"Sial, bagaimana dia bisa masih perawan? Dengan tubuh seindah itu, Althar membiarkannya begitu saja. Tidak tidak, mustahil Althar melewatkan Becca? Aarrggghh." Aldebaran merasa hampir gila mengingat bagaimana miliknya begitu susah untuk menembus benteng berharga milik Becca. Bahkan pria yang kini berada di tengah guyuran air shower itu sampai melayangkan tinjunya pada dinding keramik di kamar mandi miliknya. Setelah menuntaskan hasratnya, minuman alkohol yang ia minum tak bisa melumpuhkannya begitu saja, ia masih dalam keadaan sadar.
Sementara di kamar miliknya, Becca yang masih dengan isak tangisnya langsung memunguti satu persatu pakaiannya yang berserakan dengan cepat setelah dosennya itu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tuhan kenapa takdirku sesial ini. Dimana pertolonganMu pada yatim piatu ini? Abang, maafkan Bee? Bee tidak bisa menjaga diri. Desisnya dalam hati dengan diiringi air mata yang terus membasahi pipi. Becca dengan cepat mengenakan pakaiannya seraya menahan rasa sakit dan perih di bagian intinya. Sementara hati dan pikirannya tengah berperang, menyalah dirinya sendiri dan menyesali keputusannya untuk menginap di rumah itu.
Sungguh gadis itu dalam kebingungan dan ketakutannya saat ini. Apa yang harus ia lakukan, tetap berada di rumah itu atau kah segera pergi meninggalkan rumah sahabatnya itu sebelum pria itu keluar dan kembali melakukan perbuatan hina itu lagi padanya. Sampai akhirnya Becca memutuskan untuk pergi malam itu juga dari sana, di luar sana masih jauh lebih aman untuknya dari pada berada dalam rumah besar itu.
*****
Setelah selesai melakukan misi latihannya para prajurit dari pasukan terpilih beda negara itu kembali kumpul bersama. Ada lima pasukan di sana dari negara yang berbeda-beda, masing-masing pasukan terdiri dari dua prajurit hebat pilihan. Salah seorang berkulit hitam tertawa dengan keras diiringi teman-temannya yang lain begitu berada di hadapan Althar. Tawa yang sangat menyebalkan melihat wajah mengejek mereka untuk sang kapten.
"Jaga emosimu, ingat kita sedang melaksanakan tugas." Bisik Althar pada Bian yang merupakan bawahannya sekaligus timnya dalam misi kali ini. Pria itu sudah sangat geram melihat wajah mengejek tim yang lain untuk sang kapten, bahkan tangan kanannya pun sudah terkepal namun Althar dengan cepat memperingati pria berkulit sawo matang itu.
"Untuk pertama kalinya, sang kapten nomor satu yang tak pernah terkalahkan hampir kena tembak. Menyedihkan sekali, apa kapten kita ini sedang di jatuh cinta?" Ucap si kulit hitam lagi diiringi tawa pasukan yang lainnya.
Bian semakin merasa kesal dengan ucapan pria itu, ditambah lagi apa yang diucapkan saingannya itu benar adanya, tapi ia sungguh geram jika sang kaptennya dijadikan bahan ejekan. Kaptennya memang sedang jatuh cinta dari beberapa tahun ini, namun Althar selalu bisa menempatkan dirinya, bisa membedakan kehidupan pribadi dan dunia militernya.
"Biarkan aku yang mengurusnya, hal semacam ini tidak baik diselesaikan dengan emosi." Pesan Althar lagi seraya menggenggam tangan Bian yang terkepal.
Althar ikut terkekeh, hanya berpura-pura bahkan wajahnya kini jauh terlihat lebih menakutkan tak ubahnya seperti seorang musuh yang begitu licik. "Aku juga manusia bisa kawan, sama seperti kalian. Ada saatnya aku akan menjadi lemah, jika kalian memiliki dendam pada ku tuntaskan saja di saat seperti ini. Tentu kalian akan sangat mudah mengalahkan ku bukan." Tantang Altha yang langsung membuat Bian menatap kaptennya dengan mata yang membulat sempurna. Sungguh ia sangat tak percaya dengan ucapan pria di hadapannya itu.
"Sepertinya kapten memang sudah benar-benar gila karena wanita itu, dia yang menahanku untuk tidak mencari masalah namun dia dengan entengnya memerintahkan lawan untuk menyerangnya." Gerutu Bian dalam hati,
Mendengar ocehan Althar para pria yang mengejeknya tadi pun terdiam dan kini hanya melihat Althar dengan sorot mata tajamnya. Melihat situasi yang sepertinya akan rumit, Bian langsung cepat mengambil langkah dan menarik lengan Althar membawa tubuh kaptennya itu pergi.
"Ayo kita harus segera melapor ke markas setelah latihan selesai, jangan sampai lupakan itu kapten!" Bohong Bian yang sengaja mengeraskan sedikit suaranya agar yang lain juga mendengar.
Sesaat setelah langkah kaki mereka keluar dari gedung latihan yang nampak seperti bangunan tua yang sudah lama tak terpakai itu. Althar menghentikan langkahnya dan melepaskan genggaman tangan Bian di lengannya.
"Kenapa membawaku pergi dengan kebohongan?" Tegas Althar dengan suaranya yang penuh penekanan.
"Kapten yang meminta ku untuk tidak mencari masalah, tapi kenapa kapten sendiri yang malah mencari malaikat kematian untuk menjemput kita. Aku masih ingin kembali ke tanah airku Kap." Sarkas Bian dengan menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Hahaha, lelucon yang bagus. Baik lah seperti ucapanmu tadi ayo kita segera pergi memberi laporan pada komandan." Althar berlalu pergi meninggalkan Bian yang langsung memasang wajah paniknya.
*****
Di dalam sebuah taxi gadis cantik itu hanya bisa menatap ke luar jendela dengan air mata yang terus saja bergulir layaknya hujan di deras di luar sana. Sesekali sang driver melihat penumpangnya dari kaca spion yang ada di atas kepalanya tanpa berani bertanya apa pun mengingat hari sudah sangat larut malam.
"Sial sekali aku malam ini, niatnya menghindar dari omelan istri malah dapat penumpang dalam keadaan kacau begitu." Gerutu sang supir yang sedikit cemas dengan kondisi penumpangnya yang bisa saja berdampak buruk padanya nanti. Bagaimana jika orang melihat dan berpikir kalau dia telah melakukan sesuatu pada gadis itu.
"Tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku sudah sangat kotor, dan bagaimana aku harus berbicara dengan bang Althar saat bertemu dengannya nanti." Batin Becca yang sudah sangat kacau dan ketakutan. Pikiran-pikiran buruk sudah bermunculan di benaknya sedari ia menginjakkan kaki untuk memutuskan keluar dari rumah pacarnya itu.
Sungguh ia sangat tidak bisa berpikir sekarang namun beruntungnya ia tak sampai berniat untuk mengakhiri hidupnya. Gadis yang begitu malang, hidup sebatang kara dan sekarang takdirnya juga sangat menyedihkan.
Sakit, ya sangat sakit yang Becca rasakan. Bukan hanya di bagian inti tubuhnya, namun sakit dalam dirinya. Seperti tersayat pisau saat tiba-tiba terlintas kembali bagaimana sang dosennya yang kaku dan dingin itu begitu saja menyerang dan memangsanya. Becca tak bisa membayangkan bagaimana ia harus menampakkan dirinya lagi di kampus esok hari. Bagaimana ia akan berbicara dengan sahabatnya Sandrina. Bagaimana ia akan menutupi kejadian memalukan dan hina itu dihadapan kekasihnya yang bahkan tak pernah berbuat sebejat itu padanya meski mereka tinggal bersama.
"Takdir malang apalagi yang akan aku hadapi Tuhan, baru saja aku merasa memiliki keluarga tapi kini malah hancur sehancur hancurnya." Isak tangis Becca semakin menjadi dalam kesunyian. Ia berusaha untuk tak menimbulkan suara. Kedua tangannya menutup mulutnya yang ia katupkan dengan keras. Ia tak bisa membayangkan hal buruk apalagi di depan sana. Yang ada hanyalah rasa sakit di hatinya.