POV Rifani + Adam
"Jangan hanya janji-janji saja, Van, tapi kamu harus benar-benar tepati ucapanmu! Rujuk dengan Ila dan ceraikan Fani! Ibu benci banget dengan menantu gelap itu!" Nada ibu mengentak-entak, terdengar jelas dari sini.
Aku yang sejak tadi mencari-cari lowongan pekerjaan di internet agar tidak di rumah terus, membekap bibir kuat saat mendengar suara keras ibu, mencoba meredam tangis sebisanya agar tak terdengar.
Ya Allah apa sebegitu besar salahku hingga Kau timpakan ujian ini? Aku ingin bertaubat dengan memperbaiki diri, mencoba menjadi menantu yang baik bagi ibu, tapi ibu selalu saja jutek. Aku tak pernah benar di matanya sama sekali.
"Berjanjilah pada ibu kamu akan ceraikan Fani dan rujuk dengan Ila, Van! Hanya Ila yang ibu mau!"
"Iya, Bu. Iya, aku akan ceraikan Fani jika Ila mau diajak rujuk. Ibu tenang saja. Jangan marah-marah takut darah tinggi ibu kambuh."
"Janjilah Nak, baru ibu tenang. Janji kamu akan ceraikan Fani jika Ila mau rujuk? Ibu akan lakukan berbagai cara agar kamu dan Ila bisa rujuk."
"Iya, Bu, aku janji."
"Janji?"
"Iya, janji!"
Ucapan Mas Rivan yang tegas bagai belati yang menghunjam tajam jauh ke relung hatiku. Sakit. Pedih. Perih. Aku menggigit bibir kuat menahan tangis. Tidak boleh menangis Rifani, ini adalah jalan yang kamu ambil. Ini adalah balasan. Jadi sabar. Sabar. Aku mencoba menenangkan diriku.
Akan tetapi sabar, tak semudah yang dibayangkan. Pada akhirnya pertahananku jebol, aku terisak-isak. Agar tak terdengar noleh ibu mertuaku dan Bang Rivan aku meringkuk menutupi diri dengan selimut, tersengal-sengal.
Bukan pernikahan seperti ini yang kudambakan. Aku bisa memaklumi sikap ibu yang tak pernah menyukaiku, tapi sikap Mas Rivan yang mengiyakan saja permintaan ibu membuatku tak percaya sebegitu mudahnya ia membuangku padahal dulu, aku dimanja disayang-sayang. Bahkan saat aku mulai menyadari kekeliruanku dan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan yang membuat banyak orang terluka ini, Mas Rivan menolak. Mbak Ila sudah memberinya pilihan Mas Rivan menceraikanku atau Mbak Ila minta cerai. Tapi Mas Rivan menolak karena katanya sangat mencintaiku. Mas Rivan tetap ingin aku dan Mbak Ila.
Lalu setelah kami akhirnya menikah resmi, beginilah keluarga kami, Mas Rivan tak romantis seperti dulu. Bahkan terang-terangan di depanku merayu Mbak Ila agar mau rujuk.
"Ibu tidurlah, sudah malam." Suara Mas Rivan kembali terdengar.
"Iya, Van, ini ibu mau tidur."
"Apa Ila tidak jadi ke Bandung, Bu?" Suara suamiku kembali terdengar. Mendengarnya menyebut nama Ila membuat hatiku sakit. Ini salahmu Rifani! Jika kamu tak terlalu khawatir akan hamil setelah kesalahan semalam itu, tentu tak seperti ini jadinya.
"Ini salahku. Salahku. Salahku." Aku terisak-isak. Sesekali tersengal. Dadaku rasanya sakit sekali.
Andai bisa mengulang waktu, aku akan bersabar menunggu satu bulan, memastikan bahwa aku tak hamil setelah melakukan hubungan haram dalam keadaan tak sadar dengan Mas Rivan lalu jika hamil maka meminta tanggung jawab. Seharusnya aku hanya harus meminta KTPnya. Seharusnya begitu. Seharusnya begitu.
Ya Allah kenapa aku harus terlambat menyadari? Bodoh. Aku sangat bodoh. Setelah semuanya menjadi sesal, aku baru menyadari ini. Benar-benar lambat.
"Ya jadi, Van. Tadi waktu ibu menelepon, Rini bilang katanya dia dan Ila baru tiba di Bandung. Ila dan Umi kelelahan jadi langsung tidur."
"Masa sih bu? Ibu yakin Ila di Bandung?" tanya suamiku terdengar tak percaya.
"Ya yakin. Buktinya Ila tidak di rumah sekarang. Memang kenapa, Van?"
"Aku tadi melihat Rini, Bu."
"Kamu salah lihat pasti, Van."
"Tidak, Bu. Aku paham Rini. Atau jangan-jangan mereka tidak jadi ke Bandung, Bu? Bisa jadi Ila tidur di rumah."
"Iya juga ya, Van?"
"Coba aku cek, Bu. Karena aku tadi benar-benar melihat Rini."
"Iya Van, coba kamu cek."
Sesudahnya, hening. Entah ibu sedang apa aku tidak tahu. Aku mengusap air mata di pipi lalu mencoba memejamkan mata, berharap ketika terbangun tak mengingat apa-apa. Sungguh aku rasanya ingin pergi dari sini karena baik ibu maupun Mas Rivan, sama-sama tak menganggapku ada, tapi jika aku pergi, hendak ke mana?
Keluarga yang kumiliki hanya Bibi. Tapi sejak insiden aku dipermalukan dipernikanku, bibi jadi sangat membenciku. Aku masih teringat jelas makian bibi, berkali-kali ditamparnya pipiku disaksikan semua tamu undangan sampai akhirnya seseorang satpam melerai. Satu hari sesudahnya, aku mencoba menghubungi bibi tapi nomernya selalu tidak aktif, itu membuatku luar biasa sedih, membuatku terus bertanya-tanya kenapa bibi tak menyayangiku padahal aku anak kakaknya. Padahal apa yang sekarang dimiliki bibi, rumah juga warung makan adalah peninggalan orang tuaku.
Aku terus mencoba memejamkan mata tapi tetap saja tak bisa terpejam. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu dibuka aku belum juga bisa tidur.
"Bagaimana Van?"
"Ila tidak ada di rumahnya, Bu."
"Itu berarti Ila memang di Bandung, Van."
"Aku benar-benar melihat Rini tadi, Bu. Coba besok kucek toko di mana Rini kerja, dia ada di sana atau tidak. Yang kutakutkan, Ila kencan dengan Adam, Bu, bosnya yang sok-sok an itu."
"Tidak! Ibu tidak akan ijinkan Ila dengan bosnya itu! Ila hanya milik kamu, Van. Hanya milik kamu."
"Iya, Bu, Ila hanya milikku. Sekarang ibu tidurlah, sudah malam ibu pasti lelah."
Hening cukup lama. Lalu terdengar pintu kamar dibuka.
"Sudah tidur?" tanya Mas Rivan. Aku mengusap air mata di pipi lalu menggeleng. Segera beranjak bangun saat merasakan pergerakan di dekatku.
"Mas," kataku.
"Ya?"
"Apa kamu udah gak mencintaiku, Mas?"
Mas Rivan hanya diam memandangiku. Dasar kamu bodoh Fani. Sudah jelas dari sikap suamimu bahwa kasih sayangnya padamu telah luntur. Aku menunduk, mengusap air mata yang menetes jatuh di pipi.
"Ambilah, buat belanja besok." Mas Rivan mengulurkan beberapa lembar warna merah yang kuterima sambil tersengal. Tangan suamiku terangkat lalu mengusap air mata di pipiku.
"Tidurlah, sudah malam." Lalu dia pun merebah, tidur membelakangiku. Aku memeluknya dari belakang, tapi ia mengabaikanku. Sungguh tak manis seperti dulu. Apa Mas Rivan begini karena terus dibujuk ibu? Haruskah aku mengajaknya mencari kontrakan agar ibu tak terus merecoki hubungan kami?
Aku menarik napas, berharap besar sikap suamiku begini karena ibu. Mungkin dengan pindah kontrakan, rumah tangga kami akan kembali harmonis seperti dulu. Maafkan aku Mbak Ila. Aku salah besar padamu, tapi ini sudah terjadi, jadi aku harus mencoba menyelamatkan rumah tanggaku.
POV Adam
"Sayang?" ucapku sambil membelai lembut rambut Lana. Lana menguap, mendongak memandangku yang berbaring miring menghadapnya.
"Yaa?" Ia kembali menguap. "Ada apa, Kak?"
"Adik ingin kita bulan madu ke mana?" tanyaku. Sekalipun dia sedang datang bulan, tidak apalah. Tetap harus ada bulan madu, mencipta kenangan indah setelah menikah.
"Kak, aku pamit sama ibu hanya dua hari, Kak. Besok sore aku udah harus ke rumah ibu."
Besok sore? Yang benar saja, aku bahkan belum puas bersamanya. Jari telunjukku melambai-lambai di depan wajahnya.
"Tidak Sayang, tidak secepat itu meninggalkan Kakak."
Dia menguap lagi. "Aku gak ninggalin Kakak, kita akan sering bertemu saat aku jemput Umi, Kak."
"Oh Sayang." Aku membelai rambutnya. "Tapi kakak belum rela kita berpisah. Bilang pada ibu bahwa Rini belum mau diajak pulang. Namanya ibu hamil harus dituruti keinginannya, bilang begitu, Sayang."
Dia memandangiku lalu menganggukkan kepala.
"Istri pintar." Aku mengecup ubun-ubunnya. Lana tersenyum kecil, lalu dia memejamkan mata, aku terus memandanginya dalam diam, sesekali mengecup keningnya.
"Adik sudah tidur?" tanyaku. Keheningan yang menjawab. Aku kembali menciumnya, dengan d**a tak henti berdebar saat menatap bibirnya yang menggoda.
Kamu benar-benar menyiksa Kakak Sayang.
Siapa yang tidak tergoda dia begitu menarik.
Aku mendekat semakin mengikis jarak, mencium leher jenjangnya, bahunya, rambutnya, dengan d**a terus berdebar. Jantungku berdetak kencang rasanya ingin sekali.
"Sayang kamu pasti sengaja datang bulan kan karena ingin balas dendam pada Kakak?"
Hening, tentu saja. Karena Lana sudah lelap.
"Tenang saja kakak tidak marah hanya sedikit kesal kenapa adik pendendam. Karena kakak memaksa adik menikah, lalu adik sengaja datang bulan? Benar, kan?"
Lagi-lagi hening yang menjawab.
"Kakak terpaksa memaksa adik karena kakak terlalu takut kehilangan adik." Aku memeluknya, memandangi wajahnya yang cantik natural. Semakin lama mataku semakin berat, tambah berat dan akhirnya jatuh tertidur.
Rasanya baru saja tidur, saat merasakan guncangan lembut di bahuku. Aku membuka mata, mendapati Lana duduk di samping kiriku. Melihat rambutnya yang acak-acakan, sepertinya dia baru saja bangun.
"Kakak bangun salat dulu."
Aku mengusap wajah, lalu tersenyum padanya. Sungguh ini seperti mimpi, begitu membuka mata melihat Lana sang pujaan. Dengan rambut acak-acakan seperti itu dia terlihat begitu menarik. Aku pun menarik tubuhnya hingga menimpa tubuhku. Lana membeliak kaget.
"Ka-kaak!" Pekiknya.
"Kenapa Sayang?" tanganku melingkari bahunya lalu aku mengecup keningnya.
"Bukannya segera bangun malah--"
Cup! Aku mengecup keningnya cepat membuatnya berhenti berucap.
"Bangun sudah pa--"
Cup. Kukecup pipinya. Dia sedikit mendelik.
"Kakak bangun," katanya sambil memberontak melepaskan diri. Aku menukar posisi hingga ia di bawah sementara aku di atas menopang tubuhku dengan lutut dan telapak tangan.
"Kakak, bukannya bangun malah--"
Cup.
Lana tak melanjutkan ucapan saat aku mengecup bibirnya.
Tangannya terus mendorongku membuatku langsung memegang kedua telapak tangannya agar dia tak bisa bergerak.
"Ka-kak!" Dia mendelik.
Cup. Bibirku mendarat di keningnya.
Cup. Di pipinya.
Cup. Di matanya.
Cup.
Cup.
Cup. Di mana-mana.
"Kak, lihat itu sudah setengah enam." Lana menunjuk jam membuatku akhirnya melepaskannya karena harus mandi dulu ulah semalam. Jangan berpikir kami melakukan hubungan suami istri, yang sudah menikah pasti tahu.
Selesai mandi keramas, aku segera salat sementara Lana gantian masuk kamar mandi. Ia keluar sudah berganti baju, pasti masih malu berganti baju di depanku. Aku tersenyum memperhatikannya.
"Kenapa, Kak?" tanyanya sambil meraih sisir, ia melangkah menuju meja rias penuh dengan make up, itu semua mama yang siapkan. Lana menghadap cermin dan matanya melebar kaget.
"Kakak, bagaimana aku akan keluar kamar dengan kondisi seperti ini?" Ia menunjuk lehernya penuh beberapa titik merah yang membuatku nyengir kecil. Iya juga, bagaimana caranya dia keluar dengan kondisi seperti itu?
Aku menggaruk rambut memikirkannya, pasti akan malu sekali pada mama, pasti.
"Gimana ini, Kak?" Lana terlihat gelisah.
"Kakak juga bingung, Sayang."
Dia menatapku menyalahkan. Aku tertawa kecil. Memangnya siapa yang bisa menahannya? Salah siapa dia begitu menggoda.
"Coba." Aku mencondongkan wajah mendekat ke arahnya.
"Coba apa?" Dia menatapku ingin tahu.
"Coba kakak ulang dibekas yang merah, siapa tahu hilang, Sayang."
Dia mendelik. "Yang ada malah tambah terang, Kak." Dia mendelik padaku dan mondar-mandir kebingungan. Aku sama bingungnya, jadi ikut mondar-mandir juga berpikir.