POV Adam
Kalau Mama sampai tahu, wah bisa malu aku dikira anaknya ini sudah ngebet pada Lana yang sedang datang bulan. Tapi, bagaimana caranya agar perbuatanku semalam tidak terlihat oleh Mama? Bagaimana caranya? Aku memijit-mijit kening berpikir. Aku dan Lana terus mondar-mandir sampai akhirnya terdengar ketukan pintu yang membuat kami terlonjak kaget.
Tok tok tok
"Adam, Lana, kalian belum bangun jam segini? Sudah setengah 6, Sayang. Ingat salat subuh tidak boleh ditinggalkan, Dam. Nanti dibakar api neraka kan sakit." Tok tok tok. Pintu kembali diketuk.
"Adam, buka, Nak."
Ucapan Mama membuat Lana tambah cemas. Dia menatapku kebingungan lalu menoleh ke sana-kemari tampak mencari sesuatu.
"Sudah, Ma." Aku menjawab. "Adam dan Lana sudah bangun, aku sudah salat subuh, Lana tidak salat karena datang bulan," kataku. Tidak ada sahutan, aku pun melanjutkan. "Sebentar lagi Adam turun, Ma."
"Ditunggu ya, Nak? Kita sarapan bersama."
"Iya, Ma."
Terdengar suara Mama yang bicara pada simbok berangsur samar menandakan Mama sudah pergi dari sini. Aku menghela napas lega, masing-masing tanganku menyentuh pundak Lana lalu aku bicara padanya.
"Tenang, Sayang. Sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi." Aku mengusap lembut pipinya. Lana mengangguk. Tapi tak lama kemudian, matanya membulat. Dihelanya napas pelan.
"Gak mungkin kita akan terus di kamar kan, Kak? Kan mama nunggu kita di bawah."
Iya juga. Aku menggaruk rambut. Tatapanku dan Lana bertemu. Aku mengangkat telapak tangan yang menghadap atas ke udara lalu menjatuhkannya pelan, tanda bahwa aku pun sama bingungnya dengan Lana.
Tok tok tok tok
Mama datang lagi. Tatapanku dan Lana seketika tertuju ke arah pintu.
"Adam, Lana, ayo bangun sarapan. Umi sudah mandi, lho."
"Iya, Ma, sebentar lagi Adam keluar."
"Sekarang, Dam, mama sudah lapar jadi buka pintunya lalu turun dan kita sarapan bersama."
"Iya, Ma." Lalu kutarik tangan Lana agar dia di belakangku agar tak terlihat oleh Mama. Begitu pintu membuka, Mama menatapku dengan kening berkerut.
"Lana, kenapa kamu sembunyi Sayang? Kamu malu pada Mama?" tanya Mama sambil bergerak mendekat namun aku langsung merentangkan tangan menghalangi Mama mendekati istriku.
Mata Mama sedikit mendelik. "Ada apa denganmu Dam?" Sambil tangannya mendorongku ke samping, aku nyengir saat Mama memperhatikan Lana kemudian berganti menatapku.
"A-daam," ucap Mama dengan gemas sambil melotot. "Mama tau sekarang Lana sudah jadi istrimu. Tapi jika istri sedang mentruasi, ya tidak boleh melakukan lebih dari ciuman, Dam. Lana, kamu dengar ucapan Mama kan? Besok jangan diulangi sayang, ya? Dosa, Nak." Mama memegang tangan Lana dan lagi-lagi ia mendelik padaku.
"Emp, enggak lakukan kok, Ma. Hanya cium saja." Lana terlihat salah tingkah ditatap Mama.
"Iya, mama sok tahu sekali, seperti paranormal," imbuhku yang mendapat tatapan tak percaya dari Mama.
"Serius Ma, tidak bohong." Aku meyakinkan Mama dengan mengangkat dua jari ke udara.
"Memangnya Adam banteng main seruduk? Tidak, Ma, Adam tahu aturan."
"Syukurlah jika kamu tau dosa, Syaang." Mama menghela napas tampak lega. Kemudian ditariknya tangan Lana keluar kamar.
"Ayo Sayang kita sarapan." Mama menoleh memandang Lana sementara aku masih di kamar dicuekinya. Nasib. Aku pun membuntut di belakang keduanya yang menuruni tangga dengan pelan.
"Pagi, Umi," sapa Lana setibanya kami di ruang makan. Umi yang duduk di kursi langsung menoleh kemari. Senyum bocah berambut dikepang dua itu terkembang lebar lalu ia menjawab sahutan Lana.
"Pagi juga, Nda. Pagi, A-yaaah." Umi menyapa, aku tersenyum padanya.
"Pagi juga anak ma-niis." Kuusap kepalanya, menggeser kursi di sebelah Lana lantas mendudukinya. Lana duduk di samping kanan sementara Umi di samping kiriku. Mama di seberang kami.
Lana mengambil nasi kemudian mengulurkannya padaku. Aku tertegun memandangnya.
"Kenapa, Kak?"
"Tidak, Sayang." Aku buru-buru meraih piring yang diulurkannya, merasa senang mendapat perhatiannya. Moment seperti ini tak asing bagiku. Dulu sekali, Rifani selalu melakukan ini, mengambilkan nasi. Aku menghela napas saat tiba-tiba teringat mantan istriku itu, selalu bersikap seolah hanya akulah yang dicintainya namun pada kenyataannya dia menjalin hubungan dengan lelaki lain.
Rifani, aku pun bisa bahagia tanpamu. Aku bertopang dagu memperhatikan istriku yang tak kalah cantik dari mantan istriku itu.
"Kenapa, Kak?" Lana terlihat salah tingkah. Ia mengulurkan piring berisi nasi dan lauk pada Umi yang segera diterima gadis kecil itu.
"Tidak papa Sayang, masa menatap istri sendiri tidak boleh?" Aku tersenyum padanya. Lana ikut tersenyum begitu pun Mama.
"Jadi kalian rencananya mau bulan madu ke mana?" tanya Mama sambil menyuap yang membuat anaknya ini langsung memperhatikan menantunya yang seketika terlihat resah.
"Ma, Lana harus kembali ke rumah ibu mertuanya."
Mama menarik napas, wajahnya muram. "Ibu mertua Lana kan sekarang Mama, Dam. Bukan dia lagi."
"Itu benar," kataku.
Lana menggaruk rambut terlihat tak nyaman. "Ibu sakit-sakitan, Ma. Aku udah janji tinggal di rumah mantan ibu mertuaku selama tiga bulan, Ma."
"Apa kamu masih sering berinteraksi dengan mantan suami?" tanya Mama ingin tahu.
"Ma." Aku memandang Mama, memperingatkannya agar tak terlalu jauh karena Lana pasti akan tak nyaman ditodong dengan pertanyaan seperti itu.
Melihat Lana terus diam, mama tiba-tiba tertawa kecil. "Oh maaf ya, Sayang. Mama bertanya seperti ini karena Mama sayang kamu. Mama peduli padamu dan Adam," jelas Mama diakhiri senyum kecil.
Lana mengangguk. "Aku selalu bertemu dengan mantan suamiku, Ma, tapi dia gak tinggal di rumah."
"Oh, syukurlah." Mama mengangguk-angguk. "Jadi Sayang, kamu ingin bulan madu ke mana?" tanya Mama yang membuat Lana lagi-lagi memandangku. Ma, mama, padahal sudah dijelaskan tadi bahwa Lana harus kembali ke rumah ibunya.
"Ma, pada mantan ibu mertuanya, Lana hanya ijin ke Bandung dua hari."
"Ya, ya." Mama mengangguk mengerti, tapi dengan sorot mata tak puas.
"Kalau begitu hari ini kalian bisa senang-senang sepuasnya. Mau makan-makan di luar, kek, ke Ancol atau ke ragunan tidak masalah yang penting bersenang-senang."
"Iya, Ma, tentu," kataku. Lana tersenyum kecil, saat bersitatap dengan Mama, Lana langsung menunduk. Wajah istriku amat terlihat tak nyaman.
"Umi juga mau seneng-seneng sama nenek," ucap Umi yang membuat Mama langsung mengangguk.
"Iya itu benar. Jadi, mama mau ajak Umi beli banyak boneka. Lalu kita akan jalan-jalan juga ke Dufan," kata Mama. Umi mengangguk-angguk. Mama pasti sengaja melakukan ini agar aku dan Lana bisa berduaan.
"Aku takutnya, Umi akan merepotkan Mama."
Mama mengibas tangan di udara. "Tidak sama sekali, Lana. Mama ini dari dulu ingin menimang cucu. Kamu kan sudah jadi istri Adam, jadi Umi otomatis jadi cucu Mama. Umi mau kan panggil tante nenek?"
"Ma-uu!" sahut Umi girang. "Hore aku punya dua nenek ho-reee!"
Aku dan Mama sama-sama tersenyum.
"Yasudah kalau begitu Umi segera bersiap-siap, ya?" kata Mama sembako menatap piring Umi yang sudah kosong. Tanpa disuruh dua kali Umi mengangguk, bergegas menuju kamar yang ditidurinya semalam.
"Kalian juga siap-siap," pesan Mama sambil berdiri.
"Iya, Ma, tentu," sahutku. Di sampingku, Lana menyentuh lehernya. Perbuatannya tak luput dari perhatian Mama ternyata. Tiba-tiba saja wajah Mama berbinar. Ia yang tadinya hendak melangkah pergi kini mendekat ke arah Lana, tersenyum memperhatikannya.
"Ayo, mama punya solusi agar tanda itu tak terlihat, Sayang," ucap Mama dengan wajah berseri tampak begitu bahagia. Lana terlihat heran, namun ia tetap saja berdiri lantas mengikuti langkah Mama menuju kamar. Aku menyugar rambut, jantungku berdetak kencang saat membayangkan yang dilakukan Mama pada Lana. Semoga sikap Lana tak berubah gara-gara ulah Mama.