Bab 4 Jangan-jangan.

1054 Words
Tiba tiba langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar almarhum neneknya, ia mematung disana, tanganya terulur menyibakan tirai usang yang terpasang disana, matanya berkaca kaca ketika ia dapati tempat tidur sang nenek yang kosong. Ia teringat tadi malam masih berbincang bincang dengan sang nenek. Qiran pun akhirnya memutuskan untuk segera pergi dari sana dan masuk kedalam kamarnya, sebelum ia teringat lebih lagi. Dengan segera mengganti pakaianya yang basah, dan merebahkan tubuhnya yang lelah diatas tempat tidur kerasnya, kedua matanya menatap keatas menerawang ke langit lngit kamarnya. "Nenek, karena nenek akan pergi meninggalkanku, makanya nenek memberikan semua uang tabungan nenek itu ya? andai semalam Qiran mengerti dan tahu akan hal ini, Qiran akan terus bersama nenek, Qiran akan menemani nenek terus, nggak akan ninggalin nenek jualan ke pasar, bahkan. Bahkan...aku akan langsung membawa nenek ke rumah sakit supaya mendapatkan obat dan pertolongan. Qiran benar benar menyesal nek, Qiran begitu bodoh! Qiran..." Ucap Qiran sembari menangis terisak. Sepi, hening yang siang menjelang sore itu Qiran rasakan, seluruh tubuhnya serasa tak bertenaga, sakit, sakitnya melebihi ribuan pukulan yang ia raskan, hingga sayup sayup matanya mulai menutup, dan tertidur. "Kruyuuuuukkkk...." Baru sebentar saja Qiran memejamkan matanya, tiba tiba terdengar suara perutnya yang keroncongan, ia lupa sedari tadi belum mengisinya sama sekali. "Aku malas bangun." Dengus Qiran yang tidak menghiraukan lapar perutnya, hingga ia teringat sang nenek, mungkin jika saat itu neneknya masih ada, pasti dia adalah orang yang paling cerewet saat mengetahui Qiran belum makan. Lalu ia pun bangun, berusaha menuju kedapur, mengambil satu bungkus mie instan dan menyeduhnya, lalu memakannya dengan membayangkan sang nenek masih menemaninya. Tanpa terasa tujuh hari pun sudah terlewati begitu saja, Qiran melakukan aktivitasnya seperti biasa, namun ia hanya membuat gorengan dan menjualnya, tidak menggantikan pekerjaan sang nenek, karena bagi Qiran, pekerjaan sang nenek sangat berat, Qiran merasa tak sanggup jika harus melaksanakanya pula. Hari itu, sengaja Qiran libur tidak berjualan, ia memutuskan untuk bersih bersih rumah, sampai ia menemukan kotak gelang antik miliknya, gelang yang diberikan almarhum sang kakek padanya, bahkan sebelum nenek pergi pun masih mengungkit dan mengingatkan pesan kakek terhadap gelang tersebut. "Sebenarnya apa yang spesial dari gelang ini sih? Kenapa kakek bersikeras nyuruh jagain? nenek pula! bilang suruh nyimpan, nggak boleh di pakai, emang kalau aku pakai aku bisa ngilang? atau aku bisa terbang?" Ucap tanya Qiran dalam hatinya, sembari tanganya membuka kotak gelang tersebut, mengambil gelang nya dan mengamatinya secara seksama. "Nggak ada yang spesial! Gelang ini biasa saja, cuman antik doang." Ucap Qiran sembari menyisir mengamati disetiap incinya, namun saat ia akan meletakanya lagi kedalam kotak wadah tempat gelang tersebut, sesaat ia melihat sesuatu tulisan yang timbul di bagian dalam gelang, gelang perak dengan ukiran yang khas dan sangat antik. "Apa ini?" Ucap Qiran sembari mengamati bagian yang ada tulisan di dalamnya. "Sebuah alamat? Jalan B.Yuono nomer enam belas." Ucap Qiran yang membaca tulisan didalam ukiran gelang tersebut. Disana tertulis lengkap semua nama Desa, kelurah, kecamatan, sampai kota yang Qiran baca. "Akh, mungkin hanya sebuah alamat." Ucap Qiran lalu menyimpanya kembali kedalam wadah dan meletakan wadah itu kembali kedalam laci almari pakaianya, membiarknya saja tanpa kepo untuk mencari alamat yang tertera disana. Hingga genap satu minggu waktu berlalu setelah Qiran melihat alamat yang ada di balik bagian dalam gelang peninggalan sang kakek, alamat tersebut sudah melekat pada otak Qiran. Hari hari Qiran lewati seperti biasa, bahkan ia rasakan sangat kesepian tanpa siapapun yang bisa ia ajak ngobrol saat berada di dalam rumah, jika diluar rumah, ia mendapat hiburan dari orang orang yang membeli gorengannya, namun setelah sampai rumah, ia ingin terus menyibukan dirinya agar lupa akan kesendirianya. Qiran menuju ke dapur, ia merasa perutnya lapar setelah pulang berjualan, ia lupa bahwa ia belum membuat makanan untuk ia makan, ia terlalu sibuk bahkan untuk makan. Kakinya tiba tiba terhenti saat berada di pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makannya, bayangan sang nenek sekelebat berada disana, tengah memanasi sayur yang akan Qiran makan. "Nenek!" Teriak Qiran seraya air matanya mengalir deras, ia menangis bukan karena teringat sang nenek, namun kala itu hatinya sakit, rupanya banyak tetangga yang memberi saran padanya agar segera menikah saja, daripada ia harus bersusah payah hidup sendirian, sedangkan Qiran masih ingin meraih mimpinya untuk kuliah, mengabulkan keinginan sang nenek pula untuk menyelesaikan kuliah, sedangkan saat itu. Ia belum sekalipun mendaftar untuk kuliah. "Haruskah Qiran mengubur semua keinginan nenek? Qiran tak sanggup lagi nek! Qiran tak bisa menikahi lelaki yang tidak Qiran suka, Qiran sungguh sudah tak sanggup nek, Qiran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi!Qiran merindukan nenek. Qiran kesepian nek!" Ucap Qiran sembari berlari menuju ke kamarnya dan mengusap usap kedua matanya yang berair, seketika itu pula rasa laparnya sirna. Ia menuju kearah almari pakaianya, memastikan kembali alamat yang tertera pada gelang tersebut, lalu mengemas beberapa pakaianya untuk ia bawa esok ke kota, ia sudah bertekad untuk mencari alamat yang terukir di bagian dalam gelangnya. Tak lupa ia pun mengambil beberapa potong pakaiannya dan memasukanya kedalam koper usang milik almarhum sang kakek, yang dulu pun pernah di buatnya untuk bepergian, koper satu satunya yang Qiran miliki. Qiran pun tahu cerita tersebut dari sang nenek, bahwa dahulu kakeknya sering ke kota untuk melakukan perjalanan dagang, dan bersama temanya, pulang pulang jika sudah dua minggu atau bahkan satu bulan. "Aku nggak boleh hidup seperti ini terus, aku harus berusaha menemukan alamat itu secepatnya, harus!" Ucap dalam hati Qiran yang sudah benar benar mantap akan apa yang ia lakukan esok. Setelah mengemas semua barang barangnya, Qiran pun menuju keatas ranjangnya, segera merebahkan tubuhnya disana, ia berniat tidur lebih awal agar esok ia benar benar siap untuk semua konsekuensi yang akan ia hadapi. Hingga waktupun sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun nyatanya ia tidak kunjung untuk mengantuk, alamat tersebut benar benar mengusik di benaknya. "Jangan jangan ayah dan ibu ku masih hidup? Atau jangan jangan aku bukan anak ayah dan ibu? aku anak pungut? aku anak dari keluarga yang beralamat di gelang tersebut? akh...atau, kakek punya istri lain? Nggak mungkin! apa jangan jangan nenek punya anak selain ayah? mungkin saja, atau...aku punya saudara kembar yang tinggal disana?" Pertanyaan, pertanyaan yang tiba tiba muncul dan memenuhi otak Qiran, hingga membuatnya tidak bisa memejamkan matanya. Kicau burung mulai bersahutan, namun suara ayam berkokok nampak belum terdengar, terlihat gadis cantik dengan selimut tebalnya tengah masih meringkuk menikmati tidurnya di atas ranjang usang dan terlihat keras, namun tidak membuatnya merasa tak nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD