Menghilangnya Becca

1022 Words
"Sial, kemana gadis itu pergi." Umpat Aldebaran seraya memukul meja di hadapannya. Papan kecil bertuliskan wakil direktur dengan tulisan nama lengkapnya di bagian bawah, yang berada di pinggir depan bagian meja sampai terpental ke lantai. Aldebaran mulai panik, pasalnya mahasiswi yang ia renggut paksa mahkota itu tak pernah muncul lagi di kampus dari tiga hari yang lalu. Sang adik pun ikut mencari keberadaan sahabatnya yang tiba-tiba menghilang bagai di telan bumi. Sandrina bahkan setiap jam menghubungi Aldebaran hanya untuk menanyakan Becca. Adik kesayangan itu terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan tentang gadis itu pasalnya hanya sang kakak lah yang kemungkinan besar bertemu dengan Becca malam itu, mengingat sang Deddy tengah pergi mendadak ke luar kota mengajak Mommy-nya untuk menjenguk neneknya yang tengah sakit. "Tidak mungkin dia pergi meninggalkan kota ini. Anak lemah dan manja seperti dia mustahil bisa begitu saja meninggalkan tempat tinggal dan kekasihnya. Ditambah lagi ia hanya seorang yatim piatu yang tak punya tempat untuk pulang." Aldebaran mulai meremehkan, pria itu berdiri dari tempat duduknya, memutar tubuhnya dan berdiri ke arah dinding kaca besar di belakang meja kerjanya. Hari-hari yang begitu memusingkan, pikirannya terus saja di kacau kan oleh keberadaan Becca. Bukan kah seharusnya ia sekarang bisa tenang karena sudah membalaskan dendam lamanya yang terpedam dengan mengacaukan hidup kekasih saudara kembarnya itu. Tapi kenapa sekarang malah kebalikannya, ia justru terus memikirkan Becca yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Anak buahnya pun belum ada yang bisa melacak keberadaan gadis itu. Saat ia tengah sibuk dengan pikirannya seseorang dengan lancang dan kasarnya masuk ke ruangan besar bernuansa serba putih itu. Aldebaran mengangkat satu ujung bibirnya, senyum jahat yang begitu penuh makna, ketika melihat pantulan pria yang tengah menodongkan senjata ke arahnya dengan wajah merah penuh amarah dari sorot matanya. Wanita yang mengikuti pria bersenjata itu mendadak menghentikan langkahnya di pintu dengan wajah ketakutan dan panik. Aldebaran membalikkan tubuhnya. "Pergilah, di sini bukan tempat mu. Kamu cukup berbalik dan diam saja. Tidak akan terjadi apa-apa di sini. Bukan kah kamu tahu dia saudara ku." Titah Aldebaran dengan suara berat dan ekspresinya yang dingin itu. Wanita yang tak lain adalah sekertarisnya itu pun langsung melaksanakan perintah bos besarnya. Ia mundur beberapa langkah dan langsung menarik Handel pintu. Kini tinggal lah dua pria yang saling berhadapan dengan wajah sama rupa, seperti mereka tengah melihat pantulan diri sendiri di depan cermin namun dengan tampilan yang berbeda. Aldebaran kembali mengulas senyumnya, senyum yang lebih terlihat menakutkan dibandingkan pemandangan sang adik yang kini tengah mengarahkan sebuah pistol kecil seri terbaru. Bukannya takut, Aldebaran malah teringat masa kecil mereka, dimana Althar sang saudara kembarnya begitu senang saat ia setuju bermain penjahat dan polisi dengannya. Dimana Althar akan selalu menjadi polisi dan ia sebagai penjahatnya, Aldebaran kini hanya melihat sosok Althar kecil yang tengah menodongkan pistol mainan ke arahnya. "Apa kamu akan mengajakku kembali bermain-main El, tapi maaf saat ini aku sangat sibuk?" Ungkap Aldebaran dengan santai dan tenangnya, ia tak merasa takut sedikit pun walau ia tahu kini Althar tengah dalam emosi yang memuncak. Aldebaran memanggil saudara kembar itu dengan sebutan El, dia lah sang kakak karena Aldebaran yang lebih dahulu dilahirkan, 10 menit kemudian baru lah Althar keluar setelahnya. Agar nama panggilan mereka tak sama, Aldebaran memanggilnya dengan sebutan El. "Aku juga tidak ada waktu untuk bermain denganmu." Altha mulai geram, jari telunjuknya sudah siap menarik pelatuk. "Wah, hebat sekali. Sekarang kamu sudah berani mengarahkan senjata mu pada saudara mu sendiri. Bukan kah tugasmu seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Aku bukan lah penjahat." Aldebaran masih menjawab dengan suara datar dan tenang. "Kamu memang penjahat dan aku tidak akan berpikir dua kali untuk melepaskan timah panas ini bersarang di tubuhmu itu." Uchap Althar dengan lantang, sorot matanya seperti api yang tengah membara. Aldebaran tiba-tiba menundukkan kepalanya sejenak, dan kembali mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam penuh rasa kebencian. "Aku yang seharusnya melakukan itu lima tahun lalu." Ujarnya penuh penekanan. "Kalau begitu lakukan saja sekarang sebelum aku menghabisimu atas menghilangnya Becca." Tantang Althar dengan suara yang begitu lantang. Ia sangat yakin dalang di balik menghilangnya sang kekasih adalah kakaknya sendiri. Namun bukannya merasa takut, Aldebaran bahkan tertawa dan berjalan menuju sang adik. "Silahkan kamu lepas pelatuk senjata mu itu! Aku tak takut, Bahkan hanya karena kekasihmu itu kamu berani menyerang ku, kakakmu sendiri." Ucap Aldebaran dengan tatapan tajamnya, kini ia tepat berada di hadapan Althar, jaraknya pun hanya 1 cm dari ujung senjata adiknya. Tepat di bagian d**a kanannya. "Ya kamu memang benar, seharusnya aku menembak mu di hadapan Lilly yang sudah tak bernyawa lima tahun lalu." Lanjut Aldebaran dengan tatapan matanya yang langsung melihat ke arah sepasang bola mata hazel di hadapannya. Althar yang sudah sedari tadi menarik pelatuk senjatanya itu pun melepaskan tembakan kosong, senjata itu tak diisikan peluru, tapi tetap saja suara tembakannya memenuhi ruangan kedap suara itu. Aldebaran sempat memejamkan matanya, namun sang adik sudah tidak ada di hadapannya setelah ia membuka mata mendengar suara keras dari pintu yang dibanting. Althar memilih pergi meninggalkan sang kakak dari pada harus membuang waktu untuk membahas masa lalu. Ia sungguh menjadi lebih kacau jika harus mendengar nama Lilly, wanita yang memiliki tempat yang sangat spesial di hatinya dan juga di hati Aldebaran. Kepergian Lilly bukanlah kesalahan dirinya, dan bukan Aldebaran saja yang merasa kehilangan namun Althar lah yang jauh lebih terpuruk dengan kematian Lilly. "Cih, dasar pecundang. Sekarang kamu berani menggertakku hanya karena seorang gadis yatim piatu itu. Ini baru permulaan El, aku pastikan kekasih tak berhargamu itu akan sangat menderita sebelum ia menyusul Lilly-ku. Kita sampai kapan kamu akan bertahan di posisimu itu Kapten!" Gerutu Aldebaran yang juga merasa sangat kesal. "Andai baik-baik saja tuan?" Tanya sekertaris Aldebaran yang kembali masuk ke ruangan itu. "Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik. Lagi pula untuk apa kamu mencemaskan keadaanku. Kamu sendiri tahu yang menemui ku adalah adikku sendiri, bukan musuhku." Jawab Aldebaran dengan suara datarnya. Mode Aldebaran di kantor ternyata lebih menyeramkan ketimbang ia menjadi seorang dosen. "Maafkan saya tuan. Kalau begitu saya permisi." Pamit si sekertaris, Aldebaran tanpa menjawab sudah langsung berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. "Ih dingin amat sih itu direktur, ngalahin dinginnya kutub utara. Apalagi adiknya, ganteng tapi menakutkan kek singa mau mangsa orang." Gerutu sekertaris centil itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD