Bab 1 Perkenalan

1576 Words
Kilat cahaya diikuti bunyi 'klik' terus mengarah pada seorang perempuan dengan latar putih di belakangnya, gaun merah itu berhasil mempertontonkan sebagian tubuhnya. “Bagus sekali, Daisy!” seru pria dengan kamera di tangannya. Dia menoleh ke belakang. “Benarkan posisi rambutnya, cepat!” bergegas saja dua orang wanita mendekat pada si model. Setelah dirasa penampilannya kembali rapi, dua wanita itu beranjak dari sana. Daisy menggerakkan lehernya yang terasa pegal, kemudian melirik pada sang kekasih yang tengah duduk tepat di samping fotografer. Pria berambut pirang itu mengulas senyum ketika mata mereka bertemu, hal itu sedikit menenangkan hati Daisy. Ia menyentuh rambut hitam bergelombangnya, terasa lebih lembut dan segar. “Aku akan mengambil dua foto lagi, setelah itu kita beristirahat!” seru fotografer Jimmy kembali. Dia melangkah mendekati Daisy, pria 35 tahun itu kemudian memperhatikan modelnya dengan saksama. Jari telunjuk dan jempolnya membentuk garis V di dagu, matanya terus menelaah penampilan Daisy. “Oke, gaya terakhir ini kita akan memakai model pria. Di mana model prianya!” seru Jimmy. Seruan itu sontak mengejutkan semua orang di sana, terlebih lagi Daisy dan Mario, kekasihnya. Pria 28 tahun itu bahkan sampai terperanjat, dia berdiri kemudian menghampiri Jimmy dan Daisy. “Model pria? Kau tidak mengatakan hal ini padaku dulu, apa-apaan ini? Tanpa persetujuanku, Daisy tidak boleh melakukan pemotretan dengan model pria.” Mario berujar tegas sembari merangkul pinggang Daisy. Jimmy berdecak, dia memandang jengkel pada Mario. “Kau harus profesional sebagai manajer, meskipun Daisy adalah kekasihmu, tapi jangan lupakan dia adalah model yang bekerja sama denganku.” Suasana terasa mencekam ketika pria itu membalas perkataan Mario, terlebih tatapan sinis itu membuat Mario dilanda kesal. Daisy bergegas merangkul lengan Mario, kemudian menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. “Bisa berikan kami waktu?” tanya Daisy. Senyum manis yang diberikan Daisy membuat Jimmy menghela napas pelan, kemudian dia mengangguk. Jimmy melirik sinis pada Mario sebelum meninggalkan kedua pasangan itu. “Ikut aku,” ujar Daisy. Kemudian menarik tangan Mario dan membawanya menjauh dari ruangan. • Ruang istirahat menjadi pilihan Daisy untuk mendinginkan emosi Mario, ia berjalan menuju lemari es di ujung ruang. Kemudian kembali dengan sebotol soda, Daisy mendudukkan diri di depan Mario. Ia mengulurkan soda tersebut yang langsung diterima oleh pria itu, hanya butuh waktu beberapa detik sampai soda di dalamnya habis. Daisy meraih sebotol air mineral di atas meja, ia meneguknya sampai tersisa setengah. Dalam hati Daisy menghitung, kemudian pada hitungan kelima barulah ia membuka mulut. “Sudah lebih baik?” Mario mengembuskan napas kuat-kuat, lalu mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mencoba mencari posisi yang nyaman demi ketenangannya. “Terkadang aku menyesal menerima tawaran pria itu,” gumam Mario dengan pandangan menerawang. Dia melirik ketika suara tawa kecil terdengar, keningnya mengernyit. “Tapi kau tetap menerimanya, 'kan?” sindir Daisy. Mendengar kalimat sindiran yang dilontarkan sang kekasih, sontak membuat Mario kembali pada posisi duduknya semula. “Babe, jangan seperti itu. Aku menerima tawarannya karena uang yang dia berikan besar, coba kau bayangkan ... untuk satu kali pemotretan saja sudah bisa untuk membeli satu tas branded.” “Memang tidak sampai mendapatkan tas bermerek, tetapi setidaknya ini bisa menjadi peluang untuk kariermu. Dia itu kenal banyak dengan orang terkenal, jika beruntung kau bisa saja mendapat kesempatan itu.” Daisy memutar bola matanya, kemudian melipat kaki kanan di atas kaki kirinya. “Uang bukan segalanya, sayang.” Kini ia menjawab dengan bahasa Indonesia, tanpa perlu khawatir Mario tidak mengerti. “Ya, uang memang bukan segalanya. Tapi segalanya butuh uang, kau makan saja butuh uang. Apa lagi untuk bertahan di kota besar seperti London,” balas Mario. Daisy mengangkat bahunya acuh tak acuh, kemudian ia bersandar dan mencoba mencari posisi untuk merelakskan tubuh. Daisy memejamkan mata dengan kepala mendongak, ia melipat tangan di depan badan. “Terkadang aku ingin berhenti saja dari pekerjaan melelahkan ini,” gumamnya. Mario tersentak, meskipun pelan, tetapi perkataan Daisy sudah cukup membuatnya terkejut. “Babe, kau hanya lelah. Jangan memutuskan sesuatu ketika sedang lelah, bukankah semua pekerjaan itu melelahkan? Jadi, bertahanlah sebentar lagi.” Langit-langit ruangan menjadi hal pertama yang Hanna lihat ketika membuka mata, ia terdiam beberapa detik sebelum berbicara. “Sebenarnya kenapa kau berusaha keras untuk karierku?” “Aku hanya ingin kau mendapatkan hal yang pantas untuk kau dapatkan,” balas Mario. Terdengar nada ragu dalam ucapannya, Hanna menatap Mario datar. Mulutnya terbuka hendak berbicara, sebelum suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Jimmy berdiri di ambang pintu dengan kamera di tangan, pria itu memandang Hanna dan Mario dengan malas. “Sekarang bukanlah waktunya untuk beristirahat,” ujar Jimmy. “Model pria sudah siap, setelah foto ini kalian bisa beristirahat.” Hanna mengangguk, ia berdiri lalu melirik pada Mario. Pria itu memalingkan wajah, Hanna menghela napas pelan. “Aku akan pergi, kau bisa menunggu di sini jika di sana mengganggu. Seperti katamu tadi, aku harus bekerja untuk bertahan di tempat asing. Terima kasih telah mengingatkanku.” Usai mengatakan hal itu, Hanna pun berlalu pergi mengikuti Jimmy yang telah lebih dulu pergi. Mario termenung, dia sedikit merasa bersalah bila Hanna merasa terbebani. Tak pernah terpikirkan olehnya bisa sampai berada di titik ini, Mario hanya tidak mau semua hancur hanya karena masalah seperti ini. Sikap cemburu yang lebih terlihat seperti posesif terkadang berlebihan, dan itu sepertinya membuat Hanna tidak nyaman. Mario hanya tidak suka pria lain bersama Hanna, dia bahkan melarang penata rias bila seorang pria. Hal itu semata-mata dia lakukan untuk melindungi Hanna, bagaimanapun dirinyalah yang bertanggung jawab penuh atas kehidupan Hanna. Dia yang memulai, dia pulalah yang harus mengakhirinya, 'kan. • Bunyi retakan tulang yang terdengar nyaring sontak membuat Mario menoleh, di dapur tampak Hanna yang tengah menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri. Dia terlihat membuka sebuah botol kecil dan mengeluarkan isinya, kemudian meletakkan satu pil obat ke dalam mulut dan langsung meneguk air di tangannya hingga tandas. Mario bergegas menghampiri, mengabaikan kakinya yang masih terasa sakit. “Kau masih meminum obat itu?” tanya Mario sembari menunjuk sebotol obat di tangan Hanna dengan dagunya. Hanna melirik sekilas, ia meletakkan gelas ke wastafel kemudian berbalik pergi. Mario mengikutinya, meskipun sedikit kepayahan karena bengkak di kaki kirinya. Suara meringis disertai tubrukan pada punggung, membuat Hanna menghentikan langkah. Ia menghela napas lelah ketika mendapati Mario tengah meringis sembari memegangi kakinya, tanpa mengatakan apa pun Hanna segera meletakkan lengan kanan Mario pada pundak kirinya dan mulai memapah pria itu. Ia bernapas lega ketika berhasil mendudukkan Mario di sofa, Hanna kembali ke dapur. Tak berapa lama, ia kembali dengan sebuah handuk dan mangkuk berisi es batu. Hanna meraih kaki kiri Mario, kemudian meletakkannya di atas sofa. Ia beralih mengambil sesuatu dari bawah laci meja, dan mengeluarkan sebuah kantong plastik bersih. Lantas Hanna memasukkan es yang dibawanya ke dalam plastik tersebut, setelahnya ia menambahkan air hingga es tertutup. Lalu menekan sedikit plastik tersebut sampai udara di dalam kantong tidak ada, Hanna mengikat plastik itu dengan rapat untuk kemudian membungkusnya dengan handuk. “Kau boleh bersandar ataupun berbaring,” ucap Hanna. “Aku akan menggunakan kompres ini untuk sementara sebelum aku membeli gel kompres besok,” lanjutnya sembari menempelkan handuk tadi ke pergelangan kaki kiri Mario yang sedikit membengkak. Diperhatikannya bengkak tersebut dengan saksama, terdapat sedikit memar biru di sana. Hanna menghela napas berat, “Lain kali perhatikan langkahmu. Lihatlah sekarang, kakimu terkilir karena terus memperhatikanku.” Mario menggaruk tengkuknya, dia tertunduk malu seolah tertangkap basah. Mario kembali mengingat sepulang dari makan malam di luar, dia terus membicarakan tentang sebuah pulau yang cocok untuk liburan. “Jadi, bagaimana menurutmu? Liburan setelah semua urusan selesai, bukankah itu hal yang bagus? Kau bisa menyegarkan tubuh dan pikiranmu,” usul Mario kembali. Dia menatap Hanna serius, tetapi perempuan itu justru menguap lebar dengan mata tertutup. Sepertinya efek obat tidur mulai bekerja, Mario ingin berdiri dan mengusap rambut Hanna, tapi kakinya yang sakit menghalangi. “Tidurlah, kau pasti sangat lelah.” Hanna mengangguk pelan, tanpa mengatakan apa pun, ia melangkah pergi ke lantai dua tempat di mana kamarnya berada. Meskipun langkahnya terasa berat, rasa kantuk sepertinya telah memakan kesadarannya. Sementara itu, Mario terlihat memperhatikan Hanna yang pergi. Dia terus memperhatikan langkah yang diambil perempuan itu, jika saja kakinya baik-baik saja, mungkin dengan suka rela dia merangkul Hanna ke kamarnya. Kata terakhir membuat Mario tersadar, seketika itu pula mulutnya terbuka. Dia hendak memanggil Hanna, tetapi sayangnya perempuan itu sudah tidak berada di tangga. Mario mengembuskan napas kasar, “Padahal aku ingin meminta bantuannya.” Dia mengedarkan pandangan, ruang tamu yang luas ini begitu sunyi. Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. “Baiklah, tak apa tidur di sini. Lagi pula sofa ini luas dan nyaman, setidaknya punggungku tidak akan terasa sakit.” Mario berbicara sendiri, dia meraih sebuah bantal sofa dan meletakkannya di bawah kaki kiri yang terkilir. Kemudian mulai membaringkan tubuhnya di sofa, dia memandang langit-langit ruang tamu yang terlihat lebih luas. “Dia melupakanku, tapi setidaknya dia tidak lupa untuk mematikan lampu.” Tubuhnya sedikit bergidik, pikiran tentang hantu seketika muncul di kepala. Mario menggeleng cepat, jika dia takut sama saja dengan memberi umpan pada makhluk tak terlihat itu. Bergegas saja Mario meraba bawah meja, kemudian tangannya meraih sebuah kain. Kain itu adalah sebuah selimut yang dia gunakan ketika menginap di sini, lebih tepatnya ketika pertama kali dirinya menginap di sini. Tepat di sofa, karena Hanna melarangnya untuk sekamar, sedangkan kamar tamu belum di bersihkan saat itu. Dan ini kali kedua Mario berada di apartemen Hanna, sebelumnya dia hanya mengantar sampai depan apartemen. Perempuan itu selalu menolak ketika Mario ingin menginap, tanpa sadar mengembuskan napas kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD