Entah, setiap ucapan Om Alva selalu tak membuatku percaya. Terbesit di pikiranku, ini orang manis di bibir doang. Jarak antara makam dan toko perlengkapan tak begitu jauh, sehingga saat ini kami sudah sampai.
Aku dan orang tuaku turun dan berjalan menuju perlengkapan gambar, sedangkan Om Alva dan Tante Dinar berjalan menuju toko sepatu.
"Kak, aku ke sana dulu, ya?" pamit Tante Dinar.
Mama hanya mengangguk, sembari menggandeng tanganku. Sedangkan aku, lagi-lagi memperlihatkan wajah tak suka ke Om Alva tetapi dia hanya tersenyum.
Kami masuk dan segera membeli perlengkapan yang aku butuhkan saja, yaitu cat air. Sehingga tak memakan waktu lama, kami kembali masuk ke dalam mobil. Sedangkan Tante Dinar dan Om Alva cukup lama, tak kunjung kembali.
"Lama banget, sih?" gumamku.
"Sabar, sayang. Kamu mau beli sepatu juga? Ayo, turun lagi," ajak papa.
"Nggak, mau. Sepatuku banyak, lain kali saja, Pa.," jawabku.
Dari arah toko sepatu, terlihat mereka berdua keluar sembari menenteng beberapa tas.
"Dinar belanja banyak juga, itu anak," ujar mama.
"Biarkanlah, Ma. Toh, dia kerja sendiri, pakai uang sendiri," sahut papa.
"Iya sih, Pa. Kok tumben gitu," jawab mama.
Mereka berdua pun masuk ke dalam mobil, tas itu semua di bawa Om Alva.
"Tumben, doyan belanja," ejek mama.
"Punya Alva, itu Kak. Aku nggak ada niatan belanja, sih," jawab Tante Dinar.
"Oh, kukira kamu," jawab mama lagi.
Aku kembali melipat tanganku di atas perut sembari berkata, "Pakai uang sendiri, apa punya Tante Dinar, tuh?"
"Ra," tegur mama kembali.
Seketika aku terdiam dan papa segera melajukan mobilnya, menuju toko perlengkapan bayi.
Tante Dinar hanya diam dan begitu pula Om Alva. Kami akhirnya sampai di toko perlengkapan bayi, aku sengaja menggandeng tangan Tante Dinar agar tak berdekatan dengan Om Alva lagi. Saat kita hendak masuk, bertepatan dengan teman lama Tante Dinar sewaktu kuliah.
"Eh, Cindy," sapa Tante Dinar.
"Dinar, mau ke mana?" tanya Tante Cindy.
"Mau antar Kaka, nih. Buat calon bayinya," jawab Tante Dinar.
Tante Cindy bersalaman bersama kami satu persatu. Dia berjalan beriringan dengan perempuan, tetapi raut wajahnya terlihat gelap dan layu.
"Itu siapa, Tante?" tanyaku.
"Oh, ini Weny. Kenapa, sayang?" ujar Tante Cindy.
Aku bergegas memegang tangan Tante Weny, saat itu juga di pikiranku terbesit. Dia sedang berjalan berdua dengan satu laki-laki, yang tak tahu di mana. Tiba-tiba dia di sakiti, bahkan di perko*sa. Lalu, saat itu juga dia di bunuh. Kemudian aku, segera melepas tangan Tante Weny.
"Jaga Tante Weny, ya. Jangan dekatkan dia dengan cowok itu," pintaku.
"Cowok siapa?" ujar Tante Cindy penasaran.
Aku kembali memegang tangannya, pikiran itu terbesit kembali. Aku mencoba memperhatikan seksama, agar mendapatkan satu nama cowok itu.
****
"Faisal, kenapa kamu tega sama aku. Apa salahku?" ujar Tante Weny dalam penglihatanku.
"Kamu ingin tahu, hah? Sebab, kamu selama ini tak mau menuruti keinginanku seperti ini," ujar cowok itu, sembari meletakkan tangannya tepat di leher Tante Weny.
*****
"Faisal! Cowok itu namanya Faisal," jawabku.
"Jangan mengada-ngada kamu, Dek. Faisal itu cowokku sudah lebih dari satu tahun, dia baik kok," jaab Tante Weny.
Mama mengelus kepalaku sembari berkata, "Maafkan perkataan anak saya, kami masuk dulu."
Mama menggandeng tanganku, masuk ke dalam toko. Sebelum benar-benar masuk, aku masih mendengar Tante Dinar juga mengucapkan permintaan maaf untukku.
"Bener loh, Ma. Kenapa nggak ada yang percaya, sih?" gumamku kesal.
"Cukup diam, jangan beritahu. Tahu sendirikan, dari kemarin-kemarin kamu dibilang apa sama orang?" tegur mama dengan nada lumayan tinggi.
"Si pahit lidah. Tapi aku benar-benar tahu, Ma. Bukan nyumpahin," ujarku mengeyel.
Aku menatap ke arah papa.
"Sudahlah, biar Mama belanja. Kamu ikut pilih buat adik nggak?" tanya papa.
"Kita beli es di depan aja, Pa," ujarku.
Saat aku hendak keluar, secara bersamaan Tante Dinar dan Om Alvaro masuk ke dalam toko ini.
"Loh, kok keluar Kak?" tanya Tante Dinar.
"Iya, mau cari minum, nih. Sekalian ikut?" ajak papa.
Tante Dinar bukannya menjawab, malah bertanya terlebih dahulu ke Om Alva. Pria itu ya hanya iya-iya saja. Terasa keadaan mood- ku benar-benar memburuk. Aku dan papa jalan menuju restoran, saat baru saja satu langkah masuk ke dalam restoran di pikiranku terlintas bangunan ini tiba-tiba runtuh dan mengenai orang yang berada di dalamnya.
Bangun restoran saat ini sedang masa perbaikan di lantai dua, sehingga apa yang aku pikirkan bisa saja terjadi. Seketika aku berhenti dan membuat papa dan Tante Dinar merasa heran.
"Kenapa, Ra? ujar papa dan Tante Dinar secara bersamaan.
Tiba-tiba aku teriak memberitahukan ini ke semua orang yang ada di dalam restoran ini.
"Kalian cepat keluar, bangunan ini mau roboh! Kalian harus menyelamatkan diri!" teriakku.
Sontak orang yang berada di dalam ruangan ini menatapku, bahkan ada yang berbisik mungkin sedang membicarakan aku.
"Rara, maksudnya apa? Kalau nggak mau ke sini, jangan gitu dong. Kita bisa di marahin orang kalau nggak sopan," tegur papa.
Tapi aku tetap kekeh dengan pendirian ku, sebab bayangan itu terlihat begitu jelas di angan-anganku.
"Cepat, keluar!" perintahku lagi ke mereka.
Tiba-tiba, ada satu orang perempuan datang menghampiri kami dengan raut wajah yang tak suka terhadapku. Beliau mencoba mengusir kami, sebab merasa terganggu dengan aku.
"Kalian silahkan pergi! Jika tak ingin berkunjung, cukup diam. Jangan mengganggu kenyamanan pelanggan saya!" usir perempuan sembari mendorong badan kami untuk pergi menjauh.
Tapi aku yang yakin dengan penglihatanku, tetap kekeh berteriak seperti itu. Sehingga perempuan menarik tanganku dengan kasar menjauh dari restoran itu, seketika papa dan Tante Dinar membelaku.
"Kamu, pergi! Tolong anaknya diajari tata krama, dong. Jangan asal ngomong!" cecar wanita itu terhadapku.
"Mbak, bisa nggak jangan kasar sama anak kecil. Jangan ditarik-tarik, kalau ada apa-apa dengan keponakan saya bagaimana?" Tante Dinar juga ikut tersulut emosi.
"Tapi kalian bisa lih- ...." Wanita itu belum sampai selesai melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara dentuman dari arah belakang kami, tetapnya restoran itu.
Bruk!! Bam!
Suara dari arah restoran. Seketika kami menoleh dan benar saja, bangunan itu luluh lantah menyatu dengan tanah.
"Iya, kan. Di bilangin, ngeyel!" ujarku merasa menang.
Wanita terlihat begitu syok, sehingga melotot ke arah restoran tak mengeluarkan satu patah kata apa pun.
"Sssst ... nggak boleh gitu," tegur Tante Dinar dengan ucapan berbisik.
Wanita itu, tiba-tiba jatuh tersungkur ke lantai. Tapi, belum sampai ke tanah untungnya papa dengan cepat menangkapnya. Seketika, bangunan ini membuat orang yang berada di sekitar sini mendekat.
Begitu pula mama, yang terlihat panik mencari anak dan suaminya. Beliau takut, jika kami ikut menjadi korban.Mama, berdiri dan terlihat panik di sekitaran restoran itu. Aku yang melihatnya bergegas memanggilnya.
" Mama!" teriakku.
Saat itu juga mama menoleh dan bergegas berjalan menghampiri kami. Mama datang-datang, menciumi seluruh wajahku dan tak hentinya terdengar kata syukur.
"Kamu nggak apa-apa, Ra? Din, Pa, kamu nggak apa-apa, kan? Al, kamu juga," tanya mama yang masih terlihat begitu khawatir.
Setelah itu, mama menatap ke arah wanita yang kepalanya sedang dipangku Tante Dinar.
"Dia siapa?" tanya mama.
Tante Dinar pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga wanita ini bisa bersama kami di sini. Tante Dinar juga memberitahukan bahwa wanita ini adalah pemilik restoran itu.
"Alhamdulillah, jika kalian tak ada yang terluka. Ra, Mama sayang kamu." Mama memelukku dengan erat.
Wanita ini, perlahan mulai kembali kesadarannya.
"Usahaku," ujarnya dengan suara lirih.
"Minum, Mbak." Mama memberikan sebotol air minum untuk diteguknya.
Wanita itu hanya menurut, lalu menatap ke arahku.
"Kamu jahat! Kenapa sumpahin usahaku hancur. Ini semua salahmu!" hardik dia terhadapku.
"Kok, aku?" aku merasa bingung.
Wanita itu menangis sesenggukan sembari tetap terus menyalahkan aku. Hingga mama yang mungkin merasa geram, seketika menamparnya.
"Kau yang batu, ketika diberitahu. Kenapa jadi menyalahkan putriku? Dia punya kelebihan itu, jangan pernah menyakiti hati anakku!" cecar mama.
Kemudian mama segera mengajak kami semua meninggalkan wanita itu duduk sendirian di dekat parkiran.
"Kita pergi! Biarkan wanita ini meratapi ini semua sendiri, berterima kasihlah. Kalau nggak ada anakku, mungkin kamu juga ikut mati di dalamnya!" hardik mama.
“Dasar! Pahit lidah, jauh-jauh dari tempatku jualan!” hardik wanita itu.
Bukannya berterima kasih, malah menghinaku dengan sebutan seperti itu.
“Bodo amat dengan hujatanmu, jangan menangis-nangis jika usahamu bangkrut!” ujarku sembari berjalan menjauh dari sana.
Entah apa yang akan dilakukan wanita itu, aku juga tak mengerti. Sehingga mama dan papaku menghalangi niatannya sembari berteriak-teriak.
“Jangan gila, bisanya ngelawan anak kecil. Dia cuma menyampaikan apa yang terlintas di pikirannya,” jawab papa.
“Kalian aja yang nggak bisa didik dia, ngomong pakai bawa-bawa anak kecil menyampaikan di pikirannya,” ujar wanita itu sembari melipat tangannya di atas perut.
Wanita ini, sungguh angkuh.
“Dia anak yang mempunyai kelebihan, tepatnya dia indigo. Mau percaya atau nggak terserah, cuma buat jaga-jaga saja sama ucapannya,” sahut mama.
Wanita itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Omong kosong!” ujarnya.
Tante Dinar merengkuh tubuh mama dan mengajaknya menjauh dari wanita itu.
“Kita pergi, nggak perlu adu mulut sama orang seperti dia,” ujar Tante Dinar.
Kami pun berjalan menjauh dari wanita itu, lalu kembali masuk ke toko perlengkapan bayi. Sebab, tadi mama lupa belum bayar belanjaannya dan asal lari saja. Setelah itu, kami pun kembali masuk ke dalam mobil. Mood- ku masih buruk gara-gara Om Alva masih bersama kami.
☆☆☆
Hai...
Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE.
Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB.
Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH SAYA IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilan saya?
Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan.
Lina Agustin