai mencium pasangannya.
Ich! Amit-amit. Jangan sampai bibir perawanku ini bersentuhan ama bibir penuh noda om-om tua Bangka sok hebat ini…
Windy memejamkan matanya sembari menutup wajahnya karena takut. “Awalnya aku memang ingin menikahi wanita yang berumur tujuh belas tahun dan masih waras tentunya. Tapi, ternyata menikahi wanita berumur Sembilan belas tahun yang model begini cukup memacu adrenalin juga…” bisik Swan tepat di telinga Windy, membuat wanita itu tak kuasa menahan diri.
“Yang benar saja, Om! Please, jangan plin-plan jadi orang. Tar nyesel, loh. Udah paling bener nyari pasangan umur tujuh belas. Biar dah aku jadi janda di usia muda. Aku ikhlas…” Windy memohon kearah pria yang ada di hadapannya. Tentu saja kalimat sang istri membuatnya ketawa. Ya, Swan tertawa kali ini, bahkan tawanya terbahak-bahak. Sebuah fenomena langka sebenarnya bisa di nikmati suara tawa Swan Arhur Livingston. Tapi bersama Windy, entah mengapa dia merasakan emosinya naik turun, sehingga membuatnya menyukai berada di sekitar istri sahnya itu.
“Aku adalah pria yang tidak mungkin menceraikan istri sahku. Itu makanya selama ini aku memilih menikah siri. Itu adalah prinsip hidupku…” bisikan suara Swan membuat Windy membuka matanya dan menatap tajam Kearah pria yang baru tadi malam menikahinya.
“Apaaa?! Kau sudah pernah menikah bawah tangan sebelumnya? Jadi, kau sebenarnya adalah seorang duda?!” tanya Windy tak lagi peduli dengan pria di hadapannya. Kini dirinya justru berdiri tegak di dapan pria itu seolah dirinya hendak melabrak pria tampan itu.
“Ya. Aku telah memiliki istri. Dan aku beberapa kali bercerai dengan wanita-wanita yang pernah aku nikahi.” Jawaban santai yang keluar dari bibir Swan membuat Windy semakin gusar. Entah mengapa dia merasa kesal dengan kenyataan itu.
“Apaaa?! Sudah berkali-kali menikah siri? Dan sekarang posisinya masih memiliki istri siri?” wajah menegang Windy dirasakan oleh Swan, terlebih matanya yang menatapnya tajam. Membuat Swan semakin merasa senang dengan kemarahan sang istri. “Trus nekat nikah ama aku? Are you kidding me, Dude?!” Windy mengibaskan tangan pria itu lalu berjalan menuju kursi.
“No. Aku menikahimu karena ingin. Dan aku telah berjanji dengan kakekmu.” Swan mengejar istri kecilnya itu yang tengah bereaksi berlebihan melihatnya masih menikah. Selama ini wanita-wanita yang dia nikahi tidak pernah protes atau merasa marah atas pernikahannya. Atau alasan dia masih belum menceraikan istri siri pertamanya Indah Nurmalasari.
“Yaashhh!! Jangan mendekat! Aku tidak sudi dekat dengan wanita yang bahkan masih memiliki istri lain. “ tegas Windy dengan dahi berkerut. Dirinya merasa terkejut dengan reaksi yang dia perlihatkan pada pria yang baru menikahinya.