Si tamu, yang entah siapa namanya, akhirnya memperhatikanku ketika naga dalam perutnya bergemuruh. KERUYUUUUUK!
“Kau mau aku masakan sesuatu?” Dante makin mempererat pelukannya di lenganku, seolah aku akan terbang dan pergi meninggalkannya saja. “Dante,” kataku sembari mengangkat Dante dari kursi dan menggendongnya. “Pasti kau juga lapar, bukan? Ibu akan memasakkan sup tomat. Bagaimana?”
Aku menempelkan dahiku ke dahi Dante. Huhuhu, rasanya menyenangkan bisa berada sedekat ini dengan Dante. Bersama Dante aku merasa bisa menghadapi apa pun. APA PUN! Inilah kekuatan cinta. Aku yakin bisa melawan siapa pun demi Dante, bahkan si Elijah k*****t itu!
“Sup tomat?” Si tamu langsung mendekat, kedua matanya membulat. “Mauuuu!”
Dante masih cemberut. Aku berani sumpah dia tengah melemparkan tatapan mematikan kepada bocah bertopi hitam ini. Ibarat belati tajam, berkali-kali dihunjamkan ke jantung.
Oh mengapa wajah Dante harus seimut ini bahkan ketika tengah marah? Aku tergoda ingin mengabadikan wajah Dante dalam ponsel. Andai saja di sini ada ponsel, maka tak terhitung sekian kali aku memotret ekspresi imut Dante.
“Aku ingin makan sup tomat!”
“Kau tidak boleh makan di sini,” Dante melarang. “Ibu, mengapa dia ada di sini?”
“Kenapa kau membenciku sih?”
“Ibu,” Dante mengabaikan protes si bocah. Dia memilih menempelkan wajah ke pipiku dan berkata, “Jangan beri dia makan.”
“Dante, orang jahat akan diculik peri,” kataku membujuk. “Apa kau ingin ibumu ini dibawa peri? Begitu?”
Dante cemberut, sejenak dia memelototi si bocah, kemudian berkata kepadaku. “Aku akan melindungi Ibu!” Kedua matanya berapi-api, penuh semangat.
“Dante memang yang terbaik!”
“Halo?”
Si bocah mencoba menunjukkan eksistensinya, memotong drama kasih sayang antara ibu dan anak.
Dasar. Padahal aku sedang menikmati curahan kasih sayang Dante. Kenapa dia tidak bisa membiarkanku bahagia barang sejenak? “Namun, sebelum makan sebaiknya kalian cuci muka dan tangan terlebih dahulu.”
Walau enggan aku melepas topi Dante dan membantunya cuci muka dan tangan. Lantas ketika tiba giliran si tamu, jantungku langsung terkena serangan kejut!
Bocah ini, bocah yang membuat Dante cemburu, setelah melepas topi barulah aku tahu warna rambut miliknya: Biru muda. Sama PERSIS dengan milik Dante. Bila Dante memiliki warna mata kuning keemasan, maka bocah yang satunya mempunyai warna mata hijau. Rambut bocah itu agak sedikit panjang, dikuncir menjadi satu ikatan. Dia meletakkan topi di meja, lalu mengikutiku, dan berkata, “Tolong bantu aku mencuci muka dan tangan.”
Alarm dalam diriku berbunyi nyaring. NGIUNG NGIUNG NGIUNG! Aku ingin berlari membawa serta Dante dan bersembunyi sejauh mungkin dari bocah ini. Namun, tubuhku telanjur kaku hingga rasanya akan menancap SELAMANYA di lantai.
“Ibu,” Dante merengek, berhasil membebaskanku dari sihir kebekuan. “Jangan.”
Aku mengerjap, mencoba mengusir kecemasan. Bisa saja dia anak bangsawan atau pedagang atau siapa pun selain Axton. Tidak mungkin Benjamin ada di sini, di Nefrau. Seharusnya Benjamin tengah bersama Elijah, di ibu kota, bukan di Nefrau. Pasti. Aku harus berpikir positif!
Setelah berdeham, aku membujuk Dante dengan janji bahwa dia akan diperbolehkan makan puding seusai makan malam. Dante benar-benar tidak rela membiarkanku bersama bocah ini. Aduh-aduh.
“Siapa namamu?” tanyaku sembari membersihkan kotoran dari sela-sela jari si bocah. Sama seperti Dante, aku menaikkan bocah itu ke kursi agar mudah mendekati keran pantry yang terletak agak tinggi dari jangkauan anak-anak. “Aku tidak mungkin memanggilmu hei, bukan?”
“Ben,” jawabnya. “Panggil saja aku Ben.”
Ben? Apa kau Benjamin Axton? Anak Elijah Axton? BENJAMIN AXTON?
Hahaha.
Oh astaga!
Andai ada Henry, maka aku akan menyerahkan Benjamin kepada Henry dan memohon pertolongan supaya dia mengirim Benjamin kembali ke ayahnya. Namun, aku tidak boleh berpikir buruk. Bisa saja Ben ini adalah Ben yang lain! Bisa saja!
“Selesai,” kataku, getir. “Nah, Ben. Kau duduk manis saja bersama Dante. Aku akan menyiapkan sup tomat dan roti. Mengerti?”
“Ibu, biarkan saja dia tinggal bersama Sammy. Mereka mirip.”
Dante benar-benar memiliki ide bagus. Sayang aku tidak berani mengamini ide tersebut. Bisa-bisa kami berdua dihukum gantung karena menelantarkan bocah.
“Sayangku, tolong Ibu menjaga Ben agar tidak diculik peri,” bujukku dengan mimik wajah serius. “Bisa-bisa peri menyihir Ben dan itu tidak baik.”
“Peri tidak mungkin mau menculik bocah cengeng.”
“HEI,” Ben memekik, “aku bisa mendengarmu.” Dia sudah bersiap di kursi makan. “Dan aku tidak cengeng.”
Wajah Dante seolah menyiratkan sinyal, “Ibu, dia anak merepotkan.”
Aku mencium pipi Dante, menggendongnya menuju meja makan, dan mendudukkannya ke kursi di seberang Ben. “Anak manis,” pujiku sembari membelai kepala Dante. Dia tersenyum, menampilkan barisan gigi seputih mutiara, kemudian melemparkan tatapan mematikan kepada Ben.
Mulailah aku memasak; mengolah tomat; merebus, menumbuk, dan menghaluskan; kemudian memberikan bumbu serta tambahan suwiran daging ayam, lalu memanggang roti yang ditambahi rempah. Dante dan Ben mulai saling ejek.
“Pulang sana.”
“Anggap saja aku kakakmu,” kata Ben, mencoba bersabar.
“Aku tidak butuh kakak!”
Dalam hati aku ingin menangis. Namun, tidak sanggup.
Terkutuklah perasaan tidak enak dalam diriku.
Inikah rasanya memasak sambil berusaha menahan tangis?
Amat tidak menyenangkan.
Begitu masakan siap, aku lekas menghidangkannya kepada Ben dan Dante.
Entah mengapa Dante menuntut disuapi olehku. Dia memasang ekspresi memelas imut dan sulit aku tolak.
Haaa sampai kapan pun aku akan kalah bila melawan Dante.
Mereka makan dengan lahap. Ben meminta tambah, sementara Dante menuntut pencuci mulut yang aku janjikan.
Semoga saja aku bisa selamat dari firasat yang tidak mengenakkan ini.
***
Mengurus dua bocah ternyata amat melelahkan!
Aku mengira jiwaku akan segera keluar dari tubuh Camila dan kembali ke dunia asal.
Ketika mandi Ben berkata tidak biasa mandi sendiri. Dengan kata lain, dia terbiasa dilayani. Dante merengek dan tidak mau berbagi apa pun dengan Ben. Akhirnya aku harus putar otak, mencari akal, agar mereka berdua mau mandi bersama.
“Aku akan menceritakan dongeng yang indah,” kataku membujuk Dante.
Sepertinya dongeng memiliki beban lebih berat daripada keberadaan Ben. Ketika mereka bersedia melakukan gencatan senjata, aku mencoba memandikan mereka dalam satu bak mandi. Dante selalu merecokiku ketika aku tengah membersihkan Ben, dia hanya diam ketika Ben telah tuntas dan aku fokus membersihkannya.
“Lalu, kesatria pun pergi meninggalkan putri peri,” kataku sembari menghanduki Dante kemudian Ben. “Dia tidak bisa hidup di tanah peri dan harus kembali kepada raja.”
Untung Mrs. Mary memberikan seluruh pakaian milik anaknya ketika masih kecil. Aku memilih piama hijau untuk Ben dan piama krem untuk Dante. Kedua piama itu memiliki tudung yang dihias telinga kucing. Ketika aku menaikkan tudung, menyelimuti kepala Dante, rasanya ada cupid yang memanahku.
IMUUUT!
“Danteee, kenapa kau manis sekali, Nak?”
Aku memeluk Dante, mencurahkan cinta, dan berkali-kali mencium pipinya.
“Ben, kau bisa tidur bersama Dante.”
“Tidaaaak,” Dante menolak. “Aku tidur di kamar Ibu. Aku mau tidur bersama Ibu!”
“Kau tidak keberatan kamarmu dipakai Ben?”
“Tidak masalah,” jawab Dante, mantap.
Dante langsung melesat ke kamarku, mengabaikan keberadaan Ben.
“Ben, kemari,” kataku sembari menggandeng tangan Ben, membimbingnya menuju kamar Dante.
Kamar milik Dante memiliki satu jendela yang kini tertutup gorden bewarna merah. Ada rak di dekat ranjang. Bermacam buku berjejal di dalam saling tumpuk dan sebagian tergeletak di ranjang. Aku merapikan ranjang, memasukkan buku (menjejalkan buku) ke rak.
Ada boneka serigala tergeletak di dekat kaki ranjang. Hadiah Henry.
Ben menyentuh kepala boneka, seolah memikirkan sesuatu.
“Kau tidak keberatan tidur di sini, bukan?”
“Aku biasa sendirian,” Ben menjawab. Nada suaranya terdengar sendu dan memilukan. “Ayah selalu sibuk. Dia jarang menemaniku.”
“Nah, sekarang kau memiliki teman,” kataku menyemangati. “Ada peri baik yang bersembunyi di sekitar kita. Mereka akan memberimu mimpi indah bila kau tidak berbuat nakal.”
“Hanya anak kecil yang percaya peri,” kata Ben sembari merangkak naik ke ranjang. Dia berbaring dan aku menyelimutinya. “Mereka tidak ada.”
“Hanya karena kau tidak bisa melihatnya bukan berarti mereka tidak ada.”
Aku bisa melihat sesuatu dalam di kedua mata Ben bergetar. Dia hanya diam, tidak membalas, dan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa terjelaskan oleh orang dewasa mana pun.
Ada kerinduan, penyesalan, kesedihan, serta yang paling terasa: Kesepian.
Barangkali Ben ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi memilih bungkam dan menyimpannya untuk seorang diri. Tidak ada siapa pun tahu. Tertutup rapat dalam tabir kerahasiaan. Seperti sekuntum bunga putih yang mekar di dalam rimba belantara, berselimut kabut, tertutup rimbun semak, dan dibentengi oleh ratusan pepohonan purba.
Pada diri Ben, aku merasa seolah tersesat. Dia benar-benar mengerikan untuk ukuran anak kecil.
Lebih mudah memahami Dante.
Dante selalu jujur terhadap perasaannya. Dia akan menangis bila marah atau sedih, tertawa saat senang, dan (yang meresahkan) tidak malu memperlihatkan ketidaksukaan terhadap sesuatu atau seseorang.
“Ada banyak hal yang tidak terjelaskan,” kataku melanjutkan. Aku membelai kepala Ben, mencoba mengusir emosi tidak menyenangkan yang bersarang dalam dirinya. “Kau meyakini keberadaan naga pemarah, lantas mengapa tidak dengan peri?”
“Naga memang ada,” katanya, tegas. “Peri tidak ada.”
“Ssssh mereka akan sedih bila mendengar ucapanmu.”
Kedua alis Ben bertaut, kesal.
“Aku akan menceritakan suatu rahasia kepadamu.”
Lalu, aku pun mendongengkan kisah mengenai peri dan musim. Ketika cerita usai, Ben telah tidur lelap.
Ketika aku menengok ke pintu, hendak pergi, ternyata Dante telah berdiri di sana.
“Ibuuuuu!”
Dia cemberut.