Aku memijit kepalaku ya terasa sakit, tadi malam aku tidak bisa tidur, karena menunggu Zainal, suamiku yang tidak kunjung pulang. Sedangkan hari tengah hujan deras. Aku takut, jika tidak mendengar saat Zainal mengetuk pintu. Kalau hal itu sampai terjadi, pintu bisa roboh, atau kaca jendela bisa pecah, karena Zainal akan menggedor pintu dengan kuat. Belum lagi sumpah serapah yang akan ia tumpahkah di hadapanku.
Jam tiga dini hari, Zainal baru pulang, saat hujan mulai reda, dan aku harus melayani keinginannya. Tanpa dia peduli, betapa mengantuknya mataku, betapa lelah tubuhku, setelah seharian bekerja, pulang ke rumah harus mengerjakan semua pekerjaan rumah.
"Na," aku terjengkit saat seseorang menepuk pundakku. Aku mendongakan kepala, Aida, teman kerja yang menepuk bahuku.
"Kamu sakit?" tanyanya, ia duduk di seberang meja, aku mencoba tersenyum, dan menggelengkan kepala.
"Sakit, karena kebanyakan 'main' ya, Na. Aida ini pura-pura tidak tahu!" Irfan yang menyahut dari belakang Aida.
"Dasar m***m!" Aida memukul lengan Irfan, yang merupakan kakaknya. Irfan hanya tertawa, lalu meninggalkan aku, dan Aida.
"Kalau sakit, ijin pulang saja sama Bos, Na, pasti diijinkan."
"Aku tidak apa-apa, cuma sedikit pusing saja," Aku berusaha tetap menampilkan wajah ceria di hadapan Aida.
"Aku buatkan teh hangat ya, atau mau aku kerik punggungmu?" Tawar Aida padaku.
"Tidak usah, Da, terima kasih." Aku menggelengkan kepala.
"Aku buatkan teh hangat saja ya," tawar Aida lagi.
Aku menganggukan kepala, tapi Aida baru saja bangkit dari duduknya, saat Irfan datang dengan menbawa segelas besar teh hangat di tangannya.
"Nih, aku buatkan teh hangat, diminum, Na, siapa tahu pusingmu hilang." Irfan meletakan gelas berisi teh hangat itu di atas meja, dihadapanku. Aku, dan Aida saling pandang.
"Hati-hati ada peletnya, Na."
"Dasar adik sableng, aku ini sudah punya istri tahu!" Irfan menoyor kepala adiknya, membuat wajah Aida cemberut.
"Aku laporin Bang Adan ya, main toyor kepala istrinya," gerutu Aida.
"Memangnya Adan berani denganku? Aku pelototi saja dia gemetar," sahut Irfan, membuat aku, dan Tono, juga Parman, yang mendengar ucapan Irfan jadi tertawa. Dua bersaudara ini memang kerap kali berdebat, saling olok, tapi kami tahu, mereka saling menyayangi.
Aku merasa sedikit terhibur, dengan suasana kerja yang seperti ini. Hanya di sini tempatku merasa berharga, merasa gembira, karena hidupku saat ini, hanya aku habiskan di dua tempat saja. Rumahku, dan tempat aku bekerja.
***