Bab 2 : Sebuah Keputusan

1761 Words
Tiga hari sebelum hari pernikahan yang telah dibicarakan ke ayah dan Nilam, di hari Jumat pagi Wijaya ingin berpamitan pada ibunya disela-sela sarapan pagi. “Ibu...., Jaya agak lama ke luar daerah, karena banyak sekali cabang-cabang kecil yang harus di audit,” ucap Wijaya dengan tetap fokus pada sarapannya, karena ia tidak ingin ibunya tahu tentang kebohongan yang telah ia rancang bersama ayah dan Nilam. “Memang berapa lama kamu di daerah?” tanya Hanifah melihat ke arah Wijaya yang terlihat menikmati sarapan paginya. “Sekitar dua minggu.” “Lama sekali yaa...,hemmm kamu di sana hati-hati, jaga kesehatan dan jaga diri,” ujar Hanifah memberi nasihat pada putra tunggalnya. Mendengar kata-kata ibunya, ada sebersit penyesalan direlung hati Wijaya tentang kebohongan yang ia lakukan. Tetapi jalan ini di tempuh karena, ia merasa, ini adalah satu-satunya jalan terbaik untuk saat ini. Apalagi paman Nilam selalu mendesak, agar ia segera menikahi keponakannya yang telah dipacari selama enam tahun. Sedang ibunya tidak merestui hubungan ia dan Nilam selama ini. Ia berharap setelah pernikahan yang ia lakukan, ibunya akan merestui mereka. Wijaya sadar, ibunya takut mempunyai menantu yang kelak tidak peduli dengannya. Karena ia hanya mempunyai satu orang anak. Dan sejak bercerai, ibu tidak pernah sekalipun terlihat bersama lelaki lain. Padahal kala itu, Wijaya masih kelas tiga sekolah dasar. Ibunya masih muda dan cantik jelita. Kekecewaan yang mendalam pada pernikahannya, membuat ibunya fokus dengan usaha yang dirintis. Dalam hati Wijaya berkata, ‘Setelah pernikahanku, aku tidak akan pernah mengecewakan ibu lagi, maafkan aku, Buu....’ “Jaya, jam berapa tiket pesawatnya? Koq kamu melamun di meja makan? Apa kamu enggak enak badan?” tanya Hanifah pada putranya yang terlihat melamun. “Enggak koq Bu, Cuma sedih aja liat ibu kelamaan sendiri di rumah, biasanya kan cuma lima hari maksimal satu minggu, Jaya pasti ke rumah.” Mendengar penuturan putranya membuat Hanifah tersenyum bahagia. Ia sangat bersyukur mempunyai seorang anak yang berbakti dan tidak pernah menyusahkannya sejak balig, menginjak remaja bahkan ketika masuk ke dewasa. Jaya mencium pipi dan tangan Hanifah. Lalu Jaya berjalan keluar rumah dan mencari taxi di pinggir jalan untuk membawanya ke bandara. Tidak sampai sepuluh menit, sebuah taxi berhenti dan langsung membawanya ke bandara. Di dalam taxi, Wijaya langsung menghubungi Nilam lewat sambungan telepon genggam. “Lam, apa kamu sudah sampai bandara?” tanya Wijaya lewat sambungan telepon. “Sudah memasuki area bandara, sebentar lagi sampai,” jawab Nilam. “Ya sudah, nanti kamu tunggu aja, sekitar 30 menit saja aku sampai,” ujar Wijaya lalu memutus sambungan teleponnya. Taxi yang membawa Nilam pun telah sampai terlebih dahulu, lalu ia menunggu di depan pintu keberangkatan. Benar saja sekitar dua puluh lima menit taxi yang membawa Wijaya juga sampai. Dilihat Nilam telah menunggu di depan pintu keberangkatan dengan satu buah koper berwarna merah dan satu tas tangan. Sementara Wijaya hanya membawa satu buah koper berwarna abu-abu. Wijaya berjalan menghampiri Nilam yang telah tersenyum melihatnya. Setelah itu, Wijaya berjalan beriringan memasuki post penjagaan untuk memperlihatkan tiket yang telah dibelinya. Lalu mereka pun masuk ke dalam bandara untuk melewati pemeriksaan x-tray atas koper dan tas serta alat elektronik yang mereka bawa. Selesai lolos pada bagian pemeriksaan barang, mereka berjalan menuju tempat petugas untuk melakukan boarding-pass. Selesai melakukan boarding-pass dengan menitipkan koper dibagasi, mereka pun berjalan menuju tempat menunggu. Sepanjang perjalanan menuju tempat menunggu banyak sekali resto yang menjajakan makanan dan camilan bagi mereka yang belum sarapan pagi. “Sayang, apa kamu sudah sarapan?” tanya Wijaya pada Nilam. Nilam terlihat menggelengkan kepalanya, lalu Wijaya menuju sebuah resto untuk mengajak Nilam sarapan pagi. Mereka berdua memilih tempat duduk, lalu Nilam memesan bubur ayam dan segelas teh hangat sedangkan Wijaya hanya memesan kopi hitam saja karena telah sarapan. Seorang pelayan membawakan pesanan yang telah di pesan ke meja mereka. “Mas, bagaimana dengan ibu?” tanya Nilam disela-sela ia makan buburnya. Wijaya yang ditanya hanya terdiam dengan fokus pada secangkir kopi yang tengah dipegangnya. Sesekali ia meniup-niup kopi tersebut lalu menyeruputnya. Nilam yang tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, hanya menoleh sepintas pada Wijaya yang masih menikmati minumannya. Dan akhirnya Nilam pun membiarkan pertanyaannya menguap tanpa jawaban sambil menikmati bubur ayamnya. Selesai mereka menikmati makanan dam minuman di resto tersebut, mereka pun bergegas menuju tempat menunggu pesawat setelah membayar pada kasir. Wijaya menggandeng tangan Nilam tanpa berkata-kata. Begitu pun dengan Nilam, ia tidak lagi mengatakan apa pun, karena ia telah paham dengan sifat dari Wijaya, jika ia tidak menjawab pertanyaan itu, berarti masalah itu masih tetap berlangsung. Mereka sampai di ruang tunggu, dan duduk pada sebuah kursi. Tangan Wijaya melingkar pada pundak Nilam. Sekilas Nilam melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya lalu melihat pada tiket yang dibawanya. Nilam menggumam dalam hati, ‘Hmmmm masih tiga puluh menit lagi aku di ruang tunggu ini.’ “Sayang ada apa?” tanya Wijaya ketika dilihatnya Nilam mencocokkan tiket dan jam tangannya. Nilam hanya tersenyum dan berkata, “ Enggak ada apa-apa, aku cuma melihat waktu yang tersisa untuk membawa kita terbang.” Mendengar jawaban polos dari Nilam, tangan Wijaya dengan penuh kasih sayang membelai rambut panjang Nilam. Sedangkan tangan satunya menggenggam jemari lentik Nilam. Mendapatkan perlakuan kasih sayang dari Wijaya, membuat Nilam justru takut atas kenyataan yang kelak akan ia hadapi. Sehingga ia mengatakan ketakutannya pada Wijaya. “Mas, kalau ibu kamu, tetap tidak mengakui aku sebagai menantunya walaupun kita telah menikah bagaimana?” tanya Nilam dengan nada cemas dan hal itu tergambar dari raut wajahnya. “Sayang, kita berharap saja semua berjalan lancar, jangan sesekali berpikiran negatif atas harapan kita.” Wijaya mengatakan hal itu dengan tetap membelai mesra kepala Nilam yang saat ini telah bersandar pada pundaknya. Sesekali Nilam memejamkan mata indahnya. Akhirnya petugas maskapai penerbangan pun mengumumkan untuk para penumpang menyiapkan diri untuk masuk ke dalam pesawat dengan mengantre di depan pintu masuk gate. Para penumpang menyiapkan ID / KTP beserta tiket. Nilam berjalan di depan Wijaya menuju pintu gate. Selesai melakukan pemeriksaan tiket dan ID /KTP, mereka pun berjalan menuju pesawat. Sesampai di pesawat mereka mencari kursi sesuai dengan nomor yang ada pada tiket tersebut. Nilam memilih dekat jendela pesawat ketika harus memilih di bagian tengah atau di dekat jendela. Akhirnya mereka pun duduk di dalam pesawat sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. “Mas, sebenarnya aku agak nervouse jika harus naik pesawat. Takut aja sih, dan aku merasa lebih nyaman dengan kereta api,” ucap Nilam dengan tersenyum ke arah Wijaya. Wijaya pun tersenyum lebar mendengar pengakuan Nilam langsung berujar, “Dasar kampungan.” Nilam yang mendengar ejekan dari Wijaya hanya merengut, dan mencubit lengan Wijaya. Tak lama kemudian, pramugari memberikan instruksi standard keselamatan dalam penerbangan di dalam pesawat jika tiba-tiba pesawat mengalami sesuatu. Nilam dengan antusias memperhatikan seluruh yang diperagakan oleh pramugari hingga pesawat akan lepas landas. Ketika pesawat akan lepas landas, tangan Nilam yang berada di bantaran kursi langsung menggenggam sangat erat tangan Wijaya, karena rasa takutnya akan penerbangan yang akan dimulai. Melihat hal itu, Wijaya membisikkan kata-kata yang mujarab pada kekasihnya. “Pasrahkan saja semua pada kehendak Tuhan, karena kita akan berada di atas, enggak ada yang bisa kita lakukan kecuali ikhlas dan menikmati perjalanan ini.” Mendengarkan bisikan dari Wijaya, membuat Nilam mengerti arti ikhlas dan pasrah. Dan saat ini ia merasakan keikhlasan atas apa pun yang kelak akan terjadi. Walau ada ketakutan dihatinya, namun kepasrahan membuat ia menikmati perjalanan dengan pesawat. Nilam hanya terus dan merasa takjub atas kebesaran Sang Pencipta ketika melihat awan-awan putih yang bertebaran di langit.  Dan ia secara dekat melihat awan-awan itu menerpa pesawat yang ia tumpangi dengan sesekali bergoyang kecil. Akhirnya ia pun menikmati perjalanan lewat udara yang hanya satu jam dengan terus menikmati pemandangan langit berwarna kebiruan dengan awan putih yang tenang. Setenang hatinya melalui kepasrahan diri. “Mas, kata-kata kamu memang mujarab, sampai membuat aku menikmati perjalanan ini, liat dua puluh menit lagi kita akan mendarat,” ujar Nilam dengan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Mendengar pernyataan Nilam yang begitu polos dan tersenyum bahagia karena bisa melewati perjalanan lewat udara dengan menikmati pemandangan langit membuat hati Wijaya pun bahagia. Dalam hati ia berkata, ‘Aku yakin, kelak ibu akan menyenangi Nilam yang mempunyai hati baik dan polos dalam berbicara.’ Tak berapa lama, ada pengumuman di dalam ruang kopit pilot yang mengatakan pendaratan akan segera di mulai, dan meminta seluruh penumpang kembali ke kursi masing-masing dengan memasang sabuk pengamannya kembali. Dan ketika pesawat sudah mulai akan melakukan landing terasa sedikit demi dan hal itu dirasakan oleh semua penumpang. Dan akhirnya roda pesawat pun menyentuh tanah dengan sedikit guncangan yang keras. Sehingga tangan Nilam kembali menggenggam keras tangan Wijaya. “Kita sudah sampai sayang....,” ujar Wijaya dengan tersenyum dan mencium kening Nilam. Mereka pun sampai pada tempat parkir pesawat, lalu mereka semua antre untuk keluar satu persatu setelah mengambil barang di kabin pesawat. Setelah itu mereka menuruni tangga pesawat dan memasuki ruang kedatangan yang ada di dalam bandar udara. “Hmmmm akhirnya, kita sampai,” pekik Nilam dengan merentangkan tangan. Dan ia tidak bisa menahan kegembiraannya sampai di kota tujuan dengan selamat. Wijaya hanya tertawa kecil melihat kelakuan Nilam yang seperti anak kecil. Walau dihatinya, ada sedikit kesedihan ketika harus mengingat ibu yang harus dibohonginya. Dan tingkah laku Nilam setidaknya dapat membuat hatinya sedikit terhibur. Mereka kemudian berjalan ke bagian pengambilan barang. Sekitar tiga puluh menit kemudian barang mereka berupa dua koper pun telah mereka ambil. Kini mereka menyusuri jalan menuju pintu keluar bandara. Sesampai di luar pintu penjemputan, Nilam langsung menyalakan ponselnya dan langsung menghubungi bibinya. “Bi, Nilam baru saja mendarat, dan sekarang kami sedang mencari taxi,” ucap Nilam memberitahukan kedatangannya lewat telepon seluler pada bibinya. “Syukurlah Nilam, sampaikan salam bibi pada Wijaya yaa,” ucap bibinya dan mereka pun memutus pembicaraan. Akhirnya mereka mendapatkan sebuah taxi yang akan mengantarkan mereka ke kampung halaman Nilam yang akan menghabiskan waktu satu jam perjalanan dari bandara. Selama dalam perjalanan menggunakan taxi, mereka saling berpegangan tangan dan menikmati pemandangan hingga memasuki suasana jalan pedesaan yang masih terlihat asri dengan perbukitan yang hijau. 1.         Blurb : Cinta di atas Dusta Cinta adalah suatu hal yang agung dan dapat kita rasakan walau tanpa bisa kita lihat bentuknya. Hanya saja, ketika cinta itu di awali dengan sebuah dusta apakah akan berakhir bahagia?.  Kebohongan tetaplah sebuah kebohongan yang kelak akan terbongkar pula. Dan hanya waktu yang akan membongkarnya. Seperti Nilam yang mengagungkan kesucian cintanya harus menerima kenyataan, ketika suami menduakan dirinya dengan sebuah pernikahan lainnya, padahal manisnya madu pernikahan yang baru berusia dua minggu belum usai ia nikmati. Mampukah ia menerima wanita lain yang baru saja dinikahi suaminya? Atau ia memilih bahagia dengan lelaki lain yang mencintainya tanpa dusta? Dan apakah karma itu memang ada?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD