Bab 2 Gangguan kecil

1265 Words
“Hai, Mario!” seruan itu bukan hanya membuat Mario menoleh, Hanna yang tengah sibuk dengan ponselnya pun melakukan hal serupa. Seorang wanita berambut pirang berjalan anggun ke arah mereka, gaun merah di atas lututnya sedikit membuat Hanna tak nyaman. Mengingat angin yang kadang-kadang bertiup kencang, dirinya bahkan sampai mengenakan sweater rajut ketika memutuskan untuk keluar. Sama seperti seorang wanita lakukan ketika bertemu, wanita itu segera mengecup masing-masing pipi Mario. Kemudian senyum lebar tersungging di bibir bergincu merahnya, tak menyadari tindakan yang dilakukan membuat Mario membatu. Hanna menatap datar pada kejadian itu, bahkan wanita itu tak memedulikan kehadirannya dengan memilih merangkul lengan Mario sampai genggaman tangan mereka terlepas. Hanna menyilangkan kedua tangannya, kemudian mendengus. “Hai, Jessica! Sepertinya kau banyak berubah,” ucap Hanna. Wanita yang dipanggil Jessica itu sontak menatapnya, berekspresi terkejut yang terlihat jelas dibuat-buat. “Daisy? Maaf, aku tidak melihatmu. Kau kecil sekali, lain kali kenakan sepatu dengan hak tinggi ketika keluar rumah.” Mungkin saja wanita itu berniat memancing emosi Hanna, tetapi sayangnya hal itu sudah tidak berguna lagi. Dia memperhatikan penampilannya sendiri, kemudian mengangguk-angguk. “Ah, aku rasa kau benar. Tapi bukan hanya tubuhku yang mengecil, tapi perutku juga. Kau tahu, tanpa perlu diet ekstrem, aku dengan mudah kehilangan berat badan. Lihatlah! Lalu kau sendiri mengapa terlihat bertambah ... “ Hanna sengaja menghentikan perkataannya, dia memperhatikan penampilan Jessica dengan pandangan menyelidik. “Ah, sepertinya di sini bertambah besar.” Hanna menyentuh bawah dagu Jessica. “Apa diet yang kau lakukan tidak berhasil? Double Chin yang kau miliki, sepertinya betah berada di sana.” Rangkulan pada lengan Mario terlepas, Jessica bergegas menyingkirkan tangan Hanna dan beralih menyentuh dagunya sendiri. Wajahnya tampak memerah, terlihat pula dia canggung. “Keterlaluan! Menghina antar sesama wanita, itu kejahatan!” sentak Jessica. Hanna menatap malas hal itu. “Lalu bagaimana denganmu? Kau selalu menilai penampilanmu lebih baik dari orang lain, sehingga dengan mudah mengatakan kalimat jahat untuk membuat orang itu sedih. Lalu ....” Kini lengan Mario berada dalam rangkulannya, Hanna sedikit menarik tubuh pria itu agar menjauh dari Jessica. “Matamu masih berfungsi dengan baik, 'kan? Menyapa seorang pria yang tengah berjalan dengan kekasihnya, itu juga sikap yang buruk. Seharusnya kau menyapaku juga, jika matamu mulai kehilangan fungsinya, mau aku berikan obat yang manjur?” Jessica tampak kesal, dia menatap Hanna dengan mata melotot. Kemudian berlalu pergi dari sana, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Hai! Kau melupakan obatmu, Jessica!” seru Hanna. Dia tertawa pelan, Jessica tampak berjalan dengan langkah mengentak. Suara tawa lain ikut masuk, membuatnya terdiam dan menoleh ke samping. Mario terkekeh geli melihat tingkah Hanna, tetapi perempuan itu memilih menyentak tangannya dan pergi begitu saja. Mario tersentak, bergegas dia menghampiri. “Kau marah? Padahal aku senang melihat sikap cemburu yang kau perlihatkan, itu sangat manis.” Hanna melepaskan paksa rangkulan Mario pada pundaknya, tetapi pria itu kembali melakukannya sampai Hanna malas untuk meladeni. “Inilah yang membuatku kesal, ketika kita pergi jalan-jalan bersama. Ada saja wanita yang datang dan berlaku sama seperti tadi, lagi pula aku tidak cemburu. Aku hanya sudah tidak tahan dengan sikapnya yang sudah keterlaluan, kau ingat kejadian ketika salah satu agensi mengajak para model yang bekerja sama untuk makan-makan?” Mario terdiam beberapa saat, pria itu mencoba mengingat kejadian yang dimaksud Hanna. Kemudian mengangguk, tanpa berniat mengatakan apa pun. “Kejadian yang membuatmu hampir minum?” tebaknya. Hanna mengangguk cepat. “Benar, kejadian itu. Padahal dia tahu aku tidak pernah mengonsumsi minuman yang sama dengannya, dia tahu apa bahwa hidup negeri orang itu sangat sulit. Sungguh keterlaluan!” Mario ingin sekali tertawa melihat tingkah manis Hanna, tetapi mengurungkan niatnya setelah mengingat betapa sulitnya membujuk Hanna yang tengah merajuk. Kini dia memilih diam, tapi tak disangka Hanna justru menatapnya sinis. “Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?” tebaknya. “Jahat sekali! Kenapa diam saja? Kau membelanya? Atau karena kau masih menyukai wanita itu?” tanya Hanna bertubi-tubi. Mario meringis, dia tidak tahu bahwa berbicara dengan perempuan lebih sulit dari pada berbicara di depan orang-orang. Mario masih bingung harus memberikan respons seperti apa, terlalu larut dalam lamunan membuatnya tak menyadari Hanna yang telah melangkah pergi lebih dulu. “Keterlaluan sekali dia! Apa karena aku tidak secantik Jessica, jadi dia memperlakukanku seperti anak kecil?” decak Hanna. • “Bagaimana rasa es krimnya? Enak?” tanya Mario di sela-sela mengaduk jusnya. “Tentu saja enak, ini es krim. Kau tidak lihat? Es krim ini rasa coklat, kenapa kau bertanya lagi?” Mario terkekeh geli, menyadari Hanna yang masih merajuk. Diperhatikannya wajah perempuan itu yang tampak manis, Hanna memiliki bola mata coklat terang yang indah. Mata itu pula yang pertama kali membiusnya sampai jatuh cinta pandangan pertama, terdengar klise memang. Selama kurang lebih delapan tahun mengenal Hanna, tak pernah sekalipun dirinya melihat perempuan itu menangis. Meskipun begitu, tak jarang pada malam hari ketika tak sengaja mengunjungi Hanna di apartemen, selalu terdengar suara perempuan menangis di dalam sebuah ruangan. Mario tidak berani bertanya, begitu pun dengan obat tidur yang kembali menemani malam-malam Hanna sebelum tidur. Mario terlalu takut perempuan itu menjauh, rasa penasarannya tak lebih penting dari perasaan Hanna. Lagi pula, dia merasa berdosa telah membawa perempuan itu bersamanya. Sama seperti Hanna yang menyimpan banyak rahasia, dirinya pun melakukan hal serupa kepada perempuan itu. Di balik kata-kata manis yang selalu Mario katakan, ada setitik rasa bersalah yang selalu menjalar setiap kali kalimat itu terucap. Seberapa lama mereka mengenal dan bersama, tak bisa menghilangkan jarak yang seolah semakin menjauhkan mereka. Semakin dewasa, Mario sadar bahwa dirinya dan Hanna belum bisa melangkah lebih jauh sebelum mereka sendirilah yang memutuskan jarak penghalang itu. “Kau memikirkan Jessica lagi? Sebenarnya berapa lama kalian bersama?” suara Hanna menyentak kesadarannya. “Kenapa kau membahasnya lagi? Aku hanya memikirkan liburan untukmu, ke mana kau ingin pergi?” tanya Mario. Hanna meletakkan sendok es krimnya kembali ke mangkuk kecil, kemudian menopang dagunya dengan tangan yang diletakkan di atas meja. Dia tampak berpikir, meskipun itu hanya alibi. “Aku tidak tahu, tidak ada tempat yang ingin aku kunjungi.” “Benarkah? Bagaimana jika ke Indonesia?” Sontak Mario menutup mulutnya sendiri, menyadari kalimat yang keluar telah membuat Hanna terdiam. Dia berdeham, mencoba mengurangi kecanggungan yang tiba-tiba muncul. “Maaf, aku tidak bermaksud.” Hanna tersenyum hampa. “Kenapa kau minta maaf? Bagaimana dengan masalah kerja sama yang kau maksud?” Mario tak segera menyahut, senyum Hanna tak bisa membuat rasa bersalahnya hilang. Namun, dia tahu bahwa perempuan itu tak membahas hal tadi lagi. “Kita akan pergi setelah Jimmy tidak mempermasalahkan mengenai pemotretan saat itu, mungkin sekitar satu Minggu lagi. Kau harus menyiapkan tenaga dulu selama menunggu, jadi kau mau pergi ke suatu tempat?” Hanna terdiam, dia ingin sekali mengatakan tidak, tapi mengingat permasalahan akan datang lagi membuatnya memilih mengangguk. “Pantai. Aku ingin pergi ke pantai,” ucapnya. “Pantai?” ulang Mario. Dia tersenyum jahil, “Kau ingin menunjukkan bikini yang kau kenakan padaku, ya?” Hanna menatap malas pada Mario, kemudian menyendok besar es krim miliknya dan memaksa pria itu untuk membuka mulut. “Berhenti berpikiran aneh! Makan saja es krimnya!” Mario tertawa, membuat es krim yang Hanna berikan masuk ke dalam mulutnya. Minuman beku itu masuk begitu saja ke dalam tenggorokannya, pandangan Mario tak lepas dari wajah memerah Hanna. Perempuan itu tengah kesal dan bukannya malu, tentu saja Hanna tak pernah sekalipun mengenakan bikini ketika pergi ke pantai. Perempuan itu lebih memilih mengenakan kaos kedodoran dengan celana pendek, tak jarang hal itu mengundang tatapan orang-orang. Akan tetapi, Hanna terlalu acuh tak acuh dengan hal itu. Mario meletakkan telapak tangan kanannya pada atas kepala Hanna, kemudian mengacak-acak surai hitam itu. “Kekasihku manis sekali!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD