Eps 8

1158 Words
Sabtu pagi. Bella menikmati bubur ayam yang tadi ia beli di warung Bu Sela. Bukannya malas memasak, tapi kebetulan gasnya habis saat ia mau masak air untuk membuat teh hangat. Terpaksa deh, harus beli sarapan. Udah jadi kebiasaan sejak kecil, kalo pagi selalu sarapan, jadi kalo nggak sarapan dia nggak bisa fokus kerja. Klunting! Bunyi pesan wa masuk membuatnya mendongak, menatap ponsel yang berkedip diatas lemari plastik. Tak segera membuka pesan itu, ia memilih menghabiskan sarapannya lebih dulu. “Bel, ditungguin tuh.” Asti muncul diambang pintu yang terbuka sedikit. Kening Bella berkerut. “Siapa?” “Bocil elo.” Asti terkekeh, berlalu meninggalkan kamar Bella. Mata Bella melotot, segera meraih ponselnya. Lalu dengan cepat tangan itu membuka aplikasi hijau. [gue didepan gang.] Pesan singkat dari Alan yang cukup jelas jika ia ingin nganterin Bella ke tempat kerjanya. “Iisshh, beneran nekat! Dasar bocah tengil!” gerutunya dengan kesal. Bella membawa mangkuk bekas makannya kebelakang. Menaruh didalam ember, lalu cuci tangan. Kembali masuk kedalam, ngambil tas dan segera melangkah keluar kamar. Mengunci kamar sebelum akhirnya berjalan keluar dari gerbang. Alan tersenyum nyengir saat melihat Bella berjalan kearahnya. Terus memperhatikan wajah Bella yang terlihat cemberut. Nggak ngomong apapun, hanya terus natap Bella, dan itu sudah cukup membuat Bella jadi salah tingkah. “Ngapain liatin aku gitu?” Bella menatap lain arah, ngambil helm warna hijau yang diulurkan Alan. “Tante cantik banget. Pagi-pagi ngeliat wajah tante, bikin gairah hidup gue membara.” “Al!” terlihat kedua pipi yang memerah, sangat malu. Lalu mulut itu kembali manyun. “Paling bisa, ngegombal gitu. Huufft ....” Alan terkekeh, tambah lekat natap Bella yang kesulitan pakai helm. “Sini gue bantuin.” “Enggak.” Tolaknya cepat. “Gue nggak bakalan sentuh. Kek baru pertama kali ketemu aja.” Akhirnya Bella nurut, membiarkan Alan membantu memakaikan helmnya. Untuk pertama kalinya ada seorang lelaki bertatapan dengan jarak yang sangat dekat dengannya. Sengaja ingin menikmati wajah Bella lama, Alan hanya dia menatap wajah cantik itu. “Tan, janji ya.” Ucapnya tepat didepan wajah Bella. “Apa?” “Kalo mau nikah, nikahnya sama gue aja ya.” Mata Bella terbelalak dengan mulut yang sedikit terbuka. Membuat Alan makin gemas. Lelaki normal yang baru mengalami pubernya, tentu mikir kesana. Segera mengancing helm dibawah dagu Bella. Lalu mengacak rambutnya kasar. “Astaga, gue ngebayangin rasanya.” Bella yang tak tau apa-apa, tetap diam. Memegang bahu Alan untuk kemudian naik ke boncengan belakang. Kali ini Bella memakai celana, jadi bisa dengan mudah untuk membonceng motor Alan. “Udah, yuk.” Interupsinya saat sudah duduk nyaman. Tak begitu lama, motor hijau itu melaju pelan meninggalkan area kontrakan Bella. Tanpa mereka tau, sebuah mobil hitam mengikutinya di belakang. “Semalam omnya tante balik lagi enggak?” tanya Alan sedikit berteriak. Bella sedikit mepet. “Enggak. Emang kenapa?” “Nanya aja.” Tak ingin Bella merasa takut akan bahaya yang mengancamnya, mending nggak ngomong apapun. Semalam, sebelum beranr-benar pulang, Alan sudah memberi pengumuman pada warga kampung tentang Riko yang berusaha menerobos masuk. Mengancam seorang wanita yang nge kost di kampungnya. Warga kampung mulai berjaga-jaga mengawasi gang terdeka. ** Berhenti tepat didepan gerbang pabrik, Bella turun dari boncengan. Seperti tadi, Alan membantu melepas penait helmnya. Semua mata yang ada disana tertuju pada Bella, lalu berbisik-bisik. Alan hanya memicing melihat perlakuan teman-teman kerja Bella. “Pulang jam empat, kan? Nanti gue jemput.” “Al, nggak usah.” Tolak Bella yang merasa tak nyaman. “Mau pulang naek mobil kek kemarin lagi ya?” Bella melotot. “Enggak kok.” “Yaudah, nanti sebelum jam empat gue tunggu diwarung yang kemarin.” Mengedipkan satu mata, melambaikan tangan dan memutar motor, kemudian berlalu dari hadapan Bella. “Iiishh, kebiasaan! Nggak pernah ngucap salam sebelum pergi.” Ngomel sama bayangan Alan. Menatap punggung bocah itu hingga asap motornya menghilang. Tanpa ia sadari, bibirnya mengulas senyum yang entah, apa artinya. Bella melangkah masuk ke gerbang, tersenyum sambil menundukkan sedikit badan saat berpapasan pada pak satpam. Bella melanjutkan langkah menuju tempat biasa ia absen finger, antri dengan beberapa orang, setelahnya ia berlalu menuju pintu lift. “Tadi siapa, Bel?” Susan, salah satu karyawan yang bekerja dibagian accounting, berdiri disamping Bella. Bella tersenyum. “Tumben, kamu berangkatnya agak pagian.” Bukannya menjawab, Bella malah balik nanya. Susan tersenyum, menyadari sesuatu. “Pantesan selalu nolak kalo diajakin makan diluar sama Pak Aksa. Ternyata selera lo yang lebih muda ya.” Goda Susan. Seketika, kedua pipi Bella merona. Mendorong lengan Susan pelan. “San, apa sih. Jan bikin gosib dong.” Elanya berbisik. Ting! Mereka berdua masuk, Susan melingkarkan tangan kelengan Bella. “Tunggu!” Saat pintu lift hampir tertutup, teriakan seorang lelaki membuat tangan Bella menghalangi pintu, hingga pintu itu kembali terbuka. Bella dan Susan terbelalak saat mengetahui si pemilik suara adalah Aksa. Atasannya yang telah lama jomblo itu masuk bersama Evan dan Pandu. Setelah ketiga lelaki itu berada didalam, Bella kembali memencet tombol lift. Suasana didalam lift terasa sangat canggung. Karna diantara mereka tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun. “Bel, nanti kamu temani saya ketemu clien makan siang di hotel ya.” Suara Evan menggema dalam keheningan. “Iya, pak.” Jawab Bella sedikit menundukkan kepala. “kamu tadi berangkat pagian, Bel.” Kali ini Pandu yang ngomong. “Iya, Pak. Soalnya ada beberapa pekerjaan yang kemarin belum kelar.” “Padahal tadi Aksa ke kost’an kamu dulu lho, Bel. Kasihan, nggak— aakkgg!” Pandu meringis, memegangi sisi perutnya. “Sakit, bego!” nimpuk kepala Aksa. Dengan wajah yang merasa sangat bersalah Bella menghadap Aksa. “Saya minta maaf ya, pak.” Aksa menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal. “Iya, nggak apa, Bel.” Sementara Evan, Pandu dan Susan diam dengan menahan tawa. Tak begitu lama, pintu lift terbuka, mereka yang berada didalam segera keluar dan menuju ruang kerja masing-masing. ** Seperti janjinya, jam empat kurang sepuluh menit, ia sudah standby didepan warung itu. Masih dengan seragam sekolah yang tertutupi jaket jeans warna biru light. Bocah tengil itu duduk nyaman diatas motornya, tangannya sibuk memainkan ponsel. [tante, gue udah didepan] send tasya. Nggak perlu nungguin pesan udah kekirim, atau kebaca. Alan segera memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Membuka bungkus permen dan mengulum permen karet yang tadi ia minta dari Pasha. Mata Alan mengawasi kesetiap arah yang tentu ia ingin tau apa aja yang ada disekitar tempat kerja Bella. Tanpa sengaja, metanya menangkap mobil hitam yang nomor platnya sudah ia hafal. “Bangke! Beneran ngincar tante Bella tuh orang. Keknya beneran harus dikasi pelajaran deh.” Mengepalkan tangan bersiap untuk membogem lelaki yang dengan sangat santai membuang asap dari mulut itu. “Al!” seru Bella dari sebrang jalan. Alan menghentikan langkah. Kembali kesamping motornya dan menunggu Bella nyebrang jalan. Bella celikukan ke kanan kiri, setelah kendaraan sepi, ia mulai melangkah nyabrang jalan. “Tante! Awas!” teriak Alan cukup kencang. Sebuah mobil yang tadi sempat ingin Alan samperin, dengan sengaja melaju kencang kearah Bella. Brrakk! “Tante!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD