8. JUST BABYSITTER

2355 Words
Kai membuka pintu rumah besar yang sudah sebulan ia tinggalkan. Kesibukan syuting di luar kota, membuat ia tidak pernah lama menikmati suasana rumah megah hasil dari keringatnya sendiri. Bukan hanya saat keluar kota, jika ada pekerjaan hingga malam, biasanya ia memilih pulang ke apartemen karena lebih dekat. Sejak kedatangan Zoe dalam hidupnya, Kai tidak sebebas dulu karena bocah itu pasti akan menangis ingin bertemu. Seperti saat ini, pulang dari Yogyakarta ia harus bertemu dengan klien dan jam sepuluh malam baru sampai di kediamannya. “Selamat malam Tuan Kai.” Sapa Mbok Rum yang sudah tahu kalau hari ini Kai pulang dan sengaja menunggu hingga sampai rumah. “Malam Mbok.” Kai menyerahkan koper serta beberapa barang kepada asisten rumah tangganya. “Semua bawa ke kamar ya Mbok.” “Baik Tuan.” “Gimana kabarnya, Mbok? Kenapa belum tidur?” “Mbok nunggu Tuan Kai dulu. Mbok sudah siapin makan malam, tinggal diangetin saja.” Jawab Mbok Rum. Kai mengangguk. “Saya mandi dulu ya, Mbok. Kalau mau tidur, silakan.” “Baik Tuan.” Kamar yang menjadi ruang privat Kai di rumah ini tercium wangi harum begitu pria itu masuk ke sana. Rapi dan bersih karena Mbok Rum sudah hafal apa yang diinginkan oleh majikannya. Ketika jari telunjuk Kai mengusap meja sudut, ia tidak melihat debu sama sekali, hingga membuat pria itu mengangguk senang. Kebersihan dan kerapian, adalah hal mutlak yang harus diterapkan di rumah miliknya. Kai tidak akan berlama-lama melakukan ritual mandi karena ia berharap masih bisa menemui Xella dalam keadaan belum tidur. Ia hanya sempat melihat foto Xella sekilas dan saat itu Kai tidak terlalu peduli dengan wajahnya. Selama bisa menjaga rahasia dan Zoe merasa nyaman, itu yang paling penting bagi Kai. “Aku penasaran sama gadis pilihan Ian. Awas saja kalau kenyataan tidak sesuai sama ucapannya.” Gumam Kai sambil membuka pakaiannya satu persatu. Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian santai, Kai keluar dari kamarnya. Kakinya melangkah menuju kamar yang berada tidak jauh dari kamarnya. Kamar milik Zoe dan Kai dipisah oleh ruang kerja milik Kai. Pria itu ingin melihat keadaan gadis kecil yang mengaku sebagai anaknya. Hati-hati sekali Kai membuka pintu karena yakin kalau Zoe sudah tidur. Ketika pintu terbuka, kakinya melangkah pelan agar tidak mengganggu Zoe. Benar saja, gadis cantik itu sudah tidur begitu lelap di atas tempat tidur bersama boneka kesayangannya. Perlahan, Kai duduk di pinggir tempat tidur Zoe, lalu menatapnya. “Maaf kalau aku pulang malam, Zoe.” Gumam Kai. Naluri yang tidak pernah Kai inginkan, selalu saja tidak bisa ia elak. Tanpa bisa dikendalikan, pria itu mengecup kening Zoe sebelum beranjak dari tempatnya duduk. Setelah selesai, Kai menghela napas pelan, menyadari hal yang sudah dilakukan. “Sangat jelas aku menolak tentang Zoe yang mengaku sebagai darah dagingku, tapi kenapa aku masih tidak tega sama anak ini.” Kai membatin. Tidak ingin berlama-lama larut dalam ketidakwarasan pikirannya, Kai memilih segera meninggalkan kamar Zoe. Ketika beranjak dari tempat duduk, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terkejut. “Astaga!” Kai berusaha menahan suaranya karena kaget. Pelan sekali, kakinya mendekat pada sosok yang kini duduk di bawah beralas karpet bulu. Kai memperhatikan Xella yang sedang tertidur di atas meja lipat, berteman dengan laptop dan buku-buku. “Kenapa ketiduran di sini?” Kai berjongkok di sebelah Xella. Ia tidak habis pikir dengan kekonyolan Xella karena tertidur di kamar Zoe. Padahal ia sudah menyediakan kamar yang cukup luas tapi kenapa pengasuh Zoe ini tidak memilih tidur di tempat yang nyaman. Samar-samar, Kai bisa melihat wajah Xella yang sebagian tertutup oleh rambut panjangnya. Lampu tidur yang sedang menyala, membuat Kai hanya bisa melihat siluet wajah Xella. Pria itu kembali berdiri, lalu menghela napas pelan. “Dasar ceroboh.” Gumam Kai sebelum pergi meninggalkan Xella. Mbok Rum sedang menuang air putih ke gelas milik Kai. Wanita itu menemani majikannya makan malam karena tidak tega membiarkan Kai di meja makan sendirian. Hal seperti ini biasa Mbok Rum lakukan. Biasanya atas permintaan Kai atau inisiatifnya sendiri. Kai yang seumuran dengan anak Mbak Rum, membuat wanita itu begitu sayang dengan majikannya. “Mbok, tadi saya ke kamar Zoe dan ternyata dia sudah tidur.” “Non Zoe selalu tidur di bawah jam sembilan, Tuan Kai. Biasanya setelah belajar sama Mbak Xella, dia pasti langsung tidur.” “Oh iya? Apa dia betah sama pengasuhnya?” “Betah Tuan. Kalau tidak, pasti sudah saya lapor ke Tuan Kai atau Mas Ian.” Jawab Mbok Rum. “Baguslah.” Kai memasukkan satu suap nasi dan lauk. Hal yang jarang ia lakukan ketika malam hari. Tapi melihat menu masakan rumah yang Mbok Rum siapkan, membuat selera makannya meningkat. “Tadi saya juga liat pengasuh Zoe tidur di kamar Zoe. Kenapa bisa begitu? Dia sering tidur di sana?” “Tidur di kamar Non Zoe? Oh, beberapa hari Non Zoe selalu kebangun dan nangis. Jadi beberapa malam, Mbak Xella memang ikut tidur di sana. Kadang nemenin sambil ngerjain skripsi.” Jelas Mbok Rum dengan posisi berdiri di sebelah Kai. “Maaf Tuan Kai kalau tindakan Mbak Xella kurang pantas.” “Saya nggak bilang begitu Mbok. Tadi saya kaget saja liat dia di sana. Mungkin pengasuh Zoe lagi ketiduran karna laptopnya masih nyala.” “Apa perlu saya bangunin Mbak Xella?” “Nggak udah Mbok.” Kai meneguk air putih untuk mendorong makanan yang dimakan. “Mbok, duduk dulu. Ada yang mau saya kasih tau.” Mbok Rum menuruti ucapan Kai. “Ada apa Tuan Kai?” “Apa selama saya pergi, pengasuh Zoe bertindak macam-macam?” Mbok Rum nampak bingung dengan maksud pertanyaan Kai. “Macam-macam gimana ya?” “Dia nggak nanya siapa orang tua Zoe, di mana sekarang dan kenapa harus dirahasiakan?” “Oh yang itu. Beberapa kali Mbak Xella nanya tapi saya bilang nanti Mas Ian yang cerita.” “Apa dia curiga soal Zoe?” “Mungkin sih Tuan, karna Mbak Xella kan orang berpendidikan jadi ya sikapnya memang peduli.” Kali mengangguk paham. “Iya juga sih masih wajar. Tapi Mbok Rum nggak bilang apa-apa kan?” Mbok Rum menggeleng cepat. “Nggak kok Tuan, sesuai pesan Tuan Kai dan Mas Ian.” “Bagus kalau begitu. Mbok, besok pagi-pagi saya harus ke Bandung jadi kemungkinan saya nggak akan ketemu Zoe. Salah saya karna hari ini pulang malam, padahal sudah janji mau ketemu dia. Tolong kasih pengertian Zoe biar dia nggak nangis.” “Baik Tuan, tapi…” Mbok Rum tidak melanjutkan kalimatnya. Kening Kai mengkerut sambil menatap asisten rumah tangganya. “Tapi apa Mbok?” “Aaaa, Mbok cuma nggak tega ngomong sama Non Zoe. Dia kangen sekali sama Tuan Kai dan sekarang harus kecewa lagi.” “Saya ke Bandung cuma sehari dan setelah itu saya libur cukup lama. Jadi tolong sekali lagi kasih Zoe pengertian. Lagian saya juga bukan ayah kandungnya dia Mbok tapi saya berusaha melakukan yang terbaik. Dan Mbok juga tau kalau saya punya kehidupan pribadi yang harus saya pikirkan.” Seketika Mbok Rum tidak enak hati karena ucapan Kai yang mengandung rasa kecewa. Memang benar, belum ada bukti yang menyatakan bahwa Zoe adalah anak kandung dari majikannya tapi sikap Kai cukup bertanggung jawab kepada bocah polos itu. “Maaf ya Tuan Kai kalau ucapan si Mbok bikin Tuan Kai tersinggung.” “Iya Mbok. Saya mau istirahat dulu.” Kai beranjak dari duduknya dan meninggalkan Mbok Rum. “Aduh ini mulut emang nggak tau keadaan. Udah tau majikan capek, malah ikut campur urusan Non Zoe.” Mbok Rum menyesali ucapannya. *** Pagi sekali Xella sudah menghampiri Mbok Rum yang sedang berada di dapur. Ada hal penting yang harus ia sampaikan karena kemarin ia lupa. “Mbok, nanti Zoe ada les piano dan diantar sama supir. Saya nggak bisa nemenin karna ada bimbingan. Tapi pas pulang, saya yang jemput dia.” “Mbak Xella nggak bisa geser jadwal bimbingannya?” Xella menggeleng pelan dengan wajah muram. “Nggak bisa Mbok, karna saya nggak tau kalau jadwal les Zoe dirubah. Maaf ya Mbok, sebagai mahasiswa saya nggak bisa banyak menuntut.” “Iya Mbak, klo Mbok Rum sih nggak masalah. Cuma takut aja nanti Non Zoe nggak nyaman kalau nggak ditemenin. Ini kali ke dua jadwal latihan Non Zoe.” “Saya sudah kasih pengertian buat Zoe dan kata dia nggak apa-apa.” “Oh iya sudah kalau begitu. Mbak Xella pergi ke kampus saja.” “Makasih ya Mbok. Oh iya, orang tuanya Zoe sudah pulang?” Mendengar pertanyaan Xella, pandangan Mbok Rum langsung tertuju pada anak tangga. Ia tidak ingin Zoe mendengar pembicaraannya dengan Xella. “Sudah pulang tadi malam tapi pagi-pagi sekali harus ke Bandung.” Jawab Mbok Rum setengah berbisik. “Ke Bandung? Pergi lagi?” Xella setengah berteriak. Refleks Mbok Rum mencubit tangan Xella yang tengah berdiri di sebelahnya. “Mbak Xella ih, jangan keras-keras. Tugas kita bikin Non Zoe tenang dan nggak nangis lagi karna nggak ketemu sama Daddy-nya.” Xella meringis, merasa pedih pada kulit tangannya yang mendapat cubitan dari Mbok Rum. “Mbok, saya kasian sama Zoe. Dia itu kesepian walaupun ada saya dan Mbok Rum. Dia butuh kehadiran orang taunya, ini demi kesehatan mental dia juga. Mana nggak boleh bergaul lagi, siapa yang stres.” “Mbok tau, tapi mau gimana lagi karna Daddy-nya Non Zoe ada pekerjaan. Kita bisa apa selain melakukan tugas yang menjadi tanggung jawab kita sebagai pekerja. Mau ikut campur terlalu jauh rasanya nggak etis, Mbak Xella.” Mendengar penjelasan Mbok Rum yang ada benarnya, membuat Xella menghela napas panjang. Ia hanya pengasuh dan tidak memiliki hak ikut campur mengenai kehidupan majikannya. Tapi ia merasa sakit setiap melihat Zoe menangis dalam tidur karena merindukan orang tuanya. Melihat gadis itu kesepian tapi ditutupi dengan keceriaan. “Iya sudah Mbok, saya bisa apa selain membuat Zoe merasa tenang.” Gumam Xella putus asa. *** “Dih kenapa muka lo lecek banget.” Anggi mencibir Xella. Mereka sedang duduk di meja bundar dekat dengan gedung dosen, sambil menunggu waktu bimbingan. “Lo pasti dongkol karna Miss Trisya minta tukar jadwal sama Pak Rio kan? Lo kecewa karna nggak jadi bimbingan sama Pak Rio.” Xella tidak menggubris cibiran Anggi. Pandangannya jauh ke depan, seperti badan saja yang ada di tempat tersebut, sedangkan pikirannya sedang berkelana jauh. “Xel, lo nggak lagi sakit kan?” “Gue lagi ada bulanan, tau kan sakitnya hari pertama?” ucap Xella dengan raut wajah muram. Anggi bergidik ngeri. “Biasanya sih tanduknya bakalan keluar.” “Anggi!” Cengiran tanpa rasa bersalah Anggi tunjukkan karena berhasil membuat Xella kesal. “Ampun deh, sensi banget. Jujur sama gue, lo kenapa sih? Gue yakin ini bukan hanya perkara bulanan, pasti ada hal lain yang lo pikirin. Iya kan?” Xella menghela napas berat. “Gue mikirin Zoe.” “Mikirin anak lo?” “Anggi, Zoe bukan anak gue!” Seru Xella hingga menarik perhatian mahasiswa lain. “Suara lo itu bisa bikin gaduh kampus. Lo mau orang lain tau kalau lo punya anak.” Sudah habis kesabaran, tangan Xella dengan cepat melayangkan buku tebal ke tubuh sahabatnya. “Nyebelin banget sih lo!” Anggi mencoba menghindar sambil terus tertawa. “Ampun-ampun. Nggak lagi deh gue bercanda.” Xella kembali tenang tapi tidak dengan raut wajahnya. “Jangan bikin mood gue makin hancur. Gue udah dongkol karna Miss Trisya dan ortunya Zoe.” “Kenapa sama ortunya Zoe?” “Nggak pulang-pulang. Sekalinya pulang malah pergi lagi, kan gue kasian sama Zoe. Tiap hari nanyain ortunya kapan pulang dan setiap malam gue harus nemenin dia tidur karna dia mimpi buruk terus.” Jelas Xella sambil menahan emosi. “Maklum aja kali, namanya juga orang kaya yang punya bisnis.” “Bisnis apa sampai tega ninggalin anaknya.” “Ya lo sabar aja. Inget Xella kalau lo itu hanya pengasuh alias babysitter yang nggak ada hak ikut campur sama kehidupan pribadi majikan elo.” Ucap Anggi memberi nasihat. “Lo udah nanya sama Mas Ian?” “Udah, tapi jarang dijawab. Sekali dijawab ya bilang nggak usah khawatir. Itu jawaban apa coba.” “Udah lo nggak usah emosi. Mending sekarang siapin tenaga buat ketemu Miss Trisya, karna lo tau kan siapa yang akan lo hadapi.” “Jangan bikin gue takut, ih.” “Yee, kan elo sendiri yang cerita kalau bimbingan sama Miss Trisya bisa bikin elo ngantuk.” Benar yang dikatakan oleh Anggi soal dosen pembimbing dua Xella bernama Trisya. Wanita yang terkenal dengan sikap judes dan super sibuk, menahan Xella hingga membuat ia pulang terlambat dengan segala alasan. Karena saking susah menemui dosen tersebut, hingga membuat Xella harus menerima skripsinya diperiksa dengan sangat detail. Belum lagi ceramah yang diberikan oleh Trisya, harus Xella dengarkan hingga kupingnya terasa panas. Jadwal siang yang ia dapat, harus ia tunggu karena bukan hanya dirinya saja yang melakukan bimbingan , tapi dengan mahasiswa lain juga. Belum lagi beberapa hal yang ia tulis, harus mendapat revisi cukup banyak dan harus segera diperbaiki. Jika itu Rio, Xella tidak akan keberatan karena dosen pembimbing satunya, begitu sabar dalam melakukan bimbingan kepada mahasiswanya. Karena kejadian tidak terduga ini, Xella harus menghubungi Mbok Rum untuk meminta supir menjemput Zoe di tempat les dan menjelaskan apa yang terjadi kepadanya. Saat ini Xella sedang menaiki ojek online untuk pulang ke kediaman tempatnya bekerja. Wajahnya kusut, perutnya sakit, dan seluruh badannya terasa pegal. Bagi Xella, hari ini adalah hari yang berat karena menguras tenaga dan emosinya. “Drama mahasiswa tingkat akhir, gini amat. Hari ini Zoe pasti sedih banget. Nggak jadi ketemu sama orang tuanya dan sekarang gue malah nggak jemput dia di tempat les. Kok gue jadi nggak becus gini sih jadi pengasuhnya Zoe?” Xella membatin, menyesali sikap dan apa yang terjadi hari ini. Tepat jam sembilan malam, Xella baru sampai di rumah karena ia harus mengambil beberapa buku di kos teman sekelasnya, untuk mendukung skripsinya. Suasana rumah sangat sepi, bahkan lampu ruang tamu, ruang keluarga dan dapur sudah padam. “Tumbenan banget Mbok Rum udah istirahat.” Gumam Xella sambil berjalan pelan agar tidak menimbulkan suara. Sebelum pergi ke kamar, Xella ingin pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Sejak siang tenggorokannya kering tanpa sempat dibasahi dengan air putih. “Kamu bekerja atau hanya numpang tidur di sini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD