"Rania, dulu saat kita bertunangan, apa kamu pernah sebahagia dokter Ayudia saat seseorang memanggilmu calon istriku?" Leherku menegang saat mendengar pertanyaan tanpa tahu malu dari Saka, suapan nasi yang masuk mulutku seketika tertelan, tersangkut di tenggorokan dengan sangat menyakitkan, perlu usaha yang sangat keras untukku bisa menelannya. Betapa bodohnya pertanyaan Saka, betapa minim empatinya dia saat bertanya hal yang sebenarnya sudah dia tahu jawabannya. Bersama pria yang aku cintai nyaris seumur hidupku, yang menjadi pengisi mimpiku selama bertahun-tahun, yang kini sebentar lagi akan bergelar menjadi mantan, pantaskah aku dan Saka berbicara tentang perasaanku di masalalu? Lebih daripada sebuah kecanggungan, rasanya sangat mencekam dan mencekik. Untuk sesaat aku seperti sulit b