Stalking Aurora

1440 Words
Ia mengklik profil Jessen Prakasa dan meminta pertemanan padanya, begitu pun pada Aurellia ia juga meminta pertemanan. “Apa ini tidak terlalu jelas? Gue add mereka berdua di waktu yang sama? Ahaha kepikir gak ya kalau gue mau rebut Aurellia? Ah masa iya, gue masih becanda soal merebut tapi rasa-rasanya Aurellia itu tipe gue selama ini” gerutu Marcellinus perlahan Sebuah tangan tiba-tiba mendekat ke arah telinganya, dingin dan membuat  Marcellin kaget bukan main. “Ahhhh” teriaknya terdengar begitu sangat keras “Ha-hantuuu” Marcellin menjauh dengan mata yang tertutup “Apa hantu hantu hah? apa juga yang barusan kamu bilang Bima? Rebut? Rebut cewek ya? Jangan main main sama yang namanya cewek dulu sebelum kamu sukses! Kamu harus berguna dulu buat keluarga dan stop menjadi beban! Ingat itu” teriak ibu Marcellinus keras Marcellinus menunduk “Satu lagi yang membuat percaya diri gue hilang, sebenarnya tidak ada satu pun yang bisa membuat gue bangkit dengan semangat kecuali cita-cita gue” pikir nya dalam hati “I-iya bu” lirih Marcellinus pelan “Ibu sudah siapin semua kebutuhan kamu buat jualan di dapur, jadi kamu tinggal selesaikan usaha kecil-kecilan mu itu ya.. badan ibu rasanya sakit karena habis pulang kerja di pasar” lirihnya pelan Marcellinus menatapi ibunya khawatir “Ibu siapin semua kerjaan Bima?” “Iya” jawabnya pelan dan masuk ke kamarnya Marcellinus tersenyum “Terima kasih bu, nanti Bima belikan obat yaa sekalian antar pesanan” jelas nya lalu berlari ke dapur “Iya” lirih ibunya                                  Dia lah Marcellinus Bima Leander, anak yang di sapa Marcellin oleh teman-teman dan orang-orang sekitarnya. Kecuali ibundanya yang selalu memanggilanya Bima. Dia anak seorang janda dengan rumah minim di dalam rumah padat di dalam kota. Banyak yang menyukainya karena ketampanan dan ketekunannya saat bekerja ya dikalangan remaja tentunya, dan sebagian orang tua kadang-kadang mencemoohnya karena keadaan dirinya dan ibundanya. Marcellinus atau Bima ini sedang merintis usaha cemilan lezat yang lumayan laris di pasaran dan di warung warung, Bima bekerja sendirian untuk biaya sekolah dan kebutuhan hidupnya bersama ibundanya. “Satu, dua, tiga, empat, ………. Dua puluh lima… lima puluh lima” Marcellinus menghitung semua produk buatannya itu, satu bungkus biasa dia jual dengan harga 5000an “Wow! Meningkat” senyum Marcellinus lalu memasukan semua itu ke dalam 4 box dan masing-masing dua box dimasukan ke dalam satu kantong keresek Setelah semuanya selesai, Marcellinus kemudian menatap ke arah jam dinding “Sudah pukul setengah enam” ia Nampak memikirkan sesuatu “Apa mereka udah pada pulang ya? Gue jangan sampai ketauan, gue gak enak aja kalau mereka tau gue jualan. Ah iya, masker!” senyumnya bangga lalu kembali bergegas Marcellinus membawa dua bingkisan itu di masing-masing tangannya dan segera keluar dari dalam dapur segera menuju ke ruangan tv, di bawah tv ada lemari kecil dengan dua pintu. Disanalah tepatnya baju-baju Marcellinus tersusun rapih dan bersih. Marcellinus membawa satu celana hitam, kaos putih polos dan jaket kulit panjang yang baru dibelinya kemarin. Penampilan yang menawan untuk seorang pedagang makanan ringan ke pasar. Namun tidak dapat dipungkiri Marcellinus sangat menyukai penampilan dirinya yang rapih sesuai dengan style yang disukainya. Sehingga penampilannya yang menawan ini mampu memikat hati siapa pun, termasuk ibu-ibu pasar yang sering memujinya karena ketampanan dan ketekunannya. Setelah berganti baju dengan sangat rapih tak lupa dengan parfumnya juga akhirnya dia pun melangkahkan kakinya ke kamar bundanya “Bu, Bima berangkat dulu ya! Mau pesan apa buat makan malam nanti?” sahutnya menatapi ibunya yang sedang terbaring di tempat tidur kecil “Sate aja Bim, sekalian sama beras ya! Stock beras kita sudah habis” lirihnya Marcellinus tersenyum “Siap ibu Negara, Bima berangkat ya” ujarnya lalu pergi keluar dari rumahnya “Ahh senangnya, pesanan meningkat pelanggan makin banyak juga! dengan begitu kebutuhan sehari-hari sudah cukup terpenuhi dan sisanya gue bisa nabung” senyumnya sembari menyusuri jalanan yang sudah gelap dan dicahayai oleh lampu-lampu jalanan Rumah Marcellin dan Ibunya tepat berada di pusat kota jadi kemana-mana rasanya sangat dekat dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, orang-orang disana juga sebagian besar lebih suka berjalan kaki untuk mengurasi polusi di kota mereka. Marcellinus berbaur dengan orang-orang yang juga berjalan kaki dan Nampak sibuk dengan aktifitasnya juga, namun saat mereka sadar Marcellinus melewat sontak saja semua sorotan mata tertuju padanya. Bagaimana tidak? Marcellinus yang memakai setelan jaket kulit panjang yang balance dengan jeans hitam sangat cocok untuknya. Tatanan rambut yang rapih mampu membuat semua pria ingin mengikuti style rambutnya. Meski dia juga mengenakan masker hitam namun auranya tidak bisa hilang begitu saja. Karena saking seringnya keluar di jam-jam segini Marcellinus tentu saja di kenal oleh orang-orang yang sering berlalu lalang. Karena pertama kalinya dia “Ih calon CEO Marc-BL food itu kan?” “Iya kan? Dia Marcellinus penjual makanan ringan yang ada di pasar” “Wow, mengenakan masker saja auranya tetap terasa ya” “Iya masih kelihatan tampannya” Marcellinus tersenyum manis sambil mengangguk-angguk “Ahh terima kasih” jawabnya ramah “Apaan ganteng doang” “Kerja dek biar gantengnya ketulungan” “Percuma ganteng kalau hanya beban haha” Ujaran beberapa bapak-bapak yang melewatinya, Marcellinus hanya terdiam “Udah tau, makanya gue sekarang berjuang! Kalo gak tahu seberapa besar pengorbanan seseorang mending diem aja bapak-bapak pemabuk yang terhormat yang lebih engga berguna” pikirnya menjawab sangat kesal Marcellinus tipe anak lelaki yang sangat berani dan bisa saja melawan siapa pun yang berani mengusiknya jika sudah terlewat batas. Namun jika bisa dia mencoba untuk tetap meredam amarahnya. Akhirnya dia sampai di pasar malam yang sudah ramai pengunjung itu, ia menemui ruko-ruko yang biasa memesan pesanannya. Setelah begitu lama berinteraksi dengan orang-orang pasar akhirnya dia mendapat uang setelah menjual semuanya. Ia segera bergegas ke mas-mas tukang sate yang ada di ujung pasar “Nah itu sate kesukaan ibu, kayaknya ramai banget pengunjungnya” ujar Marcellinus yang sekarang sudah tidak membawa jinjingan lagi “Rame banget mas?” sahut Marcellinus pada bapak-bapak yang tengah sibuk membolak-balikan sate Ia menoleh ke arah Marcellinus “Eh Bima? Alhamdulilah nih rame mulu” senyum pak Somat “Alhamdulilah” tambah Marcellinus sembari melihat sekitar 8 orang yang tengah menunggu sate pak Somat itu Marcellinus menatap pak Somat “Sini saya bantu pak” ia mengolesi sate mentah dengan bumbu khusus yang sudah pak Somat racik “Bima anak ganteng yang baik, makasi ya Bima” senyum pak Somat Marcellinus mengangguk “Sama-sama pak” “Alhamdulilah selesai juga” ujar Pak Somat yang sedang rebahan di bawah gerobaknya Marcellinus membuang nafasnya berat “Capek juga ternyata ya haha” “Mau kerja apa pun cape nya pasti tetep ada Bim, maka dari itu kamu harus terbiasa” ujarnya Marcellinus mengangguk “Benar pasti ada capeknya, oh iya pesanan saya sudah pak?” Tanya nya “Udah noh, bapak udah tambahin satenya itung-itung upah haha maaf dikit ya” pak Somat menunjuk sekeresek sate yang sudah di siapkannya “Oh yang ini pak? Ini uang nya Bima taroh di sini ya” ujar Marcellinus sembari membawa bingkisan itu lalu berlalu pergi Pak somat menggelengkan kepalanya “Gak usah bayar Bim! Oy Bima! Gak usah bayar” teriaknya menatapi Marcellinus yang berlarian cepat “Yang namanya usaha tetep usaha pak, harus ada untungnya kan. Makasi sate tambahannya juga pak ibu pasti suka nih” teriak Marcellinus dari sana sembari tersenyum merekah Pak somat tersenyum “Dia itu, sama banget kayak ayahnya haha” “Aku yakin dia akan jadi orang besar suatu saat” lirihnya lagi ***** Marcellinus pulang dengan langkah santai menyusuri jalanan yang agak gelap “Hmmh seperti biasa, udara malam yang dingin dengan orang-orang yang hidup di sekitarnya dipenuhi dengan otak sampah” gerutu Marcellinus saat melihat sekumpulan lelaki yang duduk di halaman gelap dengan meminum-minuman keras dan mabuk di sana Marcellinus menyeringai “Sampah-sampah itu memang pantas hidup seperti itu, sudah di cap sebagai penjahat di tambah lagi memperjelas semuanya di depan umum. Aghh! Membuat gue jijik saja” kesalnya namun mereka sama sekali tidak sadar dengan keberadaan dan perkataan Marcellinus “Lupakan, gue juga banyak kerjaan yang lebih berguna” ujarnya lalu mencoba untuk beranjak pergi Namun tiba-tiba seorang anak lelaki berkaos tim futsal yang seusia dengannya datang ke arah bapak-bapak yang mabuk itu. “Wahyu?” sahut Marcellinus sangat pelan “Pak! Udah lah ayo pulang ke rumah, ibu marah-marah!” teriak Wahyu sembari menarik tangan salah satu bapak-bapak yang di panggil pak olehnya Marcellinus mengerutkan keningnya “Bapak? Itu bapaknya Wahyu?” gerutu pelan “Wahyu! Apa-apaan sih hah? gak liat apa bapak lagi seneng-seneng jangan jadi anak durhaka kamu hah! cepat pulang” teriak dia sembari melepaskan tangan Wahyu yang menempel di bahunya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD