Mentari menatap atap kamarnya. Sudah lebih dari tiga jam dia mencari kantuk. Tapi sayang otaknya terlalu sibuk mengelak perasaan cintanya untuk Langit.
"Gak.., gak. Gue gak mungkin cinta sama Langit. Ini terlalu konyol, Ayok lah Tar, ada jutaan cowok di muka bumi ini. Masa Lo cuma tertarik sama Langit, sih?!" gerutunya sendiri.
"Ahk!" Tari menjenggut surainya kuat, tidurnya berguling ke berbagai sisi.
"Huufftt.., ini pasti karena gue gak kenal sama cowok lain. Selama ini, kan cuma Langit, cowok yang ada dihidup gue.
Yah... pasti karena itu. Mana mungkin, sih gue cinta sama dia. Cowok nyebelin, resek, gak tahu diri, sok perfect, kalau ngomel udah melebihi suara bajaj... cwiiiee... cwwiiie. Hhhuuh. Nyebelin!"
"Tapi biar begitu Langit itu baik banget sama gue. Waktu mama pergi kata bunda Ina, cuma Langit yang bisa menghibur gue. Bahkan sampai sekarang juga, tingkahnya lawak banget. Gue selalu bisa ketawa saat bersamanya. Mau itu absurd atau gak penting sekali pun."
Mentari akhirnya terlelap dengan masih menyimpan pergulakkan batinnya.
***
Pagi hari.
"Woy... kebo bangun woy!" Teriak Mentari membangunkan Langit. Dia tahu hari ini Langit ada ujian masuk universitas dan dia tak ingin Langit telat. Merasa tak ada pergerakkan Mentari berinisiatif menduduki punggung Langit, yang tidur tengkurap.
"Bangun... bangun!!" Pekiknya lagi sambil bergoyang-goyang bak orang naik kuda. Merasa berat di punggungya, segera Langit bereaksi. Dia merubah posisi tidurnya, sehingga membuat Mentari yang di atasnya jatuh ke samping Langit.
Kini tubuh Langit berada di atas Mentari, gadis itu bisa sepenuhnya mencium aroma tubuh Langit. Walau masih tidur tapi wajah tampan Langit masih mampu membuat jantung Mentari berdendang cepat.
"Minggir Lo," sahut mentari yang belum bisa menormalkan detak jantungnya.
"Ehm." Lenguhan keluar dari mulut Langit meski matanya masih terpejam. Tiba-tiba saja Langit menjatuhkan kepalanya di atas wajah Mentari. Kini bibir mereka saling bertemu, Mentari sama sekali tak mampu bergerak, dia sedang sibuk menyingkronkan isi otaknya dengan kejadian pagi ini. Meski tanpa lumatan tapi Mentari sadar inilah ciuman pertamanya dan parahnya diambil oleh Langit begitu saja.
"Minggir..." Kesal Mentari mendorong Langit kuat sampai lelaki itu tersungkur di lantai.
"Ngapain, sih Lo!" kesal Langit yang baru sadar, dia mengelus-elus kepalanya yang sakit karena terjatuh tadi.
"Lo yang ngapain?!" sahut Mentari tak kalah kesal. Dia berlari dari kamar Langit. Seumur hidupnya tak akan pernah lagi Mentari mau membangunkan Langit.
Langit baru selesai mandi, dia kesiangan karena semalam dirinya baru mimpi basah, tapi entah mengapa mimpi tersebut seakan nyata. Dia ingat betul sesosok wanita yang begitu dia kenali menjadi patner-nya dalam bercinta meski wajah wanita itu samar-samar tapi hatinya yakin bahwa dia menyayangi wanita itu. Senyum masih terus tersinggul di bibirnya. Rasanya hari ini begitu menyenangkan kecuali tingkah Mentari tadi.
"Bun... Tari mana?" tanya Langit, biasanya Mentari akan menumpang sarapan di rumahnya karena rumah Mentari isinya hanya wanita itu dan kucing kesayangannya.
"Pulang deh," sahut Ina, ibunya Langit sambil berusaha mengingat.
"Tumben," balas Langit, sarapan tanpa Mentari rasanya begitu sepi.
"Eeh, mau ke mana?" tanya Ina melihat Langit membawa satu piring makan dengan isi dua roti bakar topping Milo kesukaan Tari.
"Makan bareng Tari." Teriak Langit. Yah... seperti itu Langit, sekesal apa pun dia dengan adik angkatnya. Dia akan tetap mencari Mentari.
Langit segera ke rumah Tari yang hanya tersekat tembok pendek dengan rumahnya. Bahkan Langit tidak masuk lewat pagar. Tetapi dia manjat lewat tembok itu.
"Ahk!" Suara lega Langit setelah berhasil manjat tanpa merusak tatanan roti bakar yang ada di piringnya
"Ye ellah si Tari, pintu depan selalu aja gak di kunci," gerutu Langit melihat pintu depan terbuka lebar.
Tadi memang Tari masuk begitu saja. Dia sudah gak tahan kabur dari Langit setelah kejadian itu, terlebih ada sesuatu yang mengalir deras dari inti tubuhnya. Tari yakin pasti itu darah haidnya.
Pantas saja sejak kemarin malam dia jadi jauh lebih melankolis.
"Tar... Tar... makan yuk!"
Suara Langit diiringi gedoran pintu kamar Mentari.
"Lo aja gue males." Teriak Mentari memang sedang malas karena ini hari pertamanya haid.
"Aduh, aduuh," rancaunya seraya meremas perutnya.
"Tar.., gue bikinin roti Milo kesukaan Lo!" Langit terus merayu Tari.
Tari gak mau peduli kali ini, siapa pun yang menanggilnya sekali pun itu presiden beserta wakilnya.
Apalagi yang memanggilnya sekarang adalah Langit orang yang mati-matian ingin Tari hindari.
Tari ragu apa darah haidnya jatuh di ranjang Langit. Ahk, kalau itu terjadi pastilah sangat memalukan bagi dia.
"Duuh... bener-bener nih," desis Langit seorang diri, dia membuka pintu tersebut menggunakan kunci cadangan yang Tari letakkan di samping pintu.
"Aku harus bersihin darah aku!" ringis Mentari seraya berdiri. Dia menjatuhkan roknya dengan bergetar dan menarik handuk bersih yang ada di dalam lemarinya.
"Aahkk!!"
Kontan Mentari teriak, dia baru saja berniat ganti pembalut beruntung dia sudah melilitkan tubuh bawahnya dengan handuk. Sementara roknya sudah berceceran di lantai.
"Apaan sih teriak-teriak!" gerutu Langit.
Tari terpejam kuat, bibirnya mengatup kuat! Keadaan ini tak bisa dia tolerir.
'Bisa gak, sih Langit ketuk pintu dulu?!' tanyanya dalam hati sembari menyembunyikan roknya yang tembus darah.
"Lo kalau mau masuk ngomong-ngomong dulu," kesal Mentari sambil eratkan lilitan handuk di tubuh bawahnya. Tak mau sampai benda itu terjatuh.
"Yeellah, dari kecil juga suka main kolam air bareng juga, inget gak dulu Lo suka telanjang di depan gue?" desak Langit tak suka dibentak.
"Itu dulu. Sekarang pokoknya gak boleh. Lo kudu nghormatin privasi gue. Pokoknya gak ada masuk-masuk kamar gue lagi tanpa seijin gue!"
"Emang apa, sih?!" tanya Langit malah semakin masuk ke dalam.
Dengan kekuatan tersisa, Tari mencoba mendorong Langit keluar. Dia tak memperdulikan sarapan yang di bawa Langit. Dirinya masih begitu kesal tak dianggap sebagai wanita oleh Langit.
"Shitt. Kenapa sih, Tari? Emangnya apaan sih yang diumpetin dari gue?!" gumam Langit tidak merasa jika Mentari sedang menyembunyikan privasinya sebagai wanita dewasa.
***
Walau telah diusir Langit tetap menunggu Mentari di depan. Dia tahu Tari pasti sebentar lagi pasti keluar
Tari keluar dengan muka di tekuk tujuh.
"Ngapain Lo masih di sini?!" sarkasnya tapi duduk di sebelah Langit.
Langit tersenyum, kembali menyodorkan roti bakar buatannya.
"Ck...!" desis Tari tapi juga mengambil rotinya, dia berniat mengigit. Tapi perutnya justru semakin melilit.
"Aauuw!" jeritnya tertahan. Bahkan peluh membanjiri pelipisnya padahal Tari baru selesai membersihkan dirinya.
"Lo kenapa, Tar?!" Langit sangat khawatir.
"Lo mau pup?!" lanjutnya lagi.
Pllaakk!!
Tari memukul lengan Langit. "Enak aja! perut gue sakit bangetttt. Biasa hari pertama!" adunya sambil meremas perutnya.
"Hhah... terus gue harus gimana? gue elus perut Lo sini," kata Langit sudah ingin menyentuh perut rata Tari. Cepat Tari menyentak. Dia, kan sudah katakan mulai saat ini Langit tak bisa menyentuh dia sembarangan. Tari kembali ke kamar, untuk tidur berharap rasa sakitnya bisa sedikit memudar. Meski dia merasa rasa itu sudah menjalar sampai tulangnya.
Langit ikut menghampiri Mentari, matanya menyerit tak suka.
"Makanya sini gue obatin," ucapnya lebih masuk ke dalam untuk memeriksa keadaan Tari secara langsung. Langit memegangi dahi Mentari.
"Eng-enggak usah pegang-pegang!" tekan Mentari kuat mengelak, dia menggoyang-goyangkan kepalanya tak mau Langit menyentuhnya lagi.
"Batu Lo!" hina Langit meski diwarnai rasa sangat cemas. Dia segera pulang mengambil obat pereda rasa sakit, obat merah serta apapun yang bisa dia berikan pada Mentari. Karena Langit gak tahu apa yang bisa meredakan rasa sakit gadis itu. Bahkan sakitnya apa Tari gak bilang. Gimana Langit gak kesel udah dibuat cemas luar biasa gini.
Bodolah... Langit cuma tahu Betadine adalah obat dari segala penyakit berdarah.
Langit sampai kembali ke rumah Tari dengan nafas memburu.
"Sini mana yang sakit?!" tanyanya sambil pegang obat merah, mau tak mau Tari tertawa, hheeh... dipikir pria itu obat itu pengaruh sekarang.
"Kok Lo malah ketawa, sih?!" selidik Langit.
"Habisnya Lo gak jelas. Gue bukan jatoh dari sepeda kayak dulu. Tapi gue lagi haid... haid!" pekik Mentari.
Langit melotot kaget. Seakan baru menyadari satu fakta penting.
"Itu artinya Lo udah gede dong!" cicitnya masih tidak percaya. Mentari melengos, Langit saja yang baru tahu. Padahal ini tahun keduanya dia mendapatkan tanda puberitas itu. Bahkan jika diperhatikan buah dadanya telah ranum dan sekarang daerah itu terasa sangat linu jika sampai tersentuh.
"Jadi ini gak ada gunanya?!" tanya Langit dengan wajah cengo.
"Enggak!!"
"Ya udah sebentar!"
Langit pernah baca artikel jika air hangat yang dimasukkan ke dalam botol mampu meredakan rasa linu karena menstruasi. Segera Langit ke dapur memasak air setengah dengan panas yang pas.
"Awww.., Aaaww...!" desis Langit ketika memasukkan air hangat di botol plastik. Tapi justru mengenai tangannya sampai terasa melepu.
Ini dia lakukan hanya untuk Tari, bahkan jika untuk dirinya sendiri Langit rasanya sangat malas.
Buru-buru dia membawa air hangat itu ke kamar Tari.
"Sinian!" suruhnya karena Tari masih tidur tengkurap.
"Ngapain?!" pekik Tari sedikit miring, menunjukkan wajahnya. Tangannya masih terus di perutnya sambil meremas kuat.
"Gue mau urut perut Lo pakai ini," kata Langit yang sudah memakai sarung tangan handuk tidak mau kepanasan lagi dan tidak ingin Tari sampai tahu kalau tangannya melepuh karena panik. Pasti Tari nanti akan mentertawainya.
"Gak gak usah." Elak Tari. Langit mana mengerti. Emang ada orang yang cuma belajar dari artikel, pikir Tari.
Kali ini Langit tak ingin ditolak. Dia menarik bahu Mentari agar terlentang, langsung meletakkan botol berisi air hangat itu di atas perut Mentari meski masih di tutupi kaosnya.
Menggulirkan ke atas dan ke bawah. Mentari tidak bisa menolak. Rasanya begitu nyaman hingga tak butuh waktu lama Mentari terbuai di alam mimpi. Semalam dia memang kurang tidur karena terus memikirkan Langit.
'Tar... pokoknya Lo harus terus ada sisi gue. Gue gak akan biarkan Lo pergi dari gue!' batin Langit terus menatap Mentari yang tertidur.