Bab 1 : Rencana Pernikahan

1448 Words
Seminggu setelah Wijaya memikirkan perihal Nilam yang ditolak kedatangannya oleh ibu, membuat ia berkunjung ke rumah ayahnya. Hubungan antara Wijaya dan ayahnya, tidak pernah diketahui oleh Hanifah, ibunya. Kunjungan Wijaya ke rumah ayahnya untuk membicarakan keinginannya untuk meminang Nilam. “Ayah apa kabar?” tanya Wijaya ketika masuk ke rumah ayahnya. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Lalu Wijaya di persilakan duduk, tak lama kemudian istri dari ayahnya membawakan secangkir kopi dan beberapa jajanan basah. “Di minum kopinya, mumpung masih panas,” ujar ibu sambungnya sambil meletakkan kopi dan jajanan di atas meja. Wijaya langsung menyeruput kopi yang telah disajikan dengan terlebih dahulu ditiup-tiupkan uap panasnya. Hal yang sama dilakukan pula oleh ayahnya. Setelah mereka berbicara untuk hal yang bersifat basa-basi, kemudian Wijaya langsung berbicara pada pokok tujuan ia berkunjung ke rumah ayahnya. “Ayah, maksud saya ke rumah ini, saya ingin minta bantuan. Seminggu lagi, saya ingin menikah, jadi saya ingin ayah menjadi saksinya,” pinta Wijaya pada ayahnya. Mendengar anak semata wayangnya ingin menikah, membuat hati Handoko sangat berbahagia. Itu terlihat dari pancaran raut wajahnya. “Hemmm, apa ibumu sudah setuju kalau ayah yang menjadi saksi dari pernikahan kamu?” tanya Handoko, karena selama ini hubungan ia dan Hanifah tidaklah baik, setelah mereka bercerai delapan belas tahun yang lalu. Mendengar ibunya ditanyakan oleh sang ayah, membuat Wijaya menceritakan seluruh kejadian yang terjadi seminggu yang lalu. Rencananya, setelah menikah secara diam-diam, ia akan mengatakan pada ibunya. Dengan begitu mau tidak mau ibunya, harus menerima keadaan yang sudah terlanjur terjadi. Mendengar penjelasan dari anak lelakinya, Handoko pun menyetujui gagasan yang disampaikannya. “Baiklah Jaya kalau begitu, ayah setuju dengan rencana kamu, dan semoga semuanya lancar sesuai rencana,” ujar Handoko yang berharap semua akan baik-baik saja. Setelah itu, Wijaya pun berpamitan pada ayah dan ibu sambungnya. Wijaya meninggalkan kediaman Handoko, menuju rumah Nilam, kekasih hatinya. Sambil mengendarai mobil, Wijaya kembali mempertimbangkan keputusannya untuk menikah secara diam-diam. Dan hal itu akan dibicarakan oleh Nilam kekasihnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Wijaya berhenti pada gang sempit untuk menuju rumah Nilam. Sebenarnya, Nilam tinggal bersama paman dan bibinya selama tinggal di kota Jakarta, sejak ia sekolah Lanjutan Pertama. Hanya saja, sejak dua tahun lalu pamannya memutuskan untuk ke kampung halaman karena sudah pensiun, sehingga saat ini hanya Nilam yang menempati sebuah rumah kecil di gang sempit. Wijaya memarkir mobil di ruas jalan dekat gang sempit yang menuju rumah Nilam. Antara jalan besar dan rumah Nilam yang berada di gang tersebut berjarak sekitar tujuh ratus meter. Sesampai di sebuah rumah sederhana dengan cat yang terlihat memudar itu, Wijaya berhenti. Lingkungan padat di sekitar lingkungan rumah Nilam, membuat tetangga di sebelah rumahnya telah mengenal Wijaya sejak mereka berpacaran. “Tok...tok...tok...” Wijaya mengetuk daun pintu rumah Nilam. Melihat kedatangan Wijaya, Nilam yang sedang menonton televisi mempersilakan Wijaya masuk ke dalam rumah. “Masuk mas,” ucap Nilam mempersilakan Wijaya masuk ke dalam rumah dan ia sendiri langsung mematikan televisi yang tadi di tontonnya. Sesampai di ruang tamu, Wijaya duduk dan di temani Nilam yang tersenyum mesra ke arahnya. “Bagaimana mas, hasil pembicaraan dengan ibu?” tanya Nilam bergelayut manja di tangan Wijaya. Mendengar pertanyaan Nilam yang langsung menuju ke inti masalah yang selama ini selalu mereka perdebatkan, membuat Wijaya memejamkan mata dan menghela napas panjang. Kemudian ia berkata pada Nilam, “Lam, sepertinya ibu tetap sama dengan pendiriannya, walau aku bujuk, ia tetap tidak memberikan respons dan tetap memaksa aku dengan pilihannya.” “Yaa, sudahlah mas..., mungkin kita enggak berjodoh, aku enggak mau kita menikah tanpa restu orang tua,” ungkap Nilam memberikan pendapatnya secara langsung dengan masih menyandarkan kepalanya pada bahu Wijaya. “Lam, kenapa kamu selalu saja berpikir kita enggak berjodoh, kenapa sih kamu enggak berupaya memikirkan cara lain, agar kita tetap menikah dan terakhir kita minta restunya,” ujar Wijaya memberikan tanggapan atas ucapannya yang terlihat lebih kepada pasrah dengan keadaan. Mungkin saja, latar belakang dan pandangan hidup antara mereka berbeda dalam menilai sebuah restu orang tua dan rasa hormat pada orang tua. Nilam yang berasal dari sebuah desa kecil di daerah Kulon Progo Yogyakarta, sangat terbiasa dengan tata krama yang menomor-satukan titah orang tua serta selalu menghormati orang tua atau yang lebih tua dari kita. Jadi tata krama serta tidak membantah titah orang tua adalah tradisi yang telah mendarah-daging serta menjadi hal yang telah terprogram dalam pikiran dan tingkah lakunya. “Mas, bagiku yang utama itu restu orang tua, tanpa restunya kita enggak akan melangkah lebih jauh, memang menyakitkan, tetapi kita berdua telah berusaha,” ucap Nilam. Perdebatan di antara mereka membuat Nilam yang awalnya merebahkan kepalanya dibahu Wijaya kini duduk tegak bersandar pada kursi sambil menoleh menghadap ke arah wijaya. Terlihat Wijaya menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Lam, aku minta air dingin campur batu es yaa, kepalaku terasa panas jika harus memikirkan hal ini dari tahun ke tahun.” Nilam terlihat berjalan menuju dapur yang tampak dari ruang tamunya. Letak dapurnya berbanding lurus dengan ruang tamu dan hanya dibatasi oleh tembok setengah. Dan untuk ruang keluarga berada di sebelah kiri berjajar dengan dua kamar. Nilam kembali ke ruang tamu dengan membawa satu botol air putih berikut gelas kaca yang telah di berikan batu es. Wijaya menuang air putih yang berada di botol kaca itu ke dalam gelas bening, lalu ia meneguk hingga dua gelas tanpa tersisa. Setelah itu, terlihat raut wajah Wijaya lebih segar dibandingkan ketika ia baru memasuki rumah itu. Kemudian, digenggamnya tangan Nilam lalu diciumnya punggung tangan kekasih hatinya. “Nilam, kamu tau kan kalau aku cinta mati sama kamu?” tanya Wijaya dengan mencium kembali ke dua tangan kekasih hatinya. Nilam yang mendengar kata-kata cinta yang meluncur dari bibir Wijaya, hanya tersenyum manis dan menganggukkan kepala dengan menatap penuh dengan cinta. Dan saat ini ia sedang menunggu kelanjutan dari perkataan Wijaya atas kelanjutan hubungan mereka yang telah menginjak enam tahun. “Aku punya rencana untuk tetap menikahi kamu walau tanpa restu ibuku,___ ,” kata-kata Wijaya terjeda karena melihat Nilam yang akan menimpali kata-katanya, sebelum ia selesai berbicara. Oleh karena itu, Wijaya menutup bibir Nilam dengan telunjuk jari yang diletakan pada bibirnya. Kemudian Wijaya melanjutkan ucapannya. “Tetapi...., aku meminta restu pada ayahku, karena ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan restu dari ibuku. Lam, sekarang jaman sudah berubah, lagi pula aku ini lelaki, mungkin ibu lupa menempatkan posisiku sebagai lelaki yang berhak memilih pasangan hidupku.” Setelah mendengar penjelasan dari Wijaya, kepala Nilam tampak mangut-mangut, hanya saja ia bingung bagaimana cara menjelaskan pada paman dan bibinya yang telah di anggap sebagai orang tuanya sendiri, sejak ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan. Selain perasaan bingung yang menerpa pikirannya, ada sebersit rasa bahagia yang kini tengah menggelantung di dalam benak dan hatinya. Karena ia yang telah berusia dua puluh tujuh tahun akan segera mengakhiri masa lajang. “Bagaimana menurut kamu, sayang?” tanya Wijaya dengan menyentuh ujung hidung mancung milik Nilam. Nilam tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Apalagi hal itu akan menjadi berita yang menggembirakan pula untuk paman dan bibinya. Nilam pun tersenyum manis dengan memperlihatkan lesung pipinya. “Mas, aku bahagiaaaa,” pekik Nilam dengan memeluk tubuh Wijaya. Wijaya pun memeluk erat tubuh Nilam dengan penuh kasih sayang. Ia pun mencium mesra kening dan kemudian mereka berciuman bibir. Mereka menikmati kebahagiaan ini dengan berpacaran sehat di rumah. Walaupun beberapa kali Wijaya selalu merayu Nilam agar melanggar gaya pacarannya yang di anggap kolot karena membatasi area mana saja yang boleh di cium Wijaya, tetapi Nilam selalu memegang prinsip hidup tentang sebuah norma dan kehormatan bagi seorang Wanita. Ia selalu mengingat pesan bibi yang telah menggantikan peran ibu baginya. Hal yang patut dan tidak patut ketika berpacaran. Karena sekali ia salah melangkah, runtuhlah seluruh harga dirinya. “Mas..., sudah jangan aah..., toch sebentar lagi kita akan menikah. Tolong bersabar yaa mas..,” ucap Nilam selalu mengingatkan Wijaya yang selalu merengek untuk melepaskan yang kelak menjadi miliknya. Nilam pun melepaskan pelukannya, menyadarkan Wijaya yang hampir terhanyut dalam hasrat lelakinya. Dan untung saja, Nilam mampu menjaga kehormatan dirinya dari waktu ke waktu. Dan ini pula yang membuat Wijaya menghormati sekaligus mencintai Nilam dengan prinsip dan keteguhan hatinya. “Sudah mas pulang sana, udah larut malam ini, enggak enak juga sama tetangga kanan kiri, nanti di sangkanya kita berbuat aneh-aneh,” ujar Nilam meminta Wijaya untuk meninggalkan rumahnya. Wijaya tertawa kecil mendengar celoteh yang sering kali di ucapkan oleh Nilam, bahkan berulang kali selama mereka berpacaran. Setelah itu, Wijaya pun berpamitan pada Nilam. Dan ia mengingatkan Nilam agar menghubungi paman dan bibinya untuk membuat persiapan pernikahan mereka di kampung halamannya. Wijaya kembali menyusuri gang yang sempit menuju mobil yang di parkir. Sesampai di mobil, ia langsung tancap gas membelah kegelapan malam menuju tempat kostnya untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya akan hal rumit yang telah ia putuskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD