7. DUNIA XELLA

2267 Words
Suasana gedung perpustakaan kampus tempat Xella kuliah, nampak penuh dengan mahasiswa yang sedang fokus dengan urusan masing-masing. Meski penuh, tapi suasana nampak tenang dan sepi, sesuai aturan yang berlaku di perpustakaan. Mahasiswa yang datang ke sana ada yang sedang mengerjakan tugas, sekadar membaca buku, atau yang paling banyak adalah untuk mengerjakan skripsi. Karena sedikit banyak, materi yang mereka cari ada di sana. Itu juga yang kini dilakukan oleh Xella bersama teman baiknya, yaitu Anggi. Lebih tepatnya Xella yang menemani Anggi mencari referensi pendukung untuk data skripsinya. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari berjuang untuk lulus kuliah, bersama dengan sahabat baik. “Lo kenapa lemes banget?” tanya Anggi dengan nada suara berbisik agar tidak mengganggu pengunjung yang lain. “Lo belum sarapan?” Xella menatap dengan dagu bertumpu pada tangannya yang ada di atas meja. “Nyokap gue tadi pagi telpon.” “Nyokap lo? Bagus dong.” “Bagus kenapa?” “Artinya sebentar lagi lo bakalan disuruh pulang. Bokap lo pasti nyesel karna putri kesayangannya kabur dari rumah dan itu artinya perjodohan konyol lo itu, bakalan batal.” “Iya kali pikiran bokap gue berubah secepat ini. Gue tau banget tabiat bokap, susah buat ngebantah keinginannya.” Gumam Xella putus asa. “Terus tujuan nyokap lo nelpon, apa?” “Ya ngajak ketemu, katanya kangen.” Anggi menghela napas pelan, sambil fokusnya tertuju pada buku tebal mengenai akuntansi keuangan. “Ya udah, nurut aja. Emang elo nggak kangen sama nyokap?” “Kangenlah, secara udah sebulan lebih nggak ketemu.” “Terus masalahnya apa sampai lo lemes gini diajak ketemu nyokap sendiri?” tanya Anggi heran dengan sikap Xella. “Gue takut kalau tujuan nyokap ngajak ketemu karna permintaan bokap.” Jawab Xella masih dengan suara berbisik. “Nggak usah negatif thinking sama nyokap sendiri, Xel. Saran gue, mending ketemu sama Tante Saras. Gue kasian sama Tante Saras, pasti kangen banget sama elo, anak semata wayangnya.” Raut wajah Xella benar-benar sendu, dilema dengan keputusan yang diambil. “Iya, gue…” Kalimat yang diutarakan oleh Xella menggantung begitu saja. Raut wajahnya kaku, dengan tatapan mata tertuju pada satu titik tidak jauh di belakang Anggi. Apa yang terjadi pada Xella menarik perhatian Anggi, hingga membuat gadis itu memutar tubuhnya ke arah belakangnya. “Liat apa sih sampe lo bengong begitu?” tanya Anggi. Saat tahu apa yang membuat Xella diam, Anggi langsung tersenyum geli melihat Xella. “Awas, iler lo ke mana-mana.” Seketika ucapan Anggi membuat Xella tersadar lalu menutup mulutnya yang sebelumnya terbuka, kemudian tangannya mengusap sudut bibirnya sendiri. “Sadar Xel! Lo lupa ini sekarang lagi di mana?” gerutu Xella yang kesal kepada dirinya. “Wajar kok, secara Pak Rio tampilannya nggak pernah salah. Lo perhatiin deh, semua mata tertuju pada beliau. Kombinasi kemeja sama celana, selalu pas.” Xella menuruti ucapan Anggi dan memang benar kalau saat ini, dosen mudah itu menjadi pusat perhatian mahasiswi yang ada di perpustakaan. Seketika saja Xella mendesah lemah, menyadari saingannya begitu berat untuk bisa mendapatkan Rio. “Sadar diri sih, kalau ada yang lebih baik dari gue.” Wajah Xella tertunduk. Suasana hening kembali karena Anggi fokus pada buku serta laptopnya sedangkan Xella membenamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di atas meja. “Axell, Anggi.” Suara teduh dari sosok yang mereka kenal, berhasil membuat Xella dan Anggi terkesiap. “Kalian lagi ngerjain skripsi, ya?” “Pak Rio,” suara nyaring karena terkejut dari Xella, berhasil menarik perhatian pengunjung perpustakaan. Wajah Xella memerah, lalu menggumamkan kata maaf kepada mereka sambil menundukkan wajah. Tingkah Xella membuat Rio yang berdiri di antara Xella dan Anggi, tersenyum karena lucu. “Kamu liat saya seperti liat hantu, langsung kaget.” Xella ingin menghilang sekarang juga bersama para dedemit penghuni perpustakaan. Ia sangat malu dengan Rio, sosok yang selama ini selalu membuatnya semangat untuk kuliah. “Maaf ya Pak, mulut saya emang kadang suka nggak sopan.” “Pak Rio nggak duduk?” Anggi mencoba membuat suasana tidak canggung dengan mengalihkan perhatian Rio. Rio menggeleng. “Saya hanya sebentar. Ada buku yang saya cari dan ternyata di sini tidak ada. Karena liat Xella, jadi saya ke sini sebentar.” Mendengar namanya disebut sebagai alasan Rio menghampiri dirinya dan Anggi, perasaan Xella langsung dibuat melayang. Untung saja ia tidak menjerit bahagia, jika itu terjadi maka habislah ia saat ini juga. “Kalau begitu lanjutkan saja tugas kalian. Xella, sampai jumpa dua hari lagi dan saya harap kamu punya progres yang bagus terhadap skripsi kamu.” Ucap Rio sambil menyunggingkan senyum. Xella langsung mengangguk cepat. “Siap Pak, saya akan berusaha keras.” “Bagus kalau begitu, saya seneng sama mahasiswi yang punya semangat dan optimis yang tinggi. Apalagi saya tau kamu punya pekerjaan lain yang harus kamu lakukan. Saya pribadi salut sama kamu.” Jantung siapa yang tidak kembang kempis jika mendapat pujian demikian dari sosok yang selama ini dikagumi. Andai Xella tidak memiliki sisa kewarasan, mungkin saja saat ini ia akan melompat girang. “Saya juga bangga punya sahabat kayak Xella, Pak.” Celetuk Anggi yang tahu kalau sahabatnya tidak mampu berkata-kata. Lagi-lagi Rio mengeluarkan senyum termanisnya, yang mampu membuat para gadis diabetes. “Kalau begitu, saya permisi dulu ya.” “Baik Pak Rio,” ucap Anggi dan Xella hanya mampu tersenyum canggung. Begitu Rio pergi dari hadapan mereka, Xella langsung menghela napas panjang. Seperti tubuhnya kekurangan oksigen karena kehadiran sosok Rio. “Napas yang dalam Xel, jangan pingsan di sini.” Ucap Anggi sambil tertawa pelan. “Muka lo, bener-bener kocak banget. Tampang mupeng sama Pak Rio.” “Pasti muka gue merah ya? Ya ampun, lo denger kan kalau Pak Rio muji gue? Astaga, mimpi apa sih gue semalem?” “Xella, lo sadar nggak sih kalau jadi perhatian cewek-cewek?” bisik Anggi. Tubuh Xella langsung membeku, begitu melihat ke sekeliling. Semua mata tertuju kepadanya dan ia yakin pasti mereka adalah bagian dari fans berat dari dosen tampan bernama Rio. “Anggi, lo kan masih lama jadi gue pergi duluan ya. Gue mau ketemu sama nyokap.” Ucap Xella. Anggi hanya bisa menggeleng mendengar ucapan sahabatnya. “Iye buruan pergi, biar gue nggak ikut-ikutan dilirik sinis sama yang lain.” *** Wanita anggun dengan paras yang masih sangat cantik, kini tengah duduk di salah satu kursi di sebuah kafe dekat dengan kampus Xella. Saraswati menyesap pelan teh beraroma melati yang ada dalam cangkir bercorak putih dan biru. Wanita berusia empat puluh delapan tahun itu, memperhatikan sosok yang ada di hadapannya. “Mama liat kamu baik-baik saja, Xella. Sesuai dengan pikiran Mama saat bicara di telpon sama kamu.” Ucap Saras dengan pembawaan lembut dan tenang. “Kamu pasti senang ya, kabur dari rumah.” “Mama kira setelah pergi dari rumah, kondisiku akan menyedihkan? Atau Mama dan Papa berharap kalau aku hidup dalam kesulitan?” Seperti biasa, sikap Xella selalu dingin dan ketus jika sedang berbeda pendapat dengan kedua orang tuanya. “Xella, orang tua mana yang mau anaknya mengalami kesulitan?” “Ya siapa tau aja, biar Papa dan Mama punya alasan buat nyuruh aku pulang.” “Memangnya kamu nggak mau pulang?” “Sebelum aku jawab, biar aku yang nanya. Apa Papa masih dengan keputusan yang sama, menjodohkanku sama akik-akik dengan tujuan bisnis?” “Xella, apa yang dilakukan Papa kamu itu, demi kebaikan kamu juga. Lagian kamu belum tau orang yang akan dijodohkan sama kamu.” “Ma!” Nada suara Xella meninggi. “Nggak ada yang yang namanya kebaikan anak kalau si anak sendiri merasa tersiksa. Aku nggak mau nikah muda, masa depanku masih panjang jadi jangan pernah paksa aku untuk melakukan perjodohan dengan orang yang nggak aku kenal.” Suara keras Xella memancing perhatian orang-orang yang ada di kafe. Saraswati merasa malu karena dianggap memaksa putrinya menikah dengan orang asing. “Suara kamu bisa dipelanin kan, sayang? Malu kalau didengar sama orang lain?” “Biar aja orang lain tau kalau jaman sekarang masih aja ada orang tua yang bersikap seperti jaman Siti Nurbaya.” Sahut Xella ketus. “Axella! Kamu belum menjadi orang tua, makanya belum paham niat baik dari Papa.” “Cuma niat baik Papa? Jadi bukan niat baik Mama juga? Ma, kenapa sih nggak bujuk Papa buat batalin perjodohan ini?” Ucap Xella setengah memohon. “Sebaiknya kamu pulang, bicara lagi sama Papa.” Xella menggeleng keras. “Nggak mau, aku udah tau tabiat Papa. Sekali aku pulang, maka aku nggak akan bisa keluar dan menolak keinginan Papa. Papa bisa bersikap tega sama orang yang sudah membantah perintahnya, termasuk sama anak sendiri.” Saraswati memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut karena harus menghadapi sikap keras kepala putrinya. Watak suaminya kini menurun kepada putrinya. Kini ia harus menghadapi dua orang yang sama-sama punya sikap tidak mau melunak sedikit pun. “Kalau Mama nggak ada keperluan lagi, aku mau pulang. Ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan. Kasian Zoe pasti nunggu aku di rumah.” ucap Xella yang sudah merapikan tas miliknya. “Apa kamu betah kerja sebagai pengasuh?” “Betah kok. Mama tau sendiri kalau aku suka tantangan. Saat ini, hidupku dipenuhi dengan tantangan dari segala arah jadi aku harus kuat.” Sahutnya ketus. “Mama jaga kesehatan, salam sama Papa. Bilang kalau aku punya hak atas masa depanku sendiri.” Setelah mengatakan itu, Xella beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan Saraswati. Pergi tanpa basa basi, bahkan pelukan hangat pun tidak Xella berikan kepada wanita itu. “Punya anak terlalu mandiri, nggak baik juga. Sekarang dia merasa mampu bertahan walaupun tanpa orang tua dan hal ini justru membuat Mama sedih, Xella.” Gumam Saraswati. Xella sedang memperhatikan Zoe yang tengah menggambar di atas buku gambar yang Xella belikan ketika pulang bertemu sang ibu. Tidak hanya buku gambar, Xella juga membelikan pensil warna, sesuai dengan permintaan dari Ian. Sebenarnya perlengkapan menggambar dan mewarnai milik Zoe masih dalam kondisi bagus, tapi Ian mengatakan kalau semua itu permintaan dari orang tua Zoe. Di dalam kamar dengan desian khusus untuk anak-anak, Zoe nampak antusias dengan mainan barunya. Saat Xella meminta Zoe tidur siang, bocah itu justru menolak karena tidak sabar untuk menggambar. “Zoe lagi gambar apa?” Tanya Xella ketika samar-samar sudah melihat hasil dari goresan tangan khas seorang bocah. “Gambar keluarga Zoe, Kak.” Sahutnya dengan semburat bahagia di wajahnya. “Oh iya?” Xella antusias, lalu memperhatikan kembali gambar tersebut. “Boleh Kak Xella tau, ada siapa saja?” Zoe mengangguk semangat. “Ini ada Daddy, ada Mommy, dan di tengah-tengah ada Zoe.” “Wah, kayaknya seru ya. Oh iya, kenapa Mommy duduk sendiri?” Xella melihat dalam gambar tersebut, sosok wanita duduk dan si pria berdiri. “Soalnya Mommy nggak kuat kalau berdiri lama, jadi duduk deh.” “Oh begitu.” Tangan Xella mengusap rambut lebat Zoe. “Zoe pinter ya gambarnya. Siapa yang ngajarin?” “Diajarin sama Mommy.” “Mommy-nya Zoe hebat. Kapan-kapan ajarin Kak Xella juga ya.” “Oke,” sahut Zoe dengan menunjukkan dua jempol tangannya. Suasana kembali hening karena Zoe begitu fokus menggambar. Xella tersenyum melihat gadis kecil itu dan entah kenapa rasa sayangnya semakin hari semakin muncul. Bukan lagi rasa bertanggung jawab sebagai pengasuh, tapi ia mulai menganggap Zoe adalah adiknya. “Kalau aja aku bukan anak tunggal, mungkin saja hidupku nggak akan seberat ini. Berat karna permintaan konyol Papa, bukan berat yang lain. Siapa juga yang mau nikah sama akik-akik. Yang ada aku ikutan tua mendadak kalau sampai nikah sama orang berumur. Dunia Xella sedang tidak baik-baik saja.” Xella membatin, masih tidak percaya dengan keinginan ayahnya. Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Xella. Sebuah nomor baru terpampang di layar ponsel berwarna hitam miliknya. Keningnya mengkerut, merasa penasaran dengan pemilik dari nomor tersebut. “Halo.” Sapa Xella. Begitu dijawab, terdengar suara sambungan telepon terputus. Xella menatap bingung layar ponselnya yang sudah tidak menyala. “Siapa sih yang iseng banget? Kurang kerjaan kali ya telpon orang tapi malah dimatiin.” “Siapa Kak Xella?” Tanya Zoe. Xella tersenyum. “Bukan siapa-siapa, kayaknya orang iseng.” “Orang iseng itu apa?” tanya Zoe polos. “Orang iseng itu nggak punya kerjaan jadi suka jailin orang.” Xella bingung menjelaskannya kepada Zoe. “Zoe lanjut dulu ya, Kak Xella ambilin minum. Oke?” “Oke.” *** “Kai, ada Pak Yanto nunggu di luar. Katanya mau ngomongin scene tadi dua hari yang lalu.” Suara Ian membuat Kai meletakkan ponsel yang ada di dalam genggaman tangannya. “Apa lagi sih? Perasaan dari kemarin nggak beres-beres.” Keluh Kai dengan wajah kecutnya. “Udah, dikit lagi juga beres kok. Buruan, nggak enak ditunggu sama yang lain.” “Nggak tau lagi sibuk juga.” Ucapnya ketus. Alis Ian terangkat, menatap curiga artisnya. “Lagi telpon siapa kok kayaknya kesel banget karna diganggu?” “Nggak ada, kepo banget sih.” “Jelas, aku nggak mau kamu kena skandal yang nggak penting, Kai. Kamu harus jaga nama baik demi kelancaran karir kamu.” Jelas Ian. “Kamu ingat kan, artis tetangga sebelah kena skandal tidur sama mantan pacarnya dan sekarang hamil tapi dia menolak mengakui. Jangan sampai begitu.” “Kamu lupa kalau sekarang aku juga dalam situasi yang sama.” Bisik Kai, lalu menghela napas. “Iya juga ya, kalau Zoe sampai bocor ke publik, habislah kita.” Ucap Ian ngeri. “Udah jangan mikir aneh-aneh, buruan ketemu sama Pak Yanto. Semakin cepat selesai urusan, semakin cepat kita kembali ke Jakarta.” Kai menghela napas lelah. Sebulan lebih di Yogyakarta, membuat ia rindu dengan ibu kota. Belum lagi, telepon Mbok Rum terus Kai terima karena Zoe begitu merindukan dirinya. “Ya sudah, aku pergi dulu.” Ucap Kai dengan nada malas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD