5. Ancaman Manusia Arogan

1930 Words
“Oke, cukup.” Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan detak jantung yang menggila. Kutatap sekali lagi penampilanku di pantulan kaca, lalu mengangguk. Hari ini aku akan diperkenalkan secara resmi dan hari ini pula aku akan langsung bekerja. Papa sudah mewanti-wanti untuk berpakaian lebih rapi daripada biasanya. Bahkan kalau perlu yang formal sekalian karena aku akan sambutan di depan banyak orang. Demi menyambutku, beliau mengadakan pertemuan di aula utama perusahaan. Hari ini aku sengaja berpakaian serba hitam untuk menekankan ketegasan. Agar tidak terlalu gelap, tas dan sepatu baru warna lain. Untuk dua benda itu aku memilih warna cream. Kalau jam tangan dan aksesoris, aku mengenakan warna perak. Rambut kubiarkan tergerai begitu saja. Aku tidak suka mengotak-atik rambutku dengan segala macam hairdo. “Saatnya berangkat.” Aku tersenyum, berusaha memunculkan perasaan tenang dan santai. Jujur, sejak bangun tidur aku sudah deg-degan tidak karuan. Padahal, orang-orang kantor sudah tahu tentang pergantian pimpinan sejak lama. Bahkan sejak aku belum rutin belajar dengan Papa. Aku mengambil tas di meja, lalu bergegas keluar. Persis saat aku membuka pintu, ternyata si tetangga juga sedang membuka pintu. Alhasil, kami keluar apartemen bersamaan. Mataku seketika mengerjap begitu menyadari pakaiannya juga serba hitam. Itu terlihat sama denganku. Sayangnya, aku tidak memiliki waktu lagi untuk ganti. Selain itu, kami juga akan pergi ke tempat yang berbeda. Harusnya tidak masalah, kan? Aku menatapnya sesaat, lalu berjalan cepat menuju lift. Dia berjalan pelan di belakang, tetapi aku terkejar karena langkahnya yang lebar. Kini, hanya ada kami berdua di dalam lift yang sedang menuju lantai dasar. Diam-diam aku mencuri pandang lewat pantulan dinding lift. Penampilan kami benar-benar tampak sama, hanya beda di sepatu dan tas saja. Dia bahkan mengenakan jam rantai warna perak sepertiku. Ting! Lift terbuka. Dia keluar lebih dulu dan aku menyusul kemudian. Tak cukup pakaian kami yang sama, ternyata mobil kami pun sama, yakni sama-sama warna hitam. Untungnya, beda merek. Gilanya lagi, mobil kami parkir bersebelahan. Kalau begini ceritanya, lama-lama aku bisa gila! Mobilku keluar lebih dulu karena lebih dekat dengan jalan. Aku tak memperhatikan dia lagi karena itu hanya akan membuatku semakin berdebar. Jangan salah paham! Tidak, aku tidak berdebar layaknya orang jatuh cinta. No way! Aku berdebar masih karena hal yang sama, ditambah perasaan tak nyaman dengan adanya manusia rogan itu. Rasa-rasanya, sejak awal aku bertemu dengannya, dia hanya memperburuk hariku saja. Ngomong-ngomong, apakah aku harus mulai memanggilnya dengan sebutan yang lebih manusiawi? Bagaimanapun, dia adalah tetanggaku. Kira-kira, harus dengan sebutan apa aku memanggilnya? Mas Alan-kah? Atau Pak saja seperti kemarin? Kalau memanggil dengan sebutan kak seperti Sisil, rasanya sudah tidak cocok lagi. Entahlah. Nanti kupikir lagi sambil jalan. Lima belas menit perjalanan, aku sudah tiba di kantor. Semua karyawan yang melihatku langsung menunduk hormat. Jujur, aku belum terbiasa dengan ini. Rasanya juga belum siap kalau harus menjadi pusat perhatian. Namun, aku harus belajar menyesuaikan dan memposisikan diri. Aku pasti bisa. Ruangan yang pertama kali aku kunjungi adalah ruangan Papa yang mulai hari ini akan menjadi ruanganku. Beliau hari ini datang dan masih dalam perjalanan. Beliau baru saja mengabari kalau beliau sedang terjebak macet di lampu merah. Setibanya di ruangan Papa, aku langsung mengedarkan pandangan. Ruangan ini tampak lengang dan sunyi. Aku tersenyum begitu melihat papan nama di atas meja. Ternyata Papa sudah menyiapkan itu untukku. Davina Puspita Maheswara _____ Chief Executive Officer Aku mengambil papan itu, lalu kembali tersenyum. Kali ini bahkan lebih lebar. “Kamu pasti bisa, Vin.” *** Ternyata tak semenegangkan yang kukira. Aku bisa menyampaikan sambutan dengan baik dan tidak berbelit. Tepuk tangan dan senyum lebar para karyawan membuatku merasa jauh lebih baik. Kini aku sudah kembali ke ruangan bersama Papa dan Mama. Tadi mereka ikut acara karena Papa juga harus memberi sambutan. “Kamu butuh sekretaris, Vin. Mau langsung open recruitment atau gimana?” Aku buru-buru menggeleng. Aku sudah memikikan hal ini dan sudah dapat pula solusinya. “Aku udah punya rekomendasi orang buat jadi sekretarisku, Pa.” “Siapa?” “Sisil. Dia ada di divisi pengembangan.” “Sisil?” Papa tampak kaget. “Dia itu kepala divisi, Vin. Kalau bisa jangan dia. Cari orang lain aja—” “Pa, tapi aku butuh orang yang bisa nyaman ngobrol sama aku. Kaya Papa sama Mas Wisnu. Papa udah nyaman sama dia, nyatanya Papa juga enggak negbolehin Mas Wisnu jadi sekretarisku. Dulu Papa juga milih Mas Wisnu karena kinerja dia baik dan sering terlibat obrolan dengan Papa. Papa enggak pernah bener-bener open recruitment dan mutusin buat pakai orang lama. Iya, kan?” Papa terdiam sesaat. “Iya, kamu bener.” “Aku tuh kapan hari ketemu Mas Dipta, Pa.” “Kenapa sama Dipta?” “Sekretaris dia itu juga temennya, lho. Temen sekolah kalau enggak salah. Namanya Mas Gilang. Waktu itu aku sama Mas Dipta sempat ngobrol banyak. Garis besarnya, dia pilih sekretaris dari temannya sendiri karena dia ngerasa nyaman. Jadi misal ada kerjaan di luar kota atau luar negeri, berasa ada teman ngobrol. Kasarannya, jadi enggak tegang. Kebetulan Mas Gilang dulunya juga sekretaris Om Dilan. Bedanya, Om Dilan merelakan sekretarisnya untuk lanjut nemenin anaknya, sedangkan Papa enggak.” “Tapi Wisnu terlalu tua untuk jadi sekretarismu.” Aku meringis. “Ya memang. Makanya aku enggak nyeyel minta Mas Wisnu. Pengennya Sisil aja.” “Tapi Sisil itu penting banget di divisinya, Vin.” “Iya, aku tahu. Tapi ada juga si Fahri yang kinerjanya bagus banget. Aku udah baca-baca tentang pencapaian masing-masing divisi. Si Fahri ini bisa gantiin Sisil, Pa. Jadi nanti Sisil training si Fahri dulu, dua minggu atau satu bulanan sebelum dia full jadi sekretarisku. Pasti nanti Fahri jadi lebih mateng.” “Emang Sisil mau?” “Aku belum bilang, tapi harusnya mau.” Papa melirik Mama seolah minta pendapat. Mama langsung mengangguk cepat. “Aku setuju, Mas. Sisil udah lama kerja di perusahaan kita. Malah dia lebih tahu kondisi lapangan daripada Vina. Mereka juga dekat, chemistry udah terbangun sejak lama. Kalau sama-sama baru apa enggak kaget?” “Bener juga. Tapi dia bisa nyetir mobil atau enggak? Misal suatu saat kalian keluar bareng, enggak mungkin kamu yang nyetirin dia.” “Bisa, Pa. Dia bisa nyetir sejak kuliah. Dia belajar dari salah satu teman angkatan. Dia itu kayaknya apa aja bisa. Soalnya ulet banget anaknya.” Papa manggut-manggut. “Jadi boleh, Pa?” “Iya, boleh. Nanti biar si Wisnu training Sisil juga.” Aku tersenyum. “Siap, Pa!” Masalah sekretaris selesai. Aku akan segera mengabari Sisil soal ini. *** “Serius, Vin?” Sisil melongo, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku sudah menduga kalau dia akan sekaget ini. “Bener, aku serius banget. Mau atau enggak?” “Kamu percaya aku mampu jadi sekretarismu?” “Kamu masih tanya itu?” Sisil tersenyum. “Kalau aku tiba-tiba belok ke Kak Alan?” “Langsung gini.” Aku menunjuk leher dengan jari telunjuk, lalu bergerak horisontal. “Waduh, ngeri!” “Kalau kamu sampai berani berkhianat, kamu tahu betul, kan, apa yang akan terjadi?” Sisil langsung mengangguk. “Iya, tahu. Tapi Om Juna— eh, Pak Juna dan Bu Abil udah tahu?” “Udah, dan mereka setuju.” “Oke. Kalau gitu, aku mau. Ayo, kalahkan perusahaan Kak Alan.” Sisil terkekeh. “Agak sulit, sih, tapi aku percaya kamu bisa.” Ngomong-ngomong, aku baru tahu pagi ini kalau MW dan Bumi-Tech itu bersaing. MW adalah perusahaan milik keluargaku, sedangkan Bumi-Tech adalah milik manusia arogan itu. Baiklah, sebut saja Mas Alan. Mas tau Pak sama saja. Intinya dia. Bumi-Tech berdiri lebih awal, jadi jangan heran kalau perusahaan itu lebih besar. Namun, perusahaanku sudah cukup baik mengingat kami hanya kalah satu tingkat di bawah mereka. Jujur, setelah tahu kalau perusahaanku bersaing dengan perusahaannya, aku semakin berambisi untuk mengalahkannya. Atau paling tidak, perusahaanku harus bisa naik sampai pada level yang sama. “Ngomong-ngomong, Vin, aku manggil kamu gimana?” “Vina aja kalau lagi berdua, kaya biasa. Formalnya kalau lagi ada acara.” “Baik, Bu Vina.” Melihat Sisil tersenyum lebar, mau tak mau aku ikut tersenyum lebar. “Beneren deal, ya? Kalau iya, langsung aku urus prosedurnya.” “Iya, deal!” *** Hari pertama berjalan dengan lancar. Belum banyak yang kukerjakan, tetapi overall aku mulai mengerti mekanismenya. Apa-apa saja yang menjadi jobdesk-ku dan apa-apa saja yang bukan. Sebelum pulang, lebih dulu aku beli makan di rumah makan langganan Mama. Kebetulan, hari ini aku sedang malas masak dan malas pesan pula karena harus turun ke loby untuk mengambilnya. Kebetulan juga, rumah makan itu satu arah dengan apartemen. Dua puluh menit berlalu, aku sudah tiba di parkiran. Aku buru-buru keluar dan bergegas menuju lift. Jujur, aku agak kelaparan mengingat siang tadi hanya makan satu bungkus roti. Manusia doyan makan sepertiku mana cukup. Namun, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Setibanya di lantai tujuh, aku melihat Mas Alan baru saja keluar dari unitnya membawa satu kresek hitam berukuran besar. Isinya seratus persen pasti sampah. Pasalnya, ada tempat sampah besar di sudut lorong yang setiap harinya diambil oleh petugas kebersihan. “Ehm!” Aku berdehem pelan ketika dia melewatiku begitu saja. Dia lanjut jalan terus sampai sampahnya terbuang di tempat sampah yang kumaksud barusan. “Kamu menunggu saya?” “Hah?” “Kenapa berhenti?” dia langsung kembali. “Memangnya enggak boleh berhenti?” “Siapa yang bilang tidak boleh? Saya hanya bertanya.” “Enggak, saya enggak nunggu. Saya mau masuk—“ “Sebentar!” “Kenapa?” sebelah alisku langsung menekuk. “Lihat ini.” Dia tiba-tiba mengangkat kaki kirinya sejenak. “Hah? Udah hampir sebulan masih kaya gitu?” aku terkejut karena ada bekas biru pekat di atas jari kakinya. Itu memang terlihat seperti darah mati karena memar. “Baru sadar seberapa keras kamu menginjak kaki saya waktu itu?” Aku meringis. Jujur, aku tidak sadar kalau sekeras itu. Namun, aku tetap tidak menyesal telah melakukannya. “Saya minta maaf,” ujarku pelan. Ini bukan permintaan yang tulus. Hanya basa-basi saja. “Bukannya tidak berlebihan kalau saya melaporkanmu ke polisi?” “Kenapa bahas kantor polisi lagi? Kan masalah ini udah clear!” “Saya tanya kamu. Kamu menyesal atau tidak telah melakukan ini?” Aku diam. Mau jawab jujur atau bohong, tetap akan terdengar aneh. “Kalau kamu teman Sisil, itu artinya kamu pasti adik tingkat saya. Betul?” Aku masih diam. “Diam artinya iya. Semakin saya lihat, semakin saya ingat.” “Ingat apa? Saya siapa?” akhirnya aku kembali bersuara. “Kalau sudah ingat, harusnya jangan heran kenapa memar itu Pak Alan dapat.” “Sebentar! Bisakah jangan panggil saya dengan sebutan Pak?” Yang barusan itu refleks. Ternyata aku masih sulit memanggil dengan sebutan Mas secara langsung “Bisa enggak, jangan mengalihkan pembicaraan? Jawab dulu, saya siapa?” “Ubah dulu panggilanmu! Saya tidak setua itu untuk kamu panggil Pak.” Aku memejamkan mata sesaat. “Sekarang coba M-mas Alan jawab pertanyaan saya.” Entah hanya perasaanku saja atau bukan, dia terlihat seperti menahan senyum. “Cepet jawab!” kataku lagi, kali ini penuh penekanan. Mas Alan menunduk sampai membuat tinggi kami agak sejajar. “Kamu mahasiswa baru itu, kan? Yang dekil, ingusan, tukang telat, yang memanfaatkan orang lain untuk menebus hukuman. Saya benar?” Aku menganga. “S-saya dekil dan ingusan?” “Itu saja belum menggambarkan betapa mengenaskannya dirimu saat itu.” Wah! Manusia ini memang sangat keterlaluan. Aku sudah bersiap menendangnya ketika dia lebih dulu meraih kedua pundakku dan membalikkan badanku secara paksa. Dia juga mendorongku sampai depan pintu apartemen. Berikutnya, dia menunduk dan berbisik pelan di telingaku. “Dengarkan baik-baik. Ini pertama kalinya saya merasa tidak ingin kalah dengan perempuan. Jadi jangan macam-macam. Mengerti?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD