Langit baru bisa meninggalkan Mentari setelah mendengar bunyi dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Lantas dia memilih duduk di ruang tengah. Langit sama sekali tidak ingin meninggalkan Tari. Dia takut adik kecilnya itu merasa kesepian seorang diri dalam sakitnya. Tidak, Langit tidak akan pernah mengijinkan itu terjadi.
Sore harinya, Mentari baru saja terjaga, dia merasa tubuhnya jauh lebih baik setelah tidur siang hampir seharian. Sambil melenguhkan badannya, Tari memegangi perutnya. Tiba tiba dia merasa lapar. Sayangnya dia juga harus menyiapkan makanan seorang diri karena memang tidak ada orang yang bisa dia andalkan untuk mengurusnya.
Tari sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini dan biasanya dia kuat. Mungkin sore ini karena sakit, Tari jadi lebih manja saja. Bibirnya cemberut merasa malas harus memasak untuk dirinya sendiri.
"Aku makan mie aja lah." Akhirnya Tari memutuskan memasak makanan instan itu.
Ketika keluar kamar. Dia mencium bau masakan yang begitu sedap, Tari sampai mengendus harum masakan itu. Dia merapatkan netra dan berjalan ke dapur.
"Udah bangun Lo?" tegur Langit yang sedang sibuk masak. Di sisi-sisinya banyak bahan masakan yang entah sudah memenuhi seluruh ruangan membuatnya begitu kotor. Jangan lupakan cipratan minyak di mana-mana.
"Lo ngapain, sih, Lang?!" Tari mendelik takjub. Dalam hati, apa lelaki ini sedang akrobat sampai dapurnya berantakan begini. Tapi dasar Langit, lelaki itu malah tidak merasa bersalah.
"Nih.., gue buatin udang goreng tepung sama sphagetti kesukaan Lo. Seneng,'kan Lo!"
Langit meletakkan makanan ke meja makan. Apron yang dia pakai juga sudah kotor. Mentari menggeleng tidak tahu lagi harus marah seperti apa. Karena, Tari juga sadar, Langit melakukan ini untuk dirinya.
Sembari mengangguk-angguk. Tari berniat memaafkan kesalahan Langit.
"Yah.. tapi dapur gue jangan Lo jadiin kapal pecah juga kalik," gumam Tari seraya memutar bola matanya. Langit berdecih kemudian meledek Tari.
"Masih untung dimasakin. Gak tahu makasih Lu!" Keduanya saling pandang. Sedang bertengkar lewat tatapan mata sinis itu.
Tari duduk di meja. Melihat hasil masakan Langit dengan seksama.
"Jadi gue boleh makan gak, nih?!" ucapnya basa-basi. Karena Tari sudah membalik piringnya. Langit terkekeh melihatnya. Gegayaan aja gak mau. Tapi sudah siap mau makan.
"Tentu boleh dong. Kan gue bikin ini juga buat Lo," ungkap Langit sembari menyodorkan sphagetti ke piring Tari. Untungnya dia pernah melihat mamanya buat udang goreng tepung. Sedang kelihaian buat sphagetti dia dapati dari kebiasaanya yang suka makan junk food itu.
Tari mulai memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Sedang Langit menunggu reaksi Tari, sebelum Tari berucap. Dia tak akan memakan masakannya sendiri, karena Langit takut muntah.
"Gimana, Tar?!" selidiknya begitu khawatir. Tari memejamkan mata rapat. Terus mengunyah tanpa berkata.
"Eeh, bayik! Gue tanya gimana!?"
Kali ini Langit membentak Tari. Tari cuma memberikan dua jempolnya. Gak disangka manusia resek macam Langit bisa punya kepandaian dalam bidang kuliner. Ini terlalu enak untuk kategori orang baru belajar memasak. Jadi, yah... Tari maafkan lah keadaan dapurnya yang berantakkan itu. Langit terlonggo. Tari sungguhan kah masakannya enak. Hidung Langit kembang kempis dia langsung mengambil bagiannya dan mau mencicipi sendiri. Tari benar, rasanya tak kalah jauh sama yang biasa Langit beli di restoran cepat saji. Ternyata gak percuma,ya lidah sama otaknya berkerja sama membuat makanan untuk adik tercintanya.
"Lo kudu nambah lagi,ya!"
Langit tak segan melayani Tari kali ini. Mumpung dia lagi baik sekalian saja Tari minta diambilkan air. Ketika Langit melotot Tari langsung memakai jurus memelasnya dan berkata.
"Yah.., kalau mau baik jangan tanggung-tanggung, Lang!"
Disaat Langit dengan muka terpaksa mengambilkan air untuk Tari, nyatanya Mentari mendapat panggilan telepon dari nomor kantor. Dia menyeritkan alis. Tari tahu asal panggilan itu. Pastinya dari tempat ayahnya bekerja. Ayah Tari seorang TNI AU yang ditugaskan menjaga perbatasan Indonesia timur yang kini juga sedang bersitegang akibat perselisihan antar warga.
Tari mengangkat panggilan itu dengan hati-hati. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Bahkan waktu Langit menyodorkan gelas minum. Tari hanya menaiki tangan, tanda dia lagi tidak bisa diganggu. Langit bertanya dengan dagu dinaikkan ke atas. Mengapa wajah Tari jari berubah seperti ini?!
"Siapa, sih?" Langit bergumam sendiri karena Tari tidak menjawabnya.
"Apa. Gak mungkin... semua pasti gak mungkin!" Tari jadi histeris. Dia menjatuhkan ponsel bersamaan badannya yang luruh.
"Ini gak mungkin."
Tari masih berucap lirih dengan genangan air mata yang terjun bebas begitu saja dari kelopaknya. Langit ikut terjongkok. Memegangi bahu Tari prihatin. Diambilnya ponsel Mentari.
"Maaf kami dari rekan kerja, Gunawan Jatmiko. Mau mengabarkan kepada keluarganya jika saudara Gunawan Jatmiko gugur akibat tembakan dari orang yang tidak dikenal."
Berita itu juga mengguncang perasaan Langit sekaligus membuat Langit sangat paham dengan kesedihan yang ditanggung Mentari kini. Tari memang sangat jarang bertemu ayahnya itu. Tapi bukan berarti dia siap ditinggal selamanya. Perpisahan selalu menjadi mimpi buruk untuk semua orang. Dan Tari sedang masuk dalam mimpi buruk itu. Segera Langit merangkul Tari erat. Gadis itu boleh menangis dalam dekapannya. Berteriak, meraung asal kan Tari bisa jadi dia yang biasanya maka disakiti pun Langit rela.
Rasa sayangnya pada Mentari begitu kuat. Bagi Langit, Tari adalah adik yang paling dia sayang bahkan mungkin, jika dia punya adik sendiri. Langit akan tetap lebih menyanyangi Tari.
"Lang.., nantinya gue sama siapa?!"
Mentari bergumam di pelukkan Langit. Tentu Langit menanggapi dengan gelengan tidak setuju. Tidak, Tari gak boleh berfikir seperti itu. Masih ada dia, ada mamanya yang bisa Tari anggap seperti mama sendiri.
Tari gak akan sendirian karena akan selalu ada Langit bersamanya.
***
Tari diminta datang langsung ke rumah sakit melihat jenazah ayahnya itu. Tari ditemani Langit. Dia gak akan pernah meninggalkan Tari disaat seperti ini. Dari matanya, Langit meminta Tari untuk kuat dan melihat ayahnya yang kini terbujur kaku di ruang mayat.
"Lang. Gue takut."
Tari melap air matanya kasar. Meski percuma, karena setelah dilap airmatanya jatuh lagi seakan kelopaknya tak pernah lelah memproduksi cairan bening itu sejak sore. Hanya satu yang menguatkan Tari. Prasangka baik, yang otaknya buat guna membohongi diri. Yah..., Tari masih berfikir. Mungkin saja itu bukan mayat ayahnya. Bisa jadi rekan ayahnya salah mendianogsa jadi beliau. Mungkin sekarang ayahnya sedang ada disuatu tempat, bersembunyi dan berusaha pulang untuknya. Jika sampai ada saat itu. Tari akan memarahi ayahnya dan melarang pria tegap itu pergi. Tari gak akan mau lagi untuk ditinggal dengan alasan tugas. Dia sadar, dirinya juga butuh sosok ayahnya.
Yah sugesti itu pula yang membuat Tari kuat sampai di sini.