Aku baru saja sampai di depan rumah, kuparkir bebek tua yang aku pakai di teras rumah. Aku melihat di halaman rumah mertuaku, terparkir beberapa buah sepeda motor.
"Kak Na!" suara Zakiah, atau biasa dipanggil Kiah, adik iparku memanggil.
"Ada apa, Ki?"
"Sini," Kiah melambaikan tangan, aku beranjak untuk mendekat.
"Ada apa?" aku mencoba melongok ke dalam rumah.
"Kak Na, disuruh Ibu masuk," jawab Kiah. Aku melepas sendal yang aku pakai, lalu mengikuti langkah Kiah masuk ke dalam rumah mertuaku.
Kulihat di ruang tamu, duduk seorang wanita muda, seorang wanita paruh baya, dan dua orang pria yang juga paruh baya.
Ibu mertuaku berdiri dari duduk, ia menarikku agar berdiri di sebelahnya.
"Ini, Riana, istri Zainal"
Aku mengangguk kepada empat orang di depanku.
"Seperti yang aku ceritakan tadi, Riana ini mandul, makanya Zainal ingin mencari istri lagi. Biar bisa punya keturunan." Ucapan ibu mertuaku membuat aku terkesiap, kutolehkan kepala untuk menatapnya. Ingin sekali aku berteriak, mengatakan kalau aku tidak mandul, tidak, aku tidak mandul.
"Riana, ini, Halwa, dan ini kedua orang tuanya, serta kakaknya. Mereka datang untuk menuntut tanggung jawab Zainal, karena Zainal sudah menghamili Halwa. Kamu harus mengikhlaskan Zainal menikahi Halwa, karena Halwa akan memberi ibu cucu."
Begitu santainya ibu mertuaku mengucapkan hal itu, ia tidak sedikitpun memikirkan perasaanku, yang luluh lantak karena ucapannya. Tidak sedikitpun ada rasa malu, atau marah atas perbuatan anaknya. Orang-orang itupun seperti tidak punya perasaan, mereka tersenyum menatapku, sungguh keterlaluan.
Kutatap ibu mertuaku, ibu mertuaku tersenyum di atas goresan luka hatiku. Aku tak mampu lagi berdiri, tubuhku terhempas di atas kursi.
Meski selama ini aku tahu, Zainal kerap main perempuan di belakangku, tapi tak pernah terbersit dalam benakku, kalau ia akan menikah lagi. Bagaimana bisa menikah lagi, menapkahi satu istri saja dia tidak mampu.
"Kamu harus ikhlas, Na!" ucapan mertuaku terdengar samar di telingaku. Aku merasa terlalu lelah untuk berpikir, terlalu sakit untuk bersuara. Aku bangkit dari duduk, kuseret langkah untuk ke luar dari rumah itu.
"Biarkan saja dia, Riana itu sangat penurut pada Zainal, dia pasti setuju Zainal menikahi Halwa. Kalian tidak usah khawatir."
Masih bisa kudengar ucapan ibu mertuaku, ucapan yang semakin mencabik-cabik perasaanku.
Aku masuk ke dalam rumah, kubaringkan tubuh di sofa ruang tamu. Tubuhku gemetar, namun tak ada air mata yang menetes, air mataku sudah habis, ataukah sudah membeku, akupun tidak tahu.
Kupejamkan mata, kuingat semua yang terjadi dalam hidupku, terutama dosa-dosaku. Selama ini aku diam dengan perselingkuhan Zainal, aku terima itu sebagai karma atas perbuatanku dulu.
Dulu, aku sempat disebut pelakor, karena hubunganku dengan Rivaldi, suami orang. Aku salah menempatkan cinta, aku salah karena terhanyut oleh rayuan mautnya. Semua itu membuat orang tuaku murka. Karena aku hampir merenggut seorang suami dari sisi istrinya, hampir merenggut kasih sayang seorang ayah dari anaknya, sungguh aku berdosa. Dosa yang harus aku bayar segera.
Ayahku yang akhirnya harus turun tangan untuk mengakhiri cinta terlarang putrinya. Aku sempat dilarikan ke luar kota, agar tidak bisa lagi menjalin hubungan dengan Rivaldi.
Karena semua itulah, aku berusaha menabahkan hati, saat gosip-gosip tentang perselingkuhan Zainal sampai ke telingaku.
"Riana!" pintu terbuka, ibu mertuaku muncul di ambang pintu, aku bangun dari berbaring.
"Kamu harus merestui pernikahan Zainal, dan Halwa. Kamu itu harus sadar diri, kamu itu mandul, Riana, sudah empat tahun menikah, masa belum hamil juga. Lihat Kiah, baru sebentar menikah, sudah punya anak dia."
"Aku tidak mandul, Bu."
"Tidak mandul katamu?Tapi kamu tidak bisa hamil. Lagi pula Zainal bilang ke ibu, kalau punyamu itu sudah tidak enak lagi dinikmati, becek, longgar, belum lagi badanmu, tidak terawat sama sekali. Bagaimana suamimu bisa betah punya istri seperti kamu!" tudingan yang sungguh menyakitkan perasaanku. Bagaimana aku bisa merawat diri, kalau aku tidak punya waktu untuk itu.
"Coba lihat Halwa, calon istri Zainal tadi. Cantik, seksi, wangi, tidak seperti kamu! Ibu tidak mau tahu ya, kamu harus mau menandatangani surat ijin untuk Zainal menikahi Halwa."
"Bu, dari pada dimadu, lebih baik aku minta cerai saja sama Mas Zainal!" Aku bangkit dari duduk, hatiku terasa tidak sanggup lagi menerima semua ini.
"Apa kamu bilang!?" Zainal berdiri di ambang pintu. Ia melangkah mendekatiku.
"Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu, Na." Aku meringis karena tangan Zainal yang begitu kuat mencengkeram lenganku.
"Kata ibu, Mas bilang aku sudah tidak enak untuk dinikmati, jadi apa lagi yang membuat Mas ingin mempertahan aku?" kutatap wajah Zainal tajam. Zainal menatap ibunya.
"Sebaiknya Ibu ke luar, aku ingin bicara berdua dengan Riana," pinta Zainal pada ibunya. Ibu mertuaku menatapku, kubalas tatapannya, lalu beliau segera ke luar dari rumah, dengan suara daun pintu yang di banting.
"Duduk dulu, Na." Zainal mendudukan aku di sofa. Ia duduk di sebelahku.
"Aku mencintaimu, Na. Aku tidak pernah bicara pada ibu seperti yang kamu ucapkan tadi."
"Bukan itu inti masalahnya, Mas. Tapi aku tidak mau dimadu. Selama ini aku diam, mendengar omongan orang, tentang kelakuan Mas di luar sana."
"Orang di luar sana bicara apa tentang aku, Na" Zainal meraih daguku, dihadapkan wajahku ke wajahnya. Tatapannya lembut merayu hatiku.
"Aku mencintaimu, Na." Zainal mengulum bibirku. Dan, kalau sudah begini, saat dia merasa bersalah, dan aku melakukan perlawanan, dia akan mencumbuku, merayuku, memujaku, seakan hanya aku yang dia cinta. Dan, bodohnya aku, selalu larut dalam permainannya.
Dia akan melakukan apapun, agar aku menjerit karena terpuaskan oleh permainannya. Dia menciumi seluruh tubuhku, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia akan membuatku terpuaskan hingga tak bertenaga lagi. Dia menghujaniku dengan kecupan, dan ucapan betapa dia menyayangiku. Bodohnya aku, meski aku tahu dia mempertahankan aku, hanya untuk menumpang hidup dari jerih payahku, aku tak mampu untuk meninggalkannya.
BERSAMBUNG